Senin, 28 Maret 2016

Teori Bunga II



Nama   : Arini Leviani S.W
NIM    : 20130730259
Kelas   : B

Teori Bunga II

A.    Teori Tingkat Bunga Klasik
Kaum di era klasik mengungkapkan bahwa suku bunga itu menentukan besarnya tabungan maupun investasi yang akan dilakukan dalam perekonomian yang menyebabkan tabungan yang tercipta pada penggunaan tenaga kerja penuh akan selalu sama yang dilakukan oleh pengusaha. Terlepas dari teori ekonomi mikro, teori klasik menjelaskan bahwa tingkat bunga merupakan nilai balas jasa dari modal. Dalam teori klasik, stok barang modal dicampuradukkan dengan uang dan keduanya dianggap mempunyai hubungan subtitusif. Semakin langka modal, semakin tinggi suku bunga. Sebaliknya, semakin banyak modal semakin rendah tingkat suku bunga (Nasution dalam Badriah Sappewali, 2001).
Investasi juga merupakan fungsi dari suku bunga. Makin tinggi suku bunga, keinginan masyarakat untuk melakukan investasi juga semakin kecil. Alasannya, seorang pengusaha akan menambah pengeluaran investasinya apabila keuntungan yang diharapkan dari investasi lebih besar dari suku bunga yang harus dibayar untuk dana investasi tersebut merupakan ongkos untuk penggunaan dana (Cost of Capital). Makin rendah suku bunga, maka pengusaha akan lebih terdorong untuk melakukan investasi, sebab biaya penggunaan dana juga makin kecil.
Keseimbangan tingkat bunga berada pada titik i0 dimana jumlah tabungan sama dengan jumlah investasi. Apabila tingkat bunga berada diatas i0, berarti jumlah tabungan melebihi keinginan pengusaha untuk melakukan investasi. Para pemilik dana akan bersaing untuk meminjamkan dananya dan persaingan ini akan menekan tingkat bunga turun kembali ke posisi i0. sebaliknya, bila tingkat bunga rendah berada di bawah i0, maka para pengusaha akan bersaing untuk mendapatkan dana yang relatif lebih besar jumlahnya. Persaingan ini akan mendorong tingkat bunga naik lagi ke i0, misalnya terjadi kenaikan efisiensi produksi, maka akan mengakibatkan keuntungan yang diharapkan meningkat sehingga pada tingkat bunga yang sama para pengusaha bersedia membayar dana yang lebih besar untuk membiayai investasi, atau untuk dana investasiyang sama jumlahnya, para pengusaha bersedia membayar tingkat bunga yang lebih tinggi. Keadaan ini ditunjukkan dengan bergesernya kurva permintaan investasi ke kanan atas, sehingga keseimbangan tingkat bunga yang baru adalah pada titik i1 (Nopirin, 1993).[1]

B.     Neo Klasik
Menurut pendapat kaum Neo Klasik, tingkat bunga tidak dapat ditentukan oleh permintaan dan penawaran tabungan (demand and supply of saving).[2] Saving market katanya tidak pernah ada dan oleh karena itu the price of saving pun tidak akan ada. Menurut Teori Neo Klasik yang ada adalah market of credit atau market of loanable fund, sehingga tingkat bunga itu merupakan harga dari kredit (loan) yang akan ditentukan oleh demand and supply of credit.
Loanable fund atau dana perkreditan itu sendiri adalah dana yang sengaja disediakan untuk dipinjamkan atau dikreditkan. Sedangkan permintaan atas loanable fund datang dari:
1.      Adanya keinginan untuk berinvestasi, baik dari pemerintah maupun swasta
2.      Adanya keinginan untuk menyimpan kekayaan dalam bentuk uang (hoarding)
Penawaran loanable fund datang dari:
1.      Adanya keinginan dari sebagian anggota masyarakat untuk menabung (saving) yang ditawarkan untuk modal.
2.      Adanya penciptaan uang baru (newly created money) baik uang kartal maupun giral.
3.      Mengaktifkan uang yang menganggur atau idle money (dishoarding).
Dengan demikian menurut kaum neo klasik, keseimbangan antara permintaan dan penawaran inilah yang menentukan tinggi rendahnya bunga yang berlaku di masyarakat.

C.     Modern
Teori bunga dari John Maynard Keynes ini dikenal sebagai monetary theory of interest atau liquidity preference (keinginan atau hasrat untuk memegang atau menahan uang tunai) dan money supply (penawaran uang). Untuk sampai pada kesimpulan penentuan tingkat bunga, mula-mula Keynes menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
Aset atau kekayaan pada bentuk apapun pada dasarnya memiliki tenaga beli, artinya kekayaan tersebut dapat ditukarkan dengan barang lain. Keynes pun berpendapat bahwa setiap aset atau kekayaan memiliki tingkat ke”likuid”an yang masing-masing berbeda-beda.
Uang adalah kekayaan yang paling likuis. Adapun keinginan atau hasrat untuk memegang atau menahan uang tunai atau liquidity preference disebabkan atau didorong oleh tiga alasan atau motif yaitu:[3]
1.      Transaction Motive (Motif Transaksi)
Seseorang atau perusahaan memegang sejumlah uang tunai yang diperlukan untuk memperlancar pertukaran atau transaksi sehari-hari. Misalnya seorang ibu rumah tangga memegang uang tunai untuk keperluan makan keluarga sehari-hari. Atau sebuah perusahaan memegang uang tunai untuk kebutuhan modal kerja secara rutin.
2.      Precautionary Motive (Motif Berjaga-jaga)
Seseorang atau perusahaan memegang sejumlah uang tunai yang diperlukan untuk berjaga-jaga atau berhati-hati untuk membiayai hal-hal yang tidak terduga. Misalnya seorang ibu rumah tangga menyimpan sejumlah uang untuk berobat ke dokter apabila salah seorang anggota keluarga tiba-tiba sakit. Atau perusahaan menyimpan sejumlah uang untuk memperbaiki atau mengganti salah satu alat produksi yang tiba-tiba rusak.
3.      Speculative Motive (Motif Spekulasi)
Seseorang atau perusahaan menyimpan sejumlah uang untuk tujuan memperlancar transaksi-transaksinya yang bersifat spekuliatif yaitu bertujuan untuk memperoleh keuntungan akibat terjadinya perubahan atau fluktuasi harga barang-barang, saham atau surat berharga lainnya. Misalnya pada suatu waktu perusahaan tertentu karena sesuatu alasan nilainya turun drastis, sehingga mengundang minat banyak pihak untuk membelinya. Tentu pihak yang memegang uang tunailah yang siap untuk segera membelinya dan kemudian akan menjual kembali saham tersebut apabila harganya telah pulih sehingga cukup memberikan keuntungan.
Selanjutnya Keynes melanjutkan teorinya sebagai berikut:
Apabila seseorang meminjamkan uangnya kepada pihak lain, maka sebenarnya jumlah kekayaannya tidaklah berubah. Yang berubah hanyalah sifat dari kekayaannya tersebut yaitu dalam susunan ke”likuid”annya, di mana tagihan (uang yang dipinjamkan) tersebut tidak sama ke”likuid”annya dengan uang tunai yang ada di tangan, sehingga demikian posisi atau kesempatan (opportunity) untuk menggunakan kekayaan tersebut sewaktu-waktu menjadi berkurang. Karena kesediaannya untuk melepaskan ke”likuid”annya tersebut, berarti orang telah “berkorban” dan atas pengorbanannya tersebut yang bersangkutan berhak mendapat imbalan/ balas jasa yaitu dalam hal ini bunga (interest).
Jadi interest itu dibayarkan karena ada kesediaan untuk melepaskan kekayaan dalam bentuk uang tunai, sehingga interest merupakan the price of money atau bunga adalah harga dari uang.
Dalam pembahsan selanjutnya Keynes berpendapat bahwa ketiga motif tersebut di atas, pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) motif utama, yaitu:[4]


1.      Motif Pertama (Motif Transaksi)
Besar kecilnya uang yang dipegang pada motif ini tergantung pada tingkat pendapatan (income), artinya apabila pendapatan semakin besar maka uang yang dipegang untuk transaksi juga semakin besar, sebaliknya apabila pendapatan menurun, maka uang untuk bertransaksi pun akan berkurang. Jadi liquidity preference for transaction motive / Lt, adalah fungsi dari income / Y (pendapatan). Lt = f (Y).
2.      Motif Kedua (Motif Berjaga-jaga)
Adapun motif kedua, yaitu precautionary motive atau motif untuk berjaga-jaga sebagian dapat dimasukkan ke dalam motif yang pertama (motif transaksi) dan sebagian lagi dapat dimasukkan ke dalam motif ketiga yaitu spekulasi.
Di dalam kenyataannya, orang-orang kaya yang pendapatannya besar, lebih biasa dan mampu untuk memegang / menahan uang untuk tujuan berjaga-jaga, dibandingkan dengan orang-orang yang pendapatannya rendah, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa motif untuk berjaga-jaga adalah fungsi dari pendapatan / income. Artinya tinggi rendahnya uang untuk berjaga-jaga tergantung dari pendapatan.
Tetapi di lain pihak, kenyataan juga menunjukkan bahwa yang paling banyak menyediakan uang untuk berjaga-jaga adalah perusahaan-perusahaan. Berbeda dengan perorangan maka pada perusahaan, besar kecilnya uang untuk berjaga-jaga sangat tergantung dari tinggi rendahnya tingkat bunga. Kalau tingkat bunga tinggi maka jumlah uang untuk berjaga-jaga menurun karena sebagian besar uang tersebut dibungakan untuk meraih keuntungan. Sebaliknya apabila bunga turun maka penyediaan uang untuk berjaga-jaga menjadi bertambah. Dalam hal demikian maka motif berjaga-jaga tersebut dapat dimasukkan ke dalam motif ketiga yaitu motif spekulatif, yaitu fungsi dari interest.
Selanjutnya Keynes menguraikan bahwa uang yang beredar di masyarakat itu terbagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu active money dan speculative money.


D.    Hicks
Hicks mengemukakan teorinya bahwa tingkat bunga berada dalam keseimbangan pada suatu perekonomian bila tingkat bunga ini memenuhi keseimbangan sektor moneter dan sektor rill. Pandangan ini merupakan gabungan dari pendapat klasik dan keynesian, dimana madzhab klasik mengatakan bahwa bunga timbul karena uang adalah produktif artinya bahwa bila seseorang memiliki dana maka mereka dapat menambah alat produksinya agar keuntungan yang diperoleh meningkat.
Jadi uang dapat meningkatkan produktivitas sehingga orang ingin membayar bunga. Sedangkan menurut keneysian bahwa uang bisa produktif dengan metode spekulasi di pasar uang dengan kemungkinan memperoleh keuntungan, dan keuntungan inilah sehingga orang ingin membayar bunga.[5]
Sir John Hicks mengkritik liquidity preference theory dari Keynes. Menurut Hicks teori Keynes sama saja kelemahannya dengan Teori Klasik. Sama halnya pada Teori Klasik maka pada Teori Keynes, sebenarnya interest rate adalah underminated (tidak dapat ditentukan) karena jika pendapatan (income/ Y) tidak diketahui maka M1 yaitu uang untuk transaction motive juga tidak dapat ditentukan, dan dengan demikian M2 (uang untuk spekulasi) juga tidak dapat diketahui. Dengan demikian interest rate pun tidak dapat ditentukan.
Selanjutnya Hicks berpendapat bahwa tinggi rendahnya tingkat bunga ditentukan oleh faktor-faktor:[6]
1.      Tabungan (saving)
2.      Investasi (investment)
3.      Uang tunai (liquidity preference)
4.      Jumlah uang yang beredar (money supply)


[1] Frank J. Fabozzi, Franco Modigliani dan Michael G. Febri, Pasar dan Lembaga Keuangan, (Salemba Empat, Jakarta, 1999), hlm. 205
[2] Drs. H. Rachmat Firdaus, M.Sc., Dr. Maya Ariyanti, S.E., M.M., Pengantar Teori Moneter serta Aplikasinya pada Sistem Ekonomi Konvensional & Syariah, (Alfabeta, Bandung, 2011), hlm. 104
[3] Ibid., hlm. 107
[4] Ibid., hlm. 108
[5] Frank J. Fabozzi, Franco Modigliani dan Michael G. Febri, Pasar dan Lembaga Keuangan, (Salemba Empat, Jakarta, 1999), hlm. 207
[6] Drs. H. Rachmat Firdaus, M.Sc., Dr. Maya Ariyanti, S.E., M.M., Pengantar Teori Moneter serta Aplikasinya pada Sistem Ekonomi  Konvensional & Syariah, (Alfabeta, Bandung, 2011), hlm. 113

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PROPOSAL MAGANG DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI

PROPOSAL MAGANG DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI KANTOR CABANG PEMBANTU YOGYAKARTA (WIROBRAJAN) Jalan HOS Cokroaminoto No. 33A, Yogyak...