Nama : Arini Leviani S.W
NIM : 20130730259
Kelas : B
Teori
Bunga II
A. Teori
Tingkat Bunga Klasik
Kaum di era
klasik mengungkapkan bahwa suku bunga itu menentukan besarnya tabungan maupun
investasi yang akan dilakukan dalam perekonomian yang menyebabkan tabungan yang
tercipta pada penggunaan tenaga kerja penuh akan selalu sama yang dilakukan
oleh pengusaha. Terlepas dari teori ekonomi mikro, teori klasik menjelaskan
bahwa tingkat bunga merupakan nilai balas jasa dari modal. Dalam teori klasik,
stok barang modal dicampuradukkan dengan uang dan keduanya dianggap mempunyai
hubungan subtitusif. Semakin langka modal, semakin tinggi suku bunga.
Sebaliknya, semakin banyak modal semakin rendah tingkat suku bunga (Nasution
dalam Badriah Sappewali, 2001).
Investasi juga
merupakan fungsi dari suku bunga. Makin tinggi suku bunga, keinginan masyarakat
untuk melakukan investasi juga semakin kecil. Alasannya, seorang pengusaha akan
menambah pengeluaran investasinya apabila keuntungan yang diharapkan dari
investasi lebih besar dari suku bunga yang harus dibayar untuk dana investasi
tersebut merupakan ongkos untuk penggunaan dana (Cost of Capital).
Makin rendah suku bunga, maka pengusaha akan lebih terdorong untuk melakukan
investasi, sebab biaya penggunaan dana juga makin kecil.
Keseimbangan
tingkat bunga berada pada titik i0 dimana jumlah tabungan sama dengan jumlah
investasi. Apabila tingkat bunga berada diatas i0, berarti jumlah tabungan
melebihi keinginan pengusaha untuk melakukan investasi. Para pemilik dana akan
bersaing untuk meminjamkan dananya dan persaingan ini akan menekan tingkat
bunga turun kembali ke posisi i0. sebaliknya, bila tingkat bunga rendah berada
di bawah i0, maka para pengusaha akan bersaing untuk mendapatkan dana yang
relatif lebih besar jumlahnya. Persaingan ini akan mendorong tingkat bunga naik
lagi ke i0, misalnya terjadi kenaikan efisiensi produksi, maka akan
mengakibatkan keuntungan yang diharapkan meningkat sehingga pada tingkat bunga
yang sama para pengusaha bersedia membayar dana yang lebih besar untuk
membiayai investasi, atau untuk dana investasiyang sama jumlahnya, para
pengusaha bersedia membayar tingkat bunga yang lebih tinggi. Keadaan ini
ditunjukkan dengan bergesernya kurva permintaan investasi ke kanan atas,
sehingga keseimbangan tingkat bunga yang baru adalah pada titik i1 (Nopirin,
1993).[1]
B. Neo
Klasik
Menurut pendapat kaum Neo Klasik, tingkat bunga tidak dapat
ditentukan oleh permintaan dan penawaran tabungan (demand and supply of saving).[2] Saving market katanya tidak pernah ada
dan oleh karena itu the price of saving
pun tidak akan ada. Menurut Teori Neo Klasik yang ada adalah market of credit atau market of loanable fund, sehingga
tingkat bunga itu merupakan harga dari kredit (loan) yang akan ditentukan oleh demand
and supply of credit.
Loanable fund atau
dana perkreditan itu sendiri adalah dana yang sengaja disediakan untuk
dipinjamkan atau dikreditkan. Sedangkan permintaan atas loanable fund datang dari:
1.
Adanya keinginan untuk berinvestasi,
baik dari pemerintah maupun swasta
2. Adanya
keinginan untuk menyimpan kekayaan dalam bentuk uang (hoarding)
Penawaran loanable
fund datang dari:
1.
Adanya keinginan dari sebagian anggota
masyarakat untuk menabung (saving)
yang ditawarkan untuk modal.
2.
Adanya penciptaan uang baru (newly created money) baik uang kartal
maupun giral.
3.
Mengaktifkan uang yang menganggur atau idle money (dishoarding).
Dengan demikian menurut kaum neo klasik, keseimbangan antara
permintaan dan penawaran inilah yang menentukan tinggi rendahnya bunga yang
berlaku di masyarakat.
C. Modern
Teori bunga dari John Maynard Keynes ini dikenal sebagai monetary theory of interest atau liquidity preference (keinginan atau
hasrat untuk memegang atau menahan uang tunai) dan money supply (penawaran uang). Untuk sampai pada kesimpulan
penentuan tingkat bunga, mula-mula Keynes menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
Aset atau kekayaan pada bentuk apapun pada dasarnya memiliki
tenaga beli, artinya kekayaan tersebut dapat ditukarkan dengan barang lain.
Keynes pun berpendapat bahwa setiap aset atau kekayaan memiliki tingkat
ke”likuid”an yang masing-masing berbeda-beda.
Uang adalah kekayaan yang paling likuis. Adapun keinginan
atau hasrat untuk memegang atau menahan uang tunai atau liquidity preference disebabkan atau didorong oleh tiga alasan atau
motif yaitu:[3]
1.
Transaction
Motive (Motif Transaksi)
Seseorang atau perusahaan memegang sejumlah uang tunai yang
diperlukan untuk memperlancar pertukaran atau transaksi sehari-hari. Misalnya
seorang ibu rumah tangga memegang uang tunai untuk keperluan makan keluarga
sehari-hari. Atau sebuah perusahaan memegang uang tunai untuk kebutuhan modal
kerja secara rutin.
2. Precautionary Motive (Motif
Berjaga-jaga)
Seseorang atau
perusahaan memegang sejumlah uang tunai yang diperlukan untuk berjaga-jaga atau
berhati-hati untuk membiayai hal-hal yang tidak terduga. Misalnya seorang ibu
rumah tangga menyimpan sejumlah uang untuk berobat ke dokter apabila salah
seorang anggota keluarga tiba-tiba sakit. Atau perusahaan menyimpan sejumlah
uang untuk memperbaiki atau mengganti salah satu alat produksi yang tiba-tiba
rusak.
3. Speculative Motive (Motif
Spekulasi)
Seseorang atau
perusahaan menyimpan sejumlah uang untuk tujuan memperlancar
transaksi-transaksinya yang bersifat spekuliatif yaitu bertujuan untuk
memperoleh keuntungan akibat terjadinya perubahan atau fluktuasi harga
barang-barang, saham atau surat berharga lainnya. Misalnya pada suatu waktu
perusahaan tertentu karena sesuatu alasan nilainya turun drastis, sehingga
mengundang minat banyak pihak untuk membelinya. Tentu pihak yang memegang uang
tunailah yang siap untuk segera membelinya dan kemudian akan menjual kembali
saham tersebut apabila harganya telah pulih sehingga cukup memberikan
keuntungan.
Selanjutnya Keynes
melanjutkan teorinya sebagai berikut:
Apabila seseorang meminjamkan
uangnya kepada pihak lain, maka sebenarnya jumlah kekayaannya tidaklah berubah.
Yang berubah hanyalah sifat dari kekayaannya tersebut yaitu dalam susunan
ke”likuid”annya, di mana tagihan (uang yang dipinjamkan) tersebut tidak sama
ke”likuid”annya dengan uang tunai yang ada di tangan, sehingga demikian posisi
atau kesempatan (opportunity) untuk
menggunakan kekayaan tersebut sewaktu-waktu menjadi berkurang. Karena
kesediaannya untuk melepaskan ke”likuid”annya tersebut, berarti orang telah
“berkorban” dan atas pengorbanannya tersebut yang bersangkutan berhak mendapat
imbalan/ balas jasa yaitu dalam hal ini bunga (interest).
Jadi interest itu dibayarkan karena ada
kesediaan untuk melepaskan kekayaan dalam bentuk uang tunai, sehingga interest merupakan the price of money atau bunga adalah harga dari uang.
Dalam pembahsan
selanjutnya Keynes berpendapat bahwa ketiga motif tersebut di atas, pada
dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) motif utama, yaitu:[4]
1. Motif
Pertama (Motif Transaksi)
Besar kecilnya uang
yang dipegang pada motif ini tergantung pada tingkat pendapatan (income), artinya apabila pendapatan
semakin besar maka uang yang dipegang untuk transaksi juga semakin besar,
sebaliknya apabila pendapatan menurun, maka uang untuk bertransaksi pun akan
berkurang. Jadi liquidity preference for
transaction motive / Lt, adalah fungsi dari income / Y (pendapatan). Lt = f (Y).
2. Motif
Kedua (Motif Berjaga-jaga)
Adapun motif kedua,
yaitu precautionary motive atau motif
untuk berjaga-jaga sebagian dapat dimasukkan ke dalam motif yang pertama (motif
transaksi) dan sebagian lagi dapat dimasukkan ke dalam motif ketiga yaitu
spekulasi.
Di dalam
kenyataannya, orang-orang kaya yang pendapatannya besar, lebih biasa dan mampu
untuk memegang / menahan uang untuk tujuan berjaga-jaga, dibandingkan dengan
orang-orang yang pendapatannya rendah, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa
motif untuk berjaga-jaga adalah fungsi dari pendapatan / income. Artinya tinggi rendahnya uang untuk berjaga-jaga tergantung
dari pendapatan.
Tetapi di lain pihak,
kenyataan juga menunjukkan bahwa yang paling banyak menyediakan uang untuk
berjaga-jaga adalah perusahaan-perusahaan. Berbeda dengan perorangan maka pada
perusahaan, besar kecilnya uang untuk berjaga-jaga sangat tergantung dari
tinggi rendahnya tingkat bunga. Kalau tingkat bunga tinggi maka jumlah uang
untuk berjaga-jaga menurun karena sebagian besar uang tersebut dibungakan untuk
meraih keuntungan. Sebaliknya apabila bunga turun maka penyediaan uang untuk
berjaga-jaga menjadi bertambah. Dalam hal demikian maka motif berjaga-jaga
tersebut dapat dimasukkan ke dalam motif ketiga yaitu motif spekulatif, yaitu
fungsi dari interest.
Selanjutnya Keynes
menguraikan bahwa uang yang beredar di masyarakat itu terbagi menjadi 2 (dua)
bagian yaitu active money dan speculative money.
D. Hicks
Hicks mengemukakan
teorinya bahwa tingkat bunga berada dalam keseimbangan pada suatu perekonomian
bila tingkat bunga ini memenuhi keseimbangan sektor moneter dan sektor rill.
Pandangan ini merupakan gabungan dari pendapat klasik dan keynesian, dimana
madzhab klasik mengatakan bahwa bunga timbul karena uang adalah produktif
artinya bahwa bila seseorang memiliki dana maka mereka dapat menambah alat
produksinya agar keuntungan yang diperoleh meningkat.
Jadi uang dapat
meningkatkan produktivitas sehingga orang ingin membayar bunga. Sedangkan menurut
keneysian bahwa uang bisa produktif dengan metode spekulasi di pasar uang
dengan kemungkinan memperoleh keuntungan, dan keuntungan inilah sehingga orang
ingin membayar bunga.[5]
Sir John Hicks
mengkritik liquidity preference theory
dari Keynes. Menurut Hicks teori Keynes sama saja kelemahannya dengan Teori
Klasik. Sama halnya pada Teori Klasik maka pada Teori Keynes, sebenarnya interest rate adalah underminated (tidak dapat ditentukan)
karena jika pendapatan (income/ Y)
tidak diketahui maka M1 yaitu uang untuk transaction motive juga tidak dapat ditentukan, dan dengan demikian
M2 (uang untuk spekulasi) juga tidak dapat diketahui. Dengan
demikian interest rate pun tidak
dapat ditentukan.
Selanjutnya Hicks
berpendapat bahwa tinggi rendahnya tingkat bunga ditentukan oleh faktor-faktor:[6]
1.
Tabungan (saving)
2.
Investasi (investment)
3.
Uang tunai (liquidity preference)
4.
Jumlah uang yang beredar (money supply)
[1]
Frank
J. Fabozzi, Franco Modigliani dan Michael G. Febri, Pasar dan Lembaga
Keuangan, (Salemba Empat, Jakarta, 1999), hlm. 205
[2]
Drs. H. Rachmat
Firdaus, M.Sc., Dr. Maya Ariyanti, S.E., M.M., Pengantar Teori Moneter serta Aplikasinya pada Sistem Ekonomi
Konvensional & Syariah, (Alfabeta, Bandung, 2011), hlm. 104
[3] Ibid.,
hlm. 107
[4] Ibid.,
hlm. 108
[5] Frank J.
Fabozzi, Franco Modigliani dan Michael G. Febri, Pasar dan Lembaga Keuangan,
(Salemba Empat, Jakarta, 1999), hlm. 207
[6] Drs. H. Rachmat Firdaus, M.Sc., Dr.
Maya Ariyanti, S.E., M.M., Pengantar
Teori Moneter serta Aplikasinya pada Sistem Ekonomi Konvensional & Syariah, (Alfabeta,
Bandung, 2011), hlm. 113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar