Senin, 28 Maret 2016

PROSEDUR DAN PENGELOLAAN WAKAF UANG TUNAI (Studi pada Masjid Jogokariyan Yogyakarta)


PROSEDUR DAN PENGELOLAAN WAKAF UANG TUNAI
(Studi pada Masjid Jogokariyan Yogyakarta)
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia
Dosen pengampu : Rozikan, S.E.I, M.S.I.


 



             Disusun oleh :

Vera Septinawati                    (20130720254)
Arini Leviani S.W                   (20130730259)



Fakultas Agama Islam
Program Studi Ekonomi Perbankan Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2015

KATA PENGANTAR


Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga sampai saat ini kita masih bisa beraktivitas dan menyelesaikan tugas penelitian ini.
Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas tentang bagaimana penghimpunan dan pengelolaan Wakaf Tunai di Yogyakarta studi pada Masjid Jogokariyan Yogyakarta yang meliputi: pengertian wakaf dan wakaf tunai, penghimpunan dana wakaf tunai di Masjid Jogokariyan dan pengelolaan dana wakaf tunai di Masjid Jogokariyan.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia dengan semaksimal mungkin sesuai kemampuan yang kami miliki dan bantuan dari beberapa sumber. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Rozikan, S.E.I, M.S.I., selaku dosen mata kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia yang sudah memberikan tugas ini, sehingga kami dapat berlatih untuk melakukan penelitian secara langsung. Di samping dapa tmenuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, tetapi kami juga dapat berlatih menjadi insan peneliti di masa depan.
Semoga penelitian yang kami lakukan ini dapat bermanfaat untuk pembaca dan diperkenankan bagi pembaca untuk memberikan kritik dan saran. Karena kritik dan saran yang membangun, akan menjadikan kesempurnaan penelitian ini.



Yogyakarta, 29 Desember 2015
Penulis,




BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Wakaf merupakan ajaran agama Islam yang telah dikenal sejak dulu oleh kaum muslim. Wakaf secara gamplang dapat diartikan sebagai suatu pemberian dari seseorang yang manfaatnya dapat digunakan oleh orang yang berhak atau membutuhkan.Pada awalnya wakaf hanya dipahami sebagai pemanfaatan suatu tempat untuk peribadatan seperti masjid, mushola atau lahan yang diwakafkan untuk dijadikan pemakaman.
Wakaf memberikan peranan penting dalam sejarah umat muslim serta memberikan pengembangan bagi negara-negara Islam yang ada di dunia. Wakaf telah berkembang dengan baik dari awal mula masyarakat muslim mengenal wakaf hingga sampai sekarang ini. Banyak lembaga telah menghimpun, mengelola dan mendistribusikan wakaf demi kesejahteraan sosial. Wakaf yang berfungsi sebagai salah satu sarana ibadah kepada Allah, pasti memberikan manfaat bagi khalayak yang membutuhkan. Perasaan yang ikhlas, solidaritas yang tinggi dan mengharapkan ridho Allah adalah pernyataan wakaf itu sendiri. Meskipun wakaf merupakan sunnah agama, namun tidak dapat dipungkiri bahwa wakaf selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Sepanjang sejarah, wakaf selalu berperan dalam pengembangan berbagai kegiatan. Kegiatan yang tentunya sesuai syari’ah Islam dalam kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Islam. Cukup banyak masyarakat muslim yang menikmati pemanfaatan wakaf karena memang dimanfaatkan sedemikian rupa guna memfasilitasi bagi mereka yang memungkinkan mendapatkan fasilitas tersebut.
Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan sejak masuknya agama Islam di Indonesia. Wakaf memang menunjang setiap perkembangan masyarakat Islam. Tempat ibadah, perguruan serta lembaga-lembaga berbasis Islam sebagian dibangun di atas tanah wakaf. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri selama ini bahwa wakaf yang umumnya diberikan oleh wakif berupa benda tidak bergerak seperti tanah yang ditujukan untuk sarana masjid, mushola, pemakaman, madrasah, rumah yatim piatu dan lain-lain. Dari segi sosial dan ekonomi, wakaf masih kurang berkembang. Hal tersebut dikarenakan pengelolaan wakaf yang kurang maksimal, seperti tanah wakaf. Kebanyakan wakif memberikan tanah wakaf untuk didirikan masjid atau mushola tanpa diiringi tanah atau benda lain untuk dikelola secara produktif.
Sebenarnya bukan hal itu saja yang menjadi faktor wakaf kurang produktif. Para nadzir yang kurang cakap pun dapat menjadi faktor penyebabnya. Pemanfaatan tanah wakaf yang seharusnya dapat diprakarsai semaksimal mungkin, jika ditangani oleh nadzir yang kurang berkompeten dan kurang kreatif, tanah tersebut tidak memberikan pemanfaatan maksimal.
Di Indonesia banyak sekali tanah wakaf yang dari sisi keagamaan dan sosial keefektifannya sangat terlihat. Namun dari sisi ekonomi wakaf masih kurang efektif. Diperlukan nadzir yang kreatif dan memiliki kemampuan pengelolaan wakaf yang mumpuni. Wakaf yang tidak dikelola secara produktif, bukan berarti sia-sia, namun pemanfaatannya kurang optimal.
Seperti kenyataan yang ada, khalayak ramai lebih mengetahui bahwa wakaf itu berupa harta tidak bergerak seperti tanah maupun bangunan. Namun sebenarnya wakaf juga dapat dilakukan dengan wakaf uang tunai. Wakaf uang tunai sendiri sudah dikenal sejak ahli fikih terdahulu tetapi di Indonesia baru diketahui dan berkembang belum lama ini.Sehingga wakaf tunai masih kurang familiar terdengar. Wakaf tunai sendiri sudah jelas merupakan dana dari uang yang dikumpulkan. Kemudian dikelola dan dimanfaatkan seperti tujuan wakaf pada umumnya. Wakaf tunai dianggap sebagai wakaf produktif dikarenakan wakaf tunai dapat dengan mudah dikelola sedemikian rupa.
Namun, perlu diingat bahwa semua wakaf baik wakaf benda tidak bergerak maupun wakaf benda bergerak seperti uang akan optimal jika dalam pengelolaan yang baik. Banyak organisasi atau lembaga wakaf dibentuk guna memajukan dan mempermudah seseorang untuk berwakaf. Adanya bentuk baru dalam wakaf yaitu wakaf tunai akan jauh lebih mempermudah seseorang dalam berwakaf, bagi mereka yang berkeinginan wakaf namun berpikir bahwa mereka tidak mempunyai tanah maupun bangunan untuk diwakafkan.
Wakaf tunai sebagai wakaf produktif memiliki kelebihan sebagai alternatif untuk mendanai proyek tertentu untuk tujuan wakaf tertentu atau sebagai pembiayaan dalam investasi.
Studi kasus kali ini tentang penghimpunan wakaf tunai, pengelolaan wakaf tunai secara umum dan bertumpu pada pendayagunaan wakaf tunai itu sendiri sehingga pendistribusian pemanfaatan wakaf tunai memberikan inovasi baru dan berjalan optimal.
Tepatnya di Yogyakarta, ada sebuah masjid yang terletak di daerah Jogokariyan, bernama Masjid Jogokariyan. Bisa dibilang sebuah masjid yang terus menerus berkembang mengikuti era modern tanpa meninggalkan ajaran Islam yang sesungguhnya.
Fokus studi kasus akan mengkaji tentang cara penghimpunan wakaf tunai di masjid Jogokaryan, pengelolaan wakaf tunai oleh nadzir yang kreatif sehingga mampu memberikan inovasi baru pengelolaan wakaf tunai serta pendistribusian wakaf tunai sesuai tujuan wakaf sebenarnya.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka kami membatasi penelitian ini pada pokok permasalahan sebagai berikut:
1.      Apa definisi dan Hukum Wakaf dan Wakaf Tunai?
2.      Bagaimana sewa-menyewa benda wakaf?
3.      Bagaimanakah penghimpunan Wakaf Tunai di Masjid Jogokariyan Yogyakarta?
4.      Bagaimanakah upaya pengelolaan Wakaf Tunai di Masjid Jogokariyan Yogyakarta?
5.      Bagaimana Permasalahan Wakaf Tunai di Indonesia?

C.    Tujuan Penelitian

Penelitian yang kami lakukan dalam hal ini mengenai Pemberdayaan Wakaf Uang Tunai dalam mekanisme atau prosedur di Masjid Jogokariyan Yogyakarta, adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui dan memahami definisi dan hukum Wakaf dan Wakaf Tunai.
2.      Mengetahui dan memahami sewa-menyewa benda wakaf
3.      Mengetahui dan memahami penghimpunan Wakaf Tunai di Masjid Jogokariyan Yogyakarta.
4.      Mengetahui dan memahami upaya pengelolaan Wakaf Tunai di Masjid Jogokariyan Yogyakarta.
5.      Mengetahui dan memahami Permasalahan Wakaf Tunai di Indonesia.

D.    Manfaat Penelitian

Selain memiliki tujuan, makalah ini dibuat agar kita memperoleh manfaat diantaranya:
1.      Manfaat Teoritik
Hasil penelitian ini akan berguna bagi pengembangan teori- teori yang berkaitan dengan disiplin Ilmu Hukum Perdata Islam di Indonesia tentang Wakaf, khususnya Wakaf Tunai.
2.      Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi Badan Wakaf Uang Tunai Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (BWUT-MUI DIY) untuk lebih meningkatkan kinerja dan daya saing sebagai lembaga yang berwenang dalam pengelolaan dana wakaf dan lebih memperhatikan program dari masjid-masjid mandiri khususnya di kota Yogyakarta.

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI


A.    Tinjauan Pustaka

Penelitian yang berkaitan Pengelolan Wakaf Tunai baru sedikit dilakukan peneliti. Diantaranya oleh Nina Indah Frebiana (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Pengelolaan Wakaf Tunai (Studi Kasus Pengelolaan Wakaf Tunai pada Lembaga Manajemen Infaq Tulungagung)” bertujuan menjelaskan bagaimana mekanisme penggalangan, pengelolaan serta penyaluran wakaf uang studi kasus pada Lembaga Manajemen Infaq Tulungagung.
Adapun hasilnya adalah Lembaga Manajemen Infaq Tulungagung menghimpun dana wakaf diantaranya melalui penyebaran majalah, penyebaran buletin, mengadakan forum diskusi, dan menjemput dana pada donator. Kedua, dana wakaf yang berhasil dihimpun oleh Lembaga Manajemen Infaq Tulungagung langsung didistribusikan pada program yang ada melalui adanya pengelolaan dan pengembangan harta wakaf terlebih dahulu. Ketiga, dana wakaf yang telah terkumpul didistribusikan pada dua program yaitu pembangunan dan perbaikan masjid atau mushola dan penerbitan Al-Qur’an.
Sementara itu, penelitian JauharFaradis (2010) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Strategi Penghimpunan Wakaf Uang Tunai (Studi Kasus Badan Wakaf Uang Tunai Majelis Ulama Indonesia Yogyakarta)” bertujuan untuk menganalisis kondisi Badan Wakaf Uang Tunai Majelis Ulama Indonesia Yogyakarta (BWU-T MUI DIY), mengetahui preferensi wakif terhadap produk penghimpunan wakaf tunai dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi wakif terhadap produk wakaf uang tunai.
Adapun hasilnya adalah strategi penghimpunan wakaf uang tunai yang dilakukan BWU-T MUI DIY adalah metode “menunggu bola” dan metode “menjemput bola”. Kedua, preferensi masyarakat akan produk wakaf tunai adalah produk wakaf uang tunai yang tetap (abadi). Ketiga, faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi wakif terhadap produk wakaf uang tunai adalah: faktor perilaku wakif, faktor complain, faktor kegiatan produktif, faktor kekayaan, faktor karakteristik produk, faktor religiusitas faktor kedermawanan.
Penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Nina Indah Febriana (2012) karena penelitian ini fokus pada bagaimana prosedur penghimpunan, pengelolaan dan pendistribusian wakaf uang tunai.

B.     Kerangka Teori

1.      Pengertian dan Hukum Wakaf Tunai

Sebelum kita membahas definisi dari wakaf tunai, sebaiknya terlebih dahulu sedikit mengulas wakaf secara umum. Untuk menyatakan terminologis wakaf, para ahli fikih menggunakan dua kata: habas dan wakaf. Karena itu sering digunakan kata seperti habasa atau ahbasa atau awqafa untuk menyatakan kata kerjanya.Dalam kamus Al-Wasith dinyatakan bahwa al-habsu artinya al-man’u (mencegah atau melarang) dan al-imsak (menahan) seperti dalam kalimat habsu as-syai’ (menahan sesuatu). Waqfuhu la yuba’ wa la yurats (wakafnya tidak dijual dan tidak diwariskan). Sedangkan menurut Ibnu Faris tentang kata habas: al-habsu ma wuqifa, al-hubsu artinya sesuatu yang diwakafkan, dan pada kata wakaf, “Sesungguhnya keduanya berasal dari satu makna yang menunjukkan diamnya sesuatu.”
Kesimpulannya, baik al-hubsu maupun al-waqh sama-sama mengandung makna al-imsak (menahan), al-man’u (mencegah atau melarang), dan at-tamakkust (diam). Disebut menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan , penjualan dan semua tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Dikatakan menahan, juga karena manfaat dan hasilnya ditahan dan dilarang bagi siapapun selain dari orang-orang yang termasuk berhak atas wakaf tersebut.[1]
Sedangkan wakaf tunai menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf yaitu wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan dalam bentuk benda bergerak berupa uang yaitu mata uang rupiah dan apabila uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang asing maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.[2]
Di Indonesia, sebelum lahirnya UU No. 41 tahun 2004, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa tentang Wakaf Uang pada 11 Mei 2002 yaitu:
a)      Wakaf Uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
b)      Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
c)      Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh)
d)     Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
e)      Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Wakaf tunai merupakan terobosan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yaitu pasal 28 sampai pasal 31, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
a)      Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.
b)      Wakaf benda bergerak berupa uang dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataan kehendak wakif yang dilakukan secara tertulis.
c)      Wakaf benda bergerak berupa uang diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.
d)     Sertifikat wakaf uang diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada wakif dan nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.
e)      Lembaga keuangan syariah atas nama nazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang kepada menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkan sertifikat wakaf uang.
Mengenai hukum wakaf uang (wakaf tunai) ini, para ulama hukum Islam berbeda pendapat. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Adapun alasan yang tidak membolehkan adalah sebagai berikut:
a)      Bahwa uang bisa habis zatnya sekali pakai. Uang hanya bisa dimanfaatkan dengan membelanjakannya, sehingga bendanya lenyap. Sedangkan inti ajaran wakaf adalah pada kesinambungan hasil dari modal dasar yang tetap lagi kekal, tidak habis sekali pakai. Oleh karena itu ada persyaratan agar benda yang akan diwakafkan itu adalah benda yang tahan lama, tidak habis dipakai.
b)      Uang seperti dirham dan dinar diciptakan sebagai alat tukar yang memudahkan orang melakukan transaksi jual beli, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya.
Adapun alasan ulama yang membolehkan wakaf uang adalah sebagai berikut:
Dalam kitab Al-Is’af fi Ahkamil Awqaf, Ath-Tharablis menyatakan: ”Sebagian ulama klasik merasa aneh ketika mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, murid dari Zufar, sahabat Abu Hanifah, tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan, dirham atau dinar, dan dalam bentuk komoditas yang dapat ditimbang atau ditakar, seperti makanan gandum. Yang membuat mereka merasa aneh adalah karena tidak mungkin mempersewakan benda-benda seperti itu, oleh karena itu mereka segera mempersoalkannya dengan mempertanyakan apa yang dapat kita lakukan dengan dana tunai dirham?” Atas pertanyaan ini Muhammad bin Abdullah Al-Anshari menjelaskan dengan mengatakan: ”Kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah dan labanya kita sedekahkan. Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudharabah, kemudian hasilnya disedekahkan.”
Di kalangan Malikiyah populer pendapat yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang kontan, seperti dilihat dalam kitab Al Majmu’ oleh Imam Nawawi (15/325) yang mengatakan: dan para sahabat kita berbeda pendapat tentang berwakaf dengan dana dirham dan dinar. Orang yang memperbolehkan mempersewakan dirham dan dinar membolehkan berwakaf dengannya dan yang tidak membolehkan mempersewakannya tidak membolehkan mewakafkannya. “Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa (31/234-235), meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang, dan hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Qudamah dalam bukunya al-Mughni (8/229-230).
Sebagian ulama dari kalangan Syafii membolehkan wakaf tunai. Dalam kitab Al-Hawil Kabir, Al-Mawardi menyatakan diriwayatkan dari Abu Tsaur dari Imam As-Syafi’i tentang bolehnya wakaf dinar dan dirham (uang).
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga membolehkan wakaf tunai. Fatwa komisi fatwa MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Argumentasi didasarkan kepada hadits Ibnu Umar. Pada saat itu, komisi fatwa MUI juga merumuskan definisi (baru) tentang wakaf, yaitu: “Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.”
Apabila memperhatikan definisi wakaf, yang diberikan oleh para ulama hukum Islam, di mana wakaf didefinisikan sebagai menahan bendanya dan memberikan manfaatnya ke arah kebaikan, baik perorangan atau kepentingan umum, dan memperhatikan tata cara mewakafkan dan pengelolaannya, maka ternyata dzat uang wakaf tetap tersimpan di dalam Bank Penerima Wakaf Uang sebagai nadzir. Uang wakaf tersebut dikelola oleh Bank tersebut dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat. Dari pengelolaan tersebut diperoleh keuntungan. Dan dari keuntungan itu dipergunakan pendanaan atau pembiyaan-pembiyaan berbagai keperluan umat Islam. Dari kenyataan tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa wakaf tunai telah memenuhi pengertian wakaf dan tujuan dari wakaf secara umum. Karenanya, pendapat-pendapat tentang kebolehan wakaf tunai sebagai diuraikan di atas dapat dipertahankan dan dapat dijadikan pijakan tentang bolehnya Wakaf Tunai.
Dari perbedaan pendapat ulama di atas, pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang membolehkan wakaf al-manqul, karena lebih dekat kemaslahatan umat.
Tetapi, para ulama yang membolehkan wakaf al- manqul pun masih berbeda pendapat tentang hukum wakaf tunai (uang), walaupun uang sendiri bagian dari al-manqul, tetapi uang mempunyai sifat-sifat sendiri yang berbeda dengan sifat-sifat barang lain. Perbedaan ulama tersebut teringkas dalam dua pendapat berikut:
Pendapat Pertama: Wakaf tunai hukumnya tidak boleh. Ini pendapat Ibnu Abidin dari Hanafiyah dan madzhab Syafi’i.  (Abu Bakar al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, 412) 
Ibnu Abidin berkata: “wakaf tunai (dengan dirham) merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat Romawi, bukan dalam masyarakat kita. Begitu juga  wakaf kapak dan pisau pernah berlaku pada zaman terdahulu, tetapi tidak lagi pernah terdengar pada zaman kita. Untuk itu, tidak sah kalau diterapkan sekarang, seandainya-pun ada, maka sangat jarang terjadi dan itu tidak dianggap. (Sebagaimana diketahui) bahwa yang dijadikan standar adalah kebiasaan masyarakat yang sudah menyebar.“   (Hasyiatu Ibni Abidin: 3/375). Mereka mempunyai dua alasan:
Pertama: Uang zatnya bisa habis dengan sekali pakai. Uang hanya bisa dimanfaatkan dan dibelanjakan sehingga bendanya lenyap. Padahal inti dari wakaf adalah harta yang tetap. Oleh karena itu, ada persyaratan agar benda yang diwakafkan harus tahan lama dan tidak habis ketika dipakai.
Kedua: Uang diciptakan sebagai alat tukar, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya
Pendapat Kedua: Wakaf tunai hukumnya boleh. Ini adalah pendapat Imam Zuhri, seorang ahli hadist, Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, murid dari Zufar, sahabat Abu Hanifah, ini juga pendapat sebagian ulama mutaakhirin dari kalangan Hanafiyah dan sebagian ulama dari kalangan Syafii, sebagaimana disebutkan Mawardi dalam kitab al-Hawi al-Kabir, bahwa Abu Tsaur meriwayatkan hal itu dari Imam Syafi’i. Di bawah ini beberapa nash dari mereka :
Dari  Imam Zuhri bahwasanya ia berkata: “ Tentang seseorang yang mewakafkan seribu dinar di jalan Allah, dan uang tersebut diberikan kepada pembantunya untuk diinvestasikan, kemudian keuntungannya disedekahkan untuk orang-orang miskin dan para kerabat. “ (Shahih Bukhari: 4/14)
Dari Al-Anshari, dia adalah salah satu sahabat Zufar, ditanya tentang orang yang berwakaf dengan dirham atau dalam bentuk barang yang dapat ditimbang atau ditakar, apakah itu dibolehkan? Al-Anshari menjawab: Iya, boleh. Mereka bertanya bagaimana caranya? Beliau menjawab: dengan cara menginvestasikan dirham tersebut dalam mudharabah, kemudian keuntungannya disalurkan pada sedekahan. Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudharabah, kemudian hasilnya disedekahkan.” (Hasyiatu Ibni Abidin: 3/374)
Di dalam al-Mudawanah al-Kubra Imam Malik disebutkan: “Ditanyakan kepada beliau tentang hukum seorang laki-laki yang menjadikan uangnya sebesar seratus dinar sebagai wakaf untuk dipinjamkan kepada masyarakat yang membutuhkan dan akan dikembalikan kepadanya lagi untuk disimpan lagi, apakah harta seperti ini  terkena kewajiban zakat? Beliau menjawab: Ya, saya berpendapat wajib dikeluarkan zakatnya.  (al-Mudawanah al-Kubra: 1/ 380). 
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa (31/234-235) meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang, dan hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Qudamah dalam bukunya al-Mughni (8/229-230).
Dari dua pendapat di atas, maka pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengatakan wakaf tunai hukumnya boleh, karena tujuan disyariatkan wakaf adalah menahan pokoknya dan menyebarkan manfaat darinya. Dan wakaf uang yang dimaksud bukanlah dzat uangnya tapi nilainya, sehingga bisa diganti dengan uang lainnya, selama nilainya sama.

2.      Sewa-Menyewa Benda Wakaf

Adapun menyewakan benda wakaf, sampai sekarang penulis belum menemukan satupun  ulama yang mengharamkan, artinya semua ulama membolehkannya.
Imam Nawawi berkata: “Pasal : Pewakaf dan siapa yang diserahi oleh pewakaf (nadzir) dibolehkan untuk menyewakan wakaf.”[3]
Tetapi walaupun begitu, para ulama berbeda pendapat  tentang masa penyewaan benda wakaf dan penyewaan dengan upah yang tidak standar :
Pendapat Pertama: Tidak boleh menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu yang lama, seperti puluhan tahun lamanya[4] dan tidak boleh menyewakan barang wakaf dengan harga yang tidak standar. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiyah Mutakhirin.[5]Alasannya dikhawatirkan jika disewakan dalam waktu yang lama, keuntungannya sulit diprediksi, dan benda wakaf tersebut bisa berpindah tangan tanpa disadari oleh para nadhirnya, apalagi kalau tidak kuat bukti-buktinya.
Ibnu Hajar al-Haitsami ketika ditanya tentang kasus seorang perempuan yang hendak menyewakan benda wakaf selama lima puluh tahun dengan izin pemerintah, beliau menjawab : “Tidak boleh pemerintah mengizinkannya (untuk menyewakan benda wakaf) dalam waktu yang panjang, karena susah menentukan harga sewa dalam jangka waktu tersebut. Begitu juga dikhawatirkan benda wakaf tersebut akan rusak (hilang) jika disewakan dalam jangka waktu yang panjang.” [6]
Ibnu Nujaim al-Hanafi berkata : “Ketahuilah bahwa penyewaan wakaf tidak boleh kecuali dengan harga standar, atau lebih. Jika seorang Nadhir menyewakan wakaf dengan harga di bawah harga standar, maka tidak sah penyewaannya, dan penyewa wajib membayar dengan harga standar.” [7]
Sebagian pemerintah pada waktu dulu sepakat untuk tidak membolehkan penyewaan benda wakaf lebih dari tiga tahun dengan alasan yang disebutkan di atas.[8]
Pendapat Kedua: Boleh menyewakan benda wakaf dalam jangka waktu yang lama jika untuk kepentingan umum. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiyah terdahulu dan pendapat mayoritas ulama.  
Ibnu Taimiyah berkata : “Jika benda wakaf untuk kepentingan umum, maka boleh untuk disewakan sesuai dengan maslahat yang ada dan tidak terbatas waktunya menurut mayoritas ulama.”[9]Tapi kebolehan menyewakan wakaf dalam waktu panjang ini syaratnya jika diprediksi wakaf tersebut akan tetap utuh, dan tidak rusak ataupun hilang.  
Bahuti berkata : “Jika seseorang menyewakan rumah wakaf atau sejenisnya seperti tanah wakaf dengan waktu yang jelas, walaupun jangkanya panjang selama diprediksi barangnya masih utuh, maka sah penyewaannya.”[10]

3.      Penghimpunan Wakaf Tunai

Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, dipandang perlu meningkatkan peran wakaf sebagai lembaga keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, meliankan juga memiliki kekuatan ekonomi yangberpotensi antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.[11]
Kami melakukan penelitian di Masjid Jogokariyan Yogyakarta dan hasilnya adalah prosedur pengimpunan dana wakaf uang melalui speaker masjiddan melalui mulut ke mulut, atau dapat juga disebut strategi pemasaran word of mouth yaitu strategi dari mulut kemulut yang cukup efektif dan banyak digunakan oleh para nadzhir. Walaupun dianggap tradisional, namun cara ini cukup ampuh untuk meyakinkan para wakif. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa 68% para wakif yang mewakafkan uangnya adalah orang yang mendapatkan informasi dari wakiflain melalui penyebaran berita dari mulut ke mulut.
Selain itu strategi dari mulut ke mulut juga tidak membutuhkan biaya, bisa dibilang ini adalah strategi gratis yang sangat efektif. Terlebih lagi masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan suka bersosialisasi dan berkumpul hanya untuk sekedar berbagi cerita, sehingga kesempatan untuk menyebarluaskan informasi yang sering mereka gunakan sangat terbuka lebar.

4.      Pengelolaan Wakaf Tunai

Sebagai konsep sosial yang memiliki dimensi ibadah, wakaf juga diebut amal sadaqah jariyah dimana pahala yang didapat oleh wakif akan selalu mengalir selama harta tersebut masih ada dan bermanfaat.[12]
Para nadzir di Masjid Jogokariyan menerima wakaf uang untuk mendanai proyek wakaf. Dana wakaf uang tunai di Masjid Jogokariyan dikelola oleh pengurus Masjid Jogokariyan yang kemudian dikelola untuk dijadikan penginapaan atau hotel syariah diatas Masjid yaitu lantai 2 dan lantai 3. Lantai 2 dijadikan ruang pertemuan yang dapat disewakan sewaktu-waktu dan lantai 3 terdapat kamar yang berjumlah 12 kamar yang juga dapat disewakan setiap harinya.
Penginapan berbasis Islami ini, sistem pendanaan pembangunan serta penunjangnya murni dari wakaf tunai. Sehingga setelah proyek pembangunan selesai, masjid tidak akan menghimpun wakaf tunai kembali sebelum ditetapkan target wakaf produktif selanjutnya. Jika masyarakat ingin beramal, bisa dengan infak atau shodaqoh tidak harus wakaf tunai.
Selama ini hasil dari wakaf produktif tersebut digunakan untuk pembiayaan operasional masjid. Karena Masjid Jogokaryan berbasis Islami maka orang yang menginap pun pasti seorang muslim dan berpikir untuk menginap sekaligus berjamaah di masjid. Penginapan diperuntukkan bagi siapapun kecuali turis atau wisatawan non muslim.

5.      Permasalahan Wakaf Tunai di Indonesia

a.       Permasalahan

1)      Masalah Paradigma
Pemahaman wakaf yang ada di masyarakat tentang wakaf selama ini hanya sekedar penggunaan tanah untuk pendirian masjid atau mushalla, lembaga pendidikan dan lain-lain belum mengarah kepada penggunaan secara produktif untuk modal usaha. Selain itu untuk wakaf yang berbentuk uang sebagai aset wakaf belum pernah dan familiar dalam masyarakat Islam.
Paradigma harta wakaf yang seringkali dipahami oleh masyarakat adalah hanya sebidang tanah yang peruntukkannya untuk ibadah mahdhah seperti sarana ibadah dan lain sebagainya. Pengekangan atau pembentukan pemikiran tentang wakaf yang hanya untuk tanah inilah yang menyebabkan kurang berkembangnya atau bahkan kurang bermanfaatnya wakaf itu sendiri. Pemahaman yang berkembang dalam masyarakat ini dipengaruhi oleh pemikiran madzhab Syafi’i yang terkenal agak kaku tentang masalah harta wakaf ini. Referensi tentang produk fiqh ini tidak diimbangi dengan pembanding fiqh lain yang sangat dimungkinkan dalam pengembangan wakaf itu sendiri.
Pada masa Rasulullah SAW sebenarnya sudah mencontohkan/mengajarkan wakaf dikalangan sahabat seperti ketika sahabat Ali ra membeli sumur untuk diwakafkan pada kaum muslimin juga dengan umar yang mewakafkan hasil kebunnya untuk perkembangan Islam. Selain itu pada masa Rasulullah SAW para sahabat yang tidak bisa berangkat perang mewakafkan baju perangnya untuk sahabat lain yang mengikuti peperangan.
Paradigma inilah yang menyebabkan pengertian dari masyarakat sendiri hanya mengenai pengelolaan wakaf yang masih bersifat konvensional belum mengarah ke arah yang produktif.
2)      Masalah Sosialialisasi
Pada kenyataan yang ada dalam proses wakaf selama ini yang dijadikan nadzir adalah dari golongan berpengaruh dan mempunyai pemahaman tersendiri tentang wakaf.
Nadzir kebanyakan yang diambil dari nasy yang dianggap sebagai tokoh Agama, tokoh masyarakat, dan kurangnya daya pemahaman mengenai aturan-aturan wakaf dari pemerintah serta perkembangan fikih kontemporer. Sebagaimana kita ketahui  bersama bahwa madzhab yang populer di Indonesia adalah madzhab Syafi’i yang belum mengenal atau menerangkan tentang wakaf uang. Hal ini yang menjadikan permasalahan ketika dihadapkan dengan adanya sebuah pemahaman fiqh baru, karena kebanyakan masyarakat akan mengalami konflik dengan adanya pemahaman  fiqh baru. Hal ini menyebabkan sebuah strategi tersendiri untuk dapat mempopulerkan pemahaman fiqh tentang wakaf uang terhadap masyarakat dengan pemmahaman yang sudah ada, karena selama ini masih belum ada formula yang tepat untuk mensosialisasikan wakaf uang ini kepada masyarakat umum khususnya bagi nadzir yang kebanyakan adalah tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Masalah sosialisasi ini tidak hanya terjadi pada sektor grass root/masyarakat bawah. Akan tetapi juga tentang penggunaan media. Selama ini penggunaan media yang dilakukan untuk mengiklankan atau mengenalkan masalah wakaf uang amat sangat kurang atau bahkan tidak ada. Media yang digunakan tidak hanya media cetak akan tetapi juga media elektronik. Hal inilah yang menyebabkan kurang dikenalnya masalah wakaf uang yang merupakan produk fiqh tentang wakaf baru.
Selain itu selama ini sosialisasi yang dilakukan belum menyentuh atau bahkan memasuki ranah kurikulum dunia pendidikan kita. Sektor pendidikan merupakan sisi yang juga harus dimasuki untuk mempopulerkan tentang wakaf uang sehingga dari dini sudah mengenal tentang wakaf khususnya wakaf uang ini.
3)      Masalah Kelembagaan
Kita ketahui bersama bahwa masalah wakaf uang merupakan hal yang baru di Indonesia, sehingga untuk pengelolaannya dibutuhkan lembaga tersendiri yang kompeten serta profesional. Agar harta wakaf dapat memberikan manfaat yang lebih banyak dan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan umat diperlukan setrategi agar tujuan tersebut tercapai, strategi itu meliputi :
a)      Sumber Daya Manusia (SDM) Nadzir yang profesional.
Secara umum Nadzir mempunyai peran sentral dalam pengelolaan harta wakaf. Untuk itu eksistensi dan kualitas SDM-nya harus betul-betul diperhatikan. Dalam tinjauan fikih Islam, persyaratan Nadzir (baik perseorangan maupun kelembagaan) adalah :
1.      Beragama Islam
2.      Mukallaf (memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum)
3.      Baligh (sudah dewasa)
4.      `Aqil (berakal sehat)
5.      Memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf (profesional)
6.      Memiliki sifat amanah, jujur dan adil.
Adapun ukuran profesionalisme nadzir dalam pengelolaan harta wakaf, khususnya tanah wakaf produktif strategis adalah:
1.      Mempunyai kapasitas yang baik dalam Leadership (kepemimpinan).
2.      Memiliki visi yang jelas.
3.      Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, sosial dan pemberdyaan.
4.      Mempunyai kemampuan menejerial dalam pengelolaan harta.
5.      Dukungan Advokasi
Setelah diadakan inventarisasi secara nasional dan spesifikasi terhadap wakaf uang, hal yang segera dilakukan adalah membentuk tim advokasi terhadap wakaf uang agar tidak terjadi sengketa. Pembentukan tim advokasi ini bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga nadzir yang bersangkutan bekerjasama dengan Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai pihak yang memberikan pengayoman dan pembinaan secara kelembagaan.
1.      Dukungan Keuangan
Upaya pengembangan harta wakaf produktif strategis sangat tergantung oleh dukungan keuangan yang memadai untuk membiayai seluruh oprasionalisasi pengelolaan dan cadangan devisa yang memungkinkan. Dukungan keuangan ini bisa didapatkan melalui lembaga-lembaga keuangan terkait, khususnya lembaga kauangan syari`ah, lembaga-lembaga investasi atau perseorangan yang memiliki modal cukup dengan sistem bagi hasil kemitraan atau instrumen lembaga ekonomi islam lainya, seperti : zakat, infaq dan sedekah (ZIS). Atau kalau memungkinkan menjalin kerjasama dengan lembaga asing yang mempunyai Concern (kepedulian) terhadap pengembangan harta wakaf seperti Islam Development Bank (IDB), lembaga-lembaga perbankan negeri Muslim lainya atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam maupun luar negeri yang berminat dalam pemberdayaan tanah wakaf produktif strategis.
2.      Adanya pengawasan
Pengawasan ini diperlukan agar tanah wakaf produktif strategis yang ada menjadi aman karena dirasakan adanya upaya pihak-pihak tertentu, termasuk oknum nadzir yang ingin menukar atau menggelapkan uang. Dukungan pengawasan yang bersifat internal sudah menjadi keharusan, bersamaan dengan kepedulian masyarakat sekitar terhadap keutuhan wakaf uang. Disamping pengawasan yang bersifat umum tersebut, juga diperlukan pengawasan pengelolaan agar pelaksana kenadziran yang mengurusi langsung terhadap harta wakaf tersebut, juga diperlukan pengawasan pengelolaan agar pelaksana kenadziran yang mengurusi langsung terhadap harta wakaf tersebut dapat menjalankan perannya secara baik dan benar, sehingga menghasilkan keuntungan yang memadai. Aspek pengawasan pengelolaan internal ini meliputi : Penaksir nilai, menejemen pelaporan kepada pihak atau lembaga yang lebih tinggi.
Pada kenyataannya lembaga yang ditunjuk untuk mengelola tentang wakaf uang ini masih di tingkat pusat belum bisa merambah sampai ke tingkat daerah. Belum semua daerah memiliki Lembaga Keuangan Syari’ah Penerima Wakaf Tunai (LKSPWU) baru sampai tingkat kot belum ke tingkat kabupaten. Meskipun sudah; sosialisanya masih kurang terhadap masyarakat.
Di tingkat formal pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang menjadi Nadzir pelaksanaan wakaf Tunai belum terbentuk. Baru ditingkat pusat yang sudah terbentuk akan tetapi belum proaktif untuk mempopulerkan wakaf tunai ini. Oleh sebab itu dari segi kelembagaan belum terbentuk sampai ke tingkat daerah.

b.      Pemecahannya

Dari  permasalahan diatas tentu saja harus dilakukan usaha untuk memecahkannya. Ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan guna mengatasi permasalahan tersebut.
1.      Melakukan  sosialisasi tentang paradigma wakaf uang melalui media cetak dan elektronik (TV, radio, website, buletin, pamflet, leafleat, khutbah jumat dll)
2.      Melakukan pembinaan melalui forum nadzir. Oleh sebab itu diperlukan pembentukan forum nadzir yang merata sampai tingkat kecamatan.
3.      Meningkatkan kuantitas pertemuan forum nadzir dan atau asosiasi Nadzir.
4.      Mengenalkan wakaf uang pada anak mulai tingkat pendidikan dasar sampai Perguruan Tinggi dengan memasukkan kedalam kurikulum Pendidikan Agama Islam.
5.      Pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) sampai tingkat daerah.

BAB III

 

METODE PENELITIAN


A.    Lokasi penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Masjid Jogokariyan yang beralamatkan di Jalan Jogokariyan Nomor 36, Mantrijeron, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun alasan pemilihan lokasi yaitu karena Masjid tersebut terletak tidak terlalu jauh dari kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta serta sudah terkenal lama karena kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Masjid tersebut, contohnya kampung Ramadhan yang selalu ramai dikunjungi setiap tahunnya.

B.     Pendekatan Penelitian

Pendekatan ini akan dilakukan dengan pendekatan Kualitatif. Hal ini karena penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data dalam bentuk berupa pendapat, tanggapan, informasi, konsep-konsep dan keterangan yang berbentuk uraian dalam mengungkapkan masalah. Pendekatan Kualitatif yaitu rangkaian kegiatn atau proses penyaringan data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi, aspek atau bidang tertentu dalam kehidupan objeknya.[13]

C.    Jenis Data

Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer adalah data yang diambil dari hasil wawancara langsung ke responden yang bersangkutan untuk memperktat dan mendukung penulisan ini yaitu menguraikan teori-teori yang diperlukan dalam pembahasan masalah dengan mengumpulkan bahan atau data yang dianggap perlu dan mempunyai kaitan dengan judul yang diambil.

D.    Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan penelitian ini sesuai dengan sumber, yaitu Metode Wawancara. Metode ini untuk mendapatkan data dengan cara melakukan tanya jawab secara langsung dengan pihak-pihak yang bersangkutan guna mendapatkan data dan keterangan yang menunjang analisis dalam penelitian. Didalam penelitian ini pihak peneliti akan memberikan pertanyaan terbuka yang akan dijawab oleh responden dengan mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan teori yang akan diteliti (Sugiyono, 2010: 137).

E.     Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis data kualitatif deskriptif yaitu penelitian studi kasus. Penelitian studi kasus adalah studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan berbagai sumber informasi. Tujuan dari studi kasus ini adalah untuk mempelajari secara lebih intensif tentang latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan sesuatu unit sosial, individu, kelompok, lembaga atau masyarakat.
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, seperti hasil wawancara dengan responden. Setelah dipelajari dan ditelaah, langkah selanjutnya adalah melakukan reduksi data yang dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap sehingga tetap berada di dalamnya.






BAB IV

 

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA


Dengan diundangkannya UU No.41 Tahun 2004 dan dikeluarkannya Fatwa MUI Tentang Wakaf Uang, maka jelas bahwa wakaf uang diperbolehkan oleh hukum di Indonesia selain telah dibolehkan oleh hukum Islam. Wakaf tunai dapat diarahkan sebagai wakaf produktif dan hal tersebut diterapkan oleh Masjid Jogokariyan Yogyakarta. Masjid tersebut telah menerapkan wakaf uang tunai sejak 4 (empat) tahun yang lalu atau sekitar tahun 2011. Wakaf uang tunai ini dilakukan oleh Baitul Maal Masjid Jogokariyan dalam rangka mewujudkan masjid mandiri. Artinya, biaya-biaya operasional masjid dibiayai oleh kegiatan ekonomi yang dapat memberikan keuntungan (profit).
Metode pengumpulan dana dari masyarakat pun masih cukup sederhana. Pada awal pengenalan wakaf tunai, Masjid Jogokariyan menyebarkan selebaran kepada masyarakat dan melalui pengumuman lewat speaker masjid. Namun lama kelamaan setelah masyarakat dirasa cukup mengetahui tentang wakaf tunai, maka strateginya beralih hanya lewat speaker masjid dan dari mulut ke mulut. Strategi yang sederhana namun dirasa cukup efektif dibanding selebaran yang bisa jadi masyakarat tidak tertarik untuk membaca. Penghimpunan wakaf tunai Masjid Jogokariyan memang tidak terlalu tersebar luas, hanya difokuskan untuk masyarakat sekitar khususnya masyarakat Jogokariyan.
Penghimpunan dana wakaf tunai yang kurang agresif ternyata dapat menghimpun dana yang besar. Proyek yang dicanangkan adalah membangun penginapan atau hotel Masjid Jogokariyan.Penginapan ini berada di lantai 2 Masjid Jogokariyan. Lantai dasar untuk sholat berjamaah, lantai 1 untuk ruang pertemuan dan lantai paling atas adalah penginapan. Masjid yang notabene berada di tengah-tengah kampung warga, tidak membuat para nadzir kehilangan kreatifitas dan inovasi.Justru letak yang kurang strategis tidak menjadi alasan, bahkan dapat dicontoh oleh lembaga lainnya.
Target wakaf tunai di masjid ini cukup jelas. Sebelum pemghimpunan wakaf tunai masjid sudah menjelaskan bahwa wakaf tunai akan dijadikan sebagai wakaf produktif dengan dilakukannya pembangunan penginapan. Target terencana dan terorganisir memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa bentuk wakaf baru yaitu wakaf tunai yang dihimpun tidak akan sia-sia. Proyek ini masih terus berproses dan kini masih dalam level penginapan belum pada level hotel. Hal itu ditegaskan karena fasilitas yang ada belum bisa dikatakan fasilitas seperti kebanyakan hotel.
Penginapan berbasis Islami ini, sistem pendanaan pembangunan serta penunjangnya murni dari wakaf tunai. Sehingga setelah proyek pembangunan selesai, masjid tidak akan menghimpun wakaf tunai kembali sebelum ditetapkan target wakaf produktif selanjutnya. Jika masyarakat ingin beramal, bisa dengan infak atau shodaqoh tidak harus wakaf tunai.
Pendistribusian wakaf khususnya wakaf tunai biasanya hasil dari kegiatan produktif disalurkan kepada orang yang membutuhkan seperti disalurkan untuk yayasan yatim piatu dan lain sebagainya. Namun berbeda dengan Masjid Jogokariyan ini. Pendistribusian semacam  itu dilaksanakan oleh divisi yang lain. Sedangkan hasil dari wakaf tunai sendiri digunakan untuk pembiayaan operasional Masjid Jogokariyan yang berbasis Islami dan mandiri.
Hal tersebut dapat dilihat dari laporan keuangan Masjid Jogokariyan.Laporan keuangan masih sangat sederhana.Tidak menjadi masalah untuk lembaga dalam masjid.Sebab inti dari laporan keuangan yang terpenting adalah pemasukan dan pengeluaran. Wakaf produktif untuk kesejahteraan bersama, kesejahteraan sosial, solidaritas umat muslim dan tentunya mengharapkan ridho Allah, pasti ada jalan untuk menghasilkan keuntungan (profit) dan dijauhkan dari kata rugi.
Hasil dari penginapan memang menguntungkan tetapi pembiayaan operasional masjid sendiri juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.Namun jika pemasukan jauh lebih banyak dari pengeluaran, maka tidak menutup kemungkinan keuntungan (profit) dari penginapan tersebut didistribusikan di luar lingkup masjid.
Pada dasarnya wakaf tunai menghimpun dana abadi dari masyarakat dan didistribusikan lagi untuk dakwah dan masyarakat. Sehingga hasil dari wakaf produktif digunakan untuk apa pun selama itu sesuai dengan tujuan wakaf tidak masalah. Wakaf tunai sangat berpotensi jika terus digali dan dikembangkan.Sehingga perlu digiatkan lagi sosialisasi tentang wakaf tunai agar masyarakat mengerti wakaf tidak hanya tanah dan bangunan semata.
Masjid Jogokariyan sendiri selama menggalangkan wakaf tunai tidak memiliki kendala yang berarti.Semua berjalan sesuai prosedur. Hanya kendala pembangunan penginapan yang terkadang macet sehingga mundur dari target terselesainya pembangunan. Hal itu masih wajar. Dan sampai sekarang pun penginapan masih terus memperbaiki dari segi fasilitas. Pendayagunaan wakaf produktif dan berusaha untuk terus mengembangkan itulah yang diperlukan masyarakat Indonesia saat itu. Pemberdayaan yang efektif akan memberikan prospek baik ke depannya.
Hasil pengelolaan dana wakaf tunai dapat dimanfaatkan secara lebih luas dalam rangka kesejahteraan masyarakat banyak dan bisa diaplikasikan sebagai pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, dana-dana segar yang didapatkan dari hasil pemberdayaan wakaf tunai tersebut tidak hanya untuk kepentingan yang selalu terkait dengan ibadah secara sempit seperti membangun masjid, musholla, makam, pondok pesantren dan lain-lain, tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk kepantingan umum. Maka untuk mengoptimalisasi wakaf tunai akan difokuskan pada dua aspek besar yaitu pembangunan yang bersifat fisik dan pemberdayaan dan pengembangan.







BAB V

 

PENUTUP


A.    Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan serta hasil yang diperoleh seperti yang telah dijabarkan diatas pada bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.      Seperti yang telah diketahui bahwa wakaf tunai dibolehkan dan diatur dalam Undang-undang No.41 tahun 2004 serta disahkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat Fatwa MUI tentang wakaf uang yang berbunyi:
a)      Wakaf Uang (Cash Waqf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
b)      Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
c)      Wakaf Uang (Cash Waqf/Waqf al-Nuqud) adalah wakf yang dilakukan oleh seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
d)     Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
e)      Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.
2.      Metode pengumpulan dana dari masyarakat di Masjid Jogokariyan melalui selebaran yang dibagikan kepada masyarakat dan melalui pengumuman lewat speaker masjid serta dari mulut ke mulut (Word of Mouth).
3.      Sebelum pemghimpunan wakaf tunai, Masjid Jogokariyan sudah menjelaskan bahwa wakaf tunai akan dijadikan sebagai wakaf produktif dengan dilakukannya pembangunan penginapan.Hasil dari penginapan digunakan untuk operasional masjid. Namun jika pemasukan jauh lebih banyak dari pengeluaran, maka tidak menutup kemungkinan keuntungan (profit) dari penginapan tersebut didistribusikan di luar lingkup masjid.
4.      Apabila ada kekurangan dana pada pengelolaan wakaf tunai, dapat diambilkan dari dana Zakat, Infaq dan Shodaqoh karena hukumnya boleh.
5.      Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa boleh menjual wakaf dan menggantikannya dengan yang lebih baik, jika hal tersebut maslahatnya lebih besar sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri. Begitu juga boleh menyewakan wakaf dengan tujuan pengembangan wakaf itu sendiri. Hendaknya pewakaf atau nadhir wakaf memilih penyewaan yang menguntungkan untuk pengembangan wakaf dan menghindari penyewaan yang jangkanya lama, kecuali jika keuntungannya bisa diprediksi dan bisa dijaga keutuhan dan keselamatan aset wakaf tersebut. Wallahu A’lam.

B.     Saran

Berdasarkan hasil analisa dan kesimpulan, maka kami sebagai penulis memberikan saran-saran dalam upaya memajukan Wakaf Tunai di Masjid Jogokariyan, yaitu:
1.      Membuat program-program selain Hotel Islami untuk menerima dana Wakaf Tunai yang kemudian dapat didayagunakan menjadi Wakaf Produktif.
2.      Melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang wakaf Tunai khususnya kepada masyarakat sekitar agar masyarakat lebih tahu tentang Wakaf Tunai sehingga dapat berkembang lagi.


DAFTAR PUSTAKA


Fiqih Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen agma RI, 2006.

Nawawi, Hadari. 1994. “Metode Penelitian Ilmiah”, Jakarta: Rineka Cipta.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Qahaf, DR. Mundzir.2005. MANAJEMEN WAKAF PRODUKTIF, Jakarta: KHALIFA.

Trinity, 2008.“Kumpulan Undang-undang tentang Wakaf dan Zakat”, Citra Media Wacana.















DAFTAR LAMPIRAN


2015-10-03 09.05.51 1.jpg
Foto bersama narasumber
IMG_20151006_063407.JPG
Foto Laporan Keuangan Pemasukan

IMG_20151006_063448.JPG
Foto Laporan Keuangan Pengeluaran


[1] Qahaf, DR. Mundzir, MANAJEMEN WAKAF PRODUKTIF, (Jakarta:KHALIFA, 2005), hlm. 44-45
[2] Pasal 22 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
[3] Nawawi, Raudhotu at-Thalibin : 5/ 351, lihat juga Ibnu al Mardawai, al- Inshof : 6/ 28  
[4] Ibnu Taimiyah, Majmu’  Fatawa : 30/180
[5] Syekh Nidham, Fatawa Hindiyah : 2 / 422

[6]  Ibnu Hajar al-Haitsami, Fatawa : 4/ 441
[7]  Ibnu Nujaim, al-Bahru ar-Raiq : 7/ 99
[8]  Zakariya Anshari, Asna al-Mathalib : 2/ 414
[9]  Ibnu Taimiyah, Majmu’  Fatawa : 30/246
[10] Bahuti, ar-Raudh al-Murabi :  1/ 267
[11]Trinity, “Kumpulan Undang-undang tentang Wakaf dan Zakat”, (Citra Media Wacana, 2008), hlm. 117
[12]Fiqih Wakaf, cet. ke-4 (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen agma RI, 2006), hlm. 69
[13] Hadari Nawawi, “Metode Penelitian Ilmiah”, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 176

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PROPOSAL MAGANG DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI

PROPOSAL MAGANG DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI KANTOR CABANG PEMBANTU YOGYAKARTA (WIROBRAJAN) Jalan HOS Cokroaminoto No. 33A, Yogyak...