Minggu, 17 April 2016

UANG BEREDAR DAN INFLASI



UANG BEREDAR DAN INFLASI DI INDONESIA
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Perekonomian Indonesia
Dosen pengampu : Andri Martiana, Lc., M.A.



   
 

                Disusun oleh :


Arini Leviani S.W                   (20130730259)



Fakultas Agama Islam
Program Studi Ekonomi Perbankan Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2016


KATA PENGANTAR


Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga sampai saat ini kita masih bisa beraktivitas dan menyelesaikan tugas penelitian ini.
Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas tentang uang beredar dan inflasi di Indonesia yang meliputi: mata uang dalam peredaran dan uang beredar, gambaran inflasi dalam perekonomian, perkembangan inflasi di Indonesia dan hubungan antara uang beredar dengan Inflasi.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia dengan semaksimal mungkin sesuai kemampuan yang kami miliki dan bantuan dari beberapa sumber. Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Andri Martiana, Lc., M.A., selaku dosen mata kuliah Perekonomian Indonesia yang sudah memberikan tugas ini, sehingga kami dapat berlatih untuk membuat makalah. Di samping dapat menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, tetapi kami juga dapat berlatih menjadi insan peneliti di masa depan.
Semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat untuk pembaca dan diperkenankan bagi pembaca untuk memberikan kritik dan saran. Karena kritik dan saran yang membangun, akan menjadikan kesempurnaan makalah ini.


Yogyakarta, 4 Maret 2016
Penulis,


BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Kebijakan moneter dan kebijakan fiskal satu sama lain saling berpengaruh dalam kegiatan perekonomian. Dalam upaya penetapan sasaran dalam proses pembangunan ekonomi maka koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah dilakukan dalam rangka menghadapi berbagai tantangan dan persoalan. Koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia adalah membahas dan merekomendasikan kebijakan-kebijakan yang diperlukan baik dari sisi Pemerintah maupun Bank Indonesia.
Bank Indonesia mempunyai kewenangan dalam Kebijakan moneter. Kewenangan Bank Indonesia tersebut antara lain dalam menetapkan sasaran sasaran moneter dengan memperhatikan laju inflasi dan melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang termasuk tetapi tidak terbatas pada operasi pasar terbuka dipasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. (UU RI No.3 Tahun 2004 tentang perubahan atas undang-undang RI No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia).
Dinamisnya perkembangan perkonomian Indonesia sepertinya mendorong perubahan perilaku yang dinamis pada variabel-variabel ekonomi yang terlibat di dalamnya. Jumlah uang beredar dan Inflasi adalah dua dari sekian banyak variabel ekonomi makro yang paling banyak memiliki peran dalam aktivitas perekonomian suatu Negara, tidak terkecuali dalam perekonomian Indonesia.
Berkaitan dengan hal ini, kebijakan pemerintah untuk mengevaluasi dan mengendalikan kedua variabel tersebut terlihat dalam kegiatan moneter yang dijalankan oleh pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia, sebagai pemegang otoritas moneter di Indonesia.


Selama ini pengendalian kebijakan pengendalian uang beredar dan pengendalian tingkat inflasi menjadi kebijakan prioritas Bank Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa  kedua variabel tersebut memang memiliki dampak yang sangat penting bagi perjalanan perekonomian Indonesia.
Jumlah uang beredar menjadi teramat penting karena peranannya sebagai alat transaksi penggerak perekonomian. Besar kecilnya uang beredar akan mempengaruhi daya beli riil masyarakat dan juga tersedianya komoditi yang dibutuhkan masyarakat.
Krisis moneter yang melanda negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, telah menyebabkan rusaknya sendi-sendi perekonomian nasional. Krisis moneter menyebabkan terjadinya imported inflation sebagai akibat dari terdepresiasinya secara tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, yang selanjutnya mengakibatkan tekanan inflasi yang berat bagi Indonesia.
Jika melihat begitu dasyatnya pengaruh lonjakan angka inflasi di Indonesia (akibat dari imported inflation yang dipicu oleh terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing) terhadap perekonomian nasional, maka dirasa perlu untuk memberikan perhatian ekstra terhadap masalah inflasi ini dengan cara mencermati kembali teori-teori yang membahas tentang inflasi; faktor-faktor yang menjadi sumber penyebab timbulnya inflasi di Indonesia; serta langkah-langkah apakah yang sebaiknya diambil untuk dapat keluar dari perangkap inflasi ini.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang  tersebut diatas, maka kami membatasi makalah ini pada pokok permasalahan sebagai berikut:
1.      Apa definisi Mata Uang dalam Peredaran dan Uang Beredar?
2.      Bagaimana Jumlah Uang Beredar di Negara-Negara Berkembang?
3.      Bagaimana Gambaran Inflasi dalam Perekonomian?
4.      Bagaimanakah Perkembangan Inflasi di Indonesia?
5.      Bagaimanakah Hubungan antara Uang Beredar dengan Inflasi?

C.    Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui dan memahami Mata Uang dalam Peredaran dan Uang Beredar.
2.      Mengetahui dan memahami Jumlah Uang Beredar di Negara-Negara Berkembang.
3.      Mengetahui dan memahami Gambaran Inflasi dalam Perekonomian.
4.      Mengetahui dan memahami Perkembangan Inflasi di Indonesia.
5.      Mengetahui dan memahami Hubungan antara Uang Beredar dengan Inflasi.




BAB II

PEMBAHASAN


A.    Mata Uang dalam Peredaran dan Uang Beredar

 Di dalam membahas mengenai uang yang terdapat dalam perekonomian, adalah penting untuk membedakan di antara mata uang dalam peredaran dan uang beredar. Mata uang dalam peredaran adalah seluruh jumlah mata uang yang telah dikeluarkan dan diedarkan oleh bank sentral. Mata uang tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu uang logam dan uang kertas. Dengan demikian mata uang dalam peredaran adalah sama dengan uang kartal. Sedangkan uang beredar adalah semua jenis uang yang berada di dalam perekonomian yaitu ia adalah jumlah dari mata uang dalam peredaran ditambah dengan uang giral dalam bank-bank umum.
Pengertian uang beredar atau money supply perlu dibedakan pula menjadi dua pengertian, yaitu pengertian terbatas dan pengertian yang luas. Dalam pengertian yang terbatas uang beredar adalah mata uang dalam peredaran ditambah dengan uang giral yang dimiliki oleh perseorangan-perseorangan, perusahaan-perusahaan, dan badan-badan pemerintah. Dalam pengertian yang luas uang beredar meliputi: mata uang dalam peredaran, uang giral, dan uang kuasi. Uang kuasi terdiri dari deposito berjangka, tabungan dan rekening (tabungan) valuta asing milik swasta domestik. Uang beredar menurut pengertian yang luas ini dinamakan juga sebagai likuiditas perekonomian atau M2. Pengertian yang sempit dari uang beredar selalu disingkat menjadi dengan M1.[1]
Uang beredar M1 dan M2, 1970-2002 (dalam milyar rupiah)
Tahun
Uang Beredar (M1)
Uang Kuasi
Likuiditas Perekonomian (M2)
Kartal
Giral
Jumlah
1971
155
95
250
80
330
1975
625
625
1. 250
728
1.978
1980
2.153
2.842
1.995
2.696
7.691
1985
4.440
5.664
10.104
13.049
23.153
1990
9.094
14.725
23.819
60.811
84.630
1995
20.807
31.870
52.677
-
-
2000
72.371
89..815
162.156
584.842
747.028
2001
76.342
101.369
177.731
666.322
844.053
2002
80.686
111.253
191.939
691.969
883.908

Dari tabel diatas ditunjukkan jumlah uang beredar menurut pengertian yang terbatas (M1), dan menurut pengertian yang luas yaitu likuiditas perekonomian atau (M2). Data yang ditunjukkan adalah untuk tahun-tahun terpilih dalam periode 1970-2002 yaitu dalam periode lebih dari tiga puluh tahun. Angka-angka dalam tersebut menujukkan gambaran seperti yang diterangkan di bawah ini:
1.      Pada tahun 1970, uang kartal merupakan bagian yang lebih penting dari uang giral. Tetapi pada tahun 1975 uang kartal dan uang giral telah sama pentingnya dan semenjak itu uang giral telah merupakan bagian yang lebih penting dari uang beredar dalam pengertian yang sempit (M1). Dalam tahun 2002 uang giral (sebanyak 111,3 trilliun rupiah) telah meliputi 58 persen dari M1.
2.      Jumlah uang yang beredar dalam arti sempit (M1) meningkat dari 250 milyar rupiah pada tahun 1970 menjadi 192 trilliun rupiah dalam tahun 2002. Berarti M1, meningkat sebanyak 768 kali lipat dalam tempat 33 tahun (dari tahun 1970 hingga 2002).
3.      Uang kuasi mengalami pertambahan yang lebih cepat dari uang kartal dan uang giral. Dalam tahun 1970 jumlahnya baru mencapai 80 milyar rupiah dan jumlah ini adalah lebih tiga kali lipat dari uang kuasi. Keadaan sebaliknya berlaku pada tahun 2002. Uang kuasi telah mencapai hampir Rp 692 triliun, yaitu kurang lebih tiga setengah kali lipat dari jumlah M1 (sebanyak Rp 192 triliun). Uang kuasi telah menjadi lebih penting dari M1 sejak tahun 1984.
4.      Sebagai akibat pertumbuhan uang kuasi yang pesat, M2 yaitu likuiditas perkonomian atau uang beredar dalam pengertian yang luas juga mengalam pertambahan yang sangat pesat. Jumlahnya meningkat dari Rp 330 milyar dalam tahun 1970 menjadi hampir Rp 883,9 triliun dalam tahun 2002 dan ini menggambarkan kenaikan sebesar 2552 kali lipat.

B.     Jumlah Uang Beredar di Negara-Negara Berkembang

Perkembangan Jumlah Uang Beredar (JUB) di Negara-negara yang sedang berkembang tidak luput dari perkembangan dan pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan di Negara sedang berkembang yang mempunyai peranan penting dalam peningkatan pembangunan ekonomi di Negara sedang berkembang. Lembaga-lembaga keuangan ini termasuk di dalamnya adalah Bank Sentral, bank-bank umum komersial, bank-bank koperasi, bank pembanguan dan lembaga-lembaga keuangan ini terorganisasi dan sering disebut sebagai “dealers of debt”.[2]

Bank Sentral di Negara sedang berkembang mempunyai 2 fungsi yang tradisional dan nontradisional. Fungsi yang tradisional Bank Sentral antara lain:

1.      Sebagai “Bank”nya Pemerintah dan pemegang keuangan pemerintah.
2.      Sebagai “monopolis” dalam mencetak uang kartal untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap nilai uang.
3.      Sebagai “lender of the last resort” artinya Bank Sentral menyediakan likuiditas bagi bank-bank umum dan lembaga keuangan lainnya yang mengalami kesulitan likuiditas.
4.      Sebagai “pengawas kredit” artinya mengatur jumlah dan tersedianya kredit dalam perekonomian.
5.      Sebagai “bankers bank” artinya Bank Sentral bertindak sebagai bank komersial bagi bank-bank umum. Ini berarti bahwa hubungan antara Bank Sentral dengan bank-bank umum sebagaimana masyarakat terhadap bank-bank umum.
6.      Sebagai “penjaga nilai tukar” dalam artian Bank Sentral bertindak untuk menjaga agar niali tukar tidak berfluktuasi secara tajam.
Bank-bank komersial di Negara berkembang bertindak sebagaimana bank-bank komersial di Negara maju. Dalam hal ini bank-bank menerima deposito dan meminjamkan kredit bagi peminjam dengan jaminan tertentu dan menawarkan suku bunga bagi deposito berjangka khususnya, disamping itu mengenakan suku bunga bagi peminjam kredit. Perbedaan antara suku bunga kredit dengan suku bunga deposito (SPREAD) merupakan penghasilan bagi bank-bank umum.
Permintaan kredit oleh anggota masyarakat sangat tergantung pada tingkat ekonomi, biaya kredit (termasuk suku bunga kredit) dan hasil yang diharapkan dari penggunaan kredit tersebut. Demikian juga penawaran kredit tergantung pada tingkat pendapatan, kepercayaan bank serta suku bunga yang harus dibayarkan. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa kemampuan bank dalam “mencetak uang” mempunyai peranan dalam memenuhi permintaan kredit bank. Akan tetapi kemampuan menciptakan kredit dibatasi oleh tingkat keuntungan yang diharapkan oleh bank atas pemegangan kekayaannya.
Faktor lain yang membatasi kemampuan bank dalam menciptakan kredit adalah ketidaksediaan masyarakat untuk memegang tambahan depositonya. Penelitian di Negara sedang berkembang menunjukkan bahwa permintaan uang masyarakat lebih banyak dipegang dalam bentuk uang kartal daripada giro dan deposito berjangka. Dan faktor yang lainnya adalah ketentuan cadangan minimum yang harus dipegang oleh bank-bank umum. Biasanya Bank Sentral mempunyai hak (kekuasaan) untuk mengatur ketentuan cadangan ini sehingga kalau Bank Sentral menginginkan kebijaksanaan kontraksi (tight money policy) maka ketentuan cadangan dinaikkan dan sebaliknya ketentuan cadangan minimum diturunkan kalau menginginkan ekspansi (easy money policy).
Perbedaan fungsi Bank Sentral dan Bank Umum, sebagaimana dikemukakan FURNESS (1973), membawa dampak pada mekanisme JUB dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Misalnya, masalah penciptakan uang giral oleh Bank Umum di Negara sedang berkembang tidak sebagaimana di Negara yang sudah maju, masalah ketentuan suku bunga di Negara sedang berkembang yang relatif stabil , masalah kredit yang banyak dipengaruhi oleh berhasil tidaknya panenan di Negara sedang berkembang dan masalah “banking-habit” di Negara sedang berkembang yang kurang stabil dan masih rendah sehingga banyak sekali pengaruhnya terhadap penciptaan uang giral pada khususnya dan JUB pada umumnya.
Dan juga banyak pengaruhnya terhadap perubahan JUB adalah utang pemerintah terhadap Bank yang oleh FURNESS dikatakan sebagai “crusial factors” yang mempengaruhi JUB di Negara sedang berkembang.
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap JUB di Negara berkembang adalah adanya pasar uang yang tidak terorganisasi (unorganized money market) yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Rahasia dalam pembicaraan (utang piutang)
2.      Peminjaman uang yang tidak langsung (missal seperti perdagangan)
3.      Operasi fleksibel
4.      Hubungan antara konsumen dengan penyediaan dana sangat akrab
5.      Pencatatan utang piutang sangat sederhana
Dampak terhadap JUB di Negara sedang berkembang melalui beberapa jalur antara lain:
1.      Berkurangnya transaksi, baik jumlah maupun ukuran, keuangan karena sering barter.
2.      Menghambat pertumbuhan Bank Desa
3.      Banyak masyarakat melakukan “hoarding”
4.      Kebijaksanaan moneter dampaknya berkurang

C.    Gambaran Inflasi dalam Perekonomian

1.      Pengertian Inflasi

Masalah lainnya dalam perekonomian selain masalah pendapatan nasional atau masalah pertumbuhan ekonomi adalah masalah perubahan harga barang-barang dan jasa-jasa dalam perekonomian dalam waktu relatif lama yang biasa dikatakan tingkat inflasi. Inflasi adalah salah satu indikator penting perekonomian selain pendapatan nasional, tingkat pengangguran, ketidakseimbangan neraca pembayaran dan lainnya.
Banyak Negara di  dunia ini yang semula perkembangan ekonominya semula sangat baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tiba-tiba mengalami kemunduran yang disebabkan oleh tingginya inflasi yang menyebabkan daya beli masyarakat turun sehingga sektor produksi juga turun. Inflasi yang tinggi bisa disebabkan oleh faktor internal Negara itu seperti tingginya permintaan baran dan atau jasa atau semakin langkanya persediaan barang terutama kebutuhan pokok, juga disebabkan oleh faktor eksternal dari luar negeri seperti krisis di Negara lain atau Karena terjadinya nilai tukar mata uang domestic terhadap dolar yang semakin tinggi. Tingkat inflasi sebagai salah satu sumber kebangkrutan ekonomi suatu Negara maka inflasi dikatakan sebagai penyakit ekonomi yang harus dijaga kestabilannya.[3]
Berikut merupakan pengertian inflasi dari beberapa tokoh ekonomi:
a)      Kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan secara terus menerus (Boediono, 1985: 161)
b)      Inflasi adalah proses kenaikan harga-harga umum secara terus menerus selama periode tertentu (Nopirin, 1990: 25)
c)      Suatu keadaan dimana terjadi senantiasa turunnya nilai uang. (Mannulang, 1993: 83)
d)     Inflasi terjadi apabila tingkat harga-harga dan biaya-biaya umum naik, harga beras, bahan bakar, harga mobil naik, tingkat upah, harga tanah, dan semua barang-barang modal naik. (Samuelson dan Nordhaus, 1993: 293)
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan pengertian inflasi adalah proses kenaikan harga barang-barang secara umum daan terus-menerus disebabkan oleh turunnya nilai uang pada suatu periode tertentu. Ini tidak bearti bahwa harga-harga berbagai macam barang itu naik secara persentase yang sama. Mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidaklah bersamaan. Namun yang penting terdapat kenaikan harga umum barang secara terus-menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan yang terjadi hanya sekali saja (meskipun dengan persentase yang cukup besar) bukanlah merupakan inflasi.
Kenaikan harga ini diukur dengan menggunakan indeks harga. Beberapa indeks harga yang sering digunakan untuk mengukur inflasi antara lain:
a)      Indeks biaya (consumer price index)
b)      Indeks harga perdagangan besar (wholesale price index)
c)      GNP (gross national product) deflator

2.      Gambaran Umum Proses Inflasi

Inflasi adalah proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (continue) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spikulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidak lancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara terus menerus.[4]



Perkembangan Inflasi di Indonesia

Bulan
2011
2012
2013
2014
IHK
Inflasi
IHK
Inflasi
IHK
Inflasi
IHK
inflasi
Januari
126,29
0,89
130,9
0,76
136,88
1,03
110,992
1,07
Februari
126,46
0,13
130,96
0,05
137,91
0,75
111,28
0,26
Maret
126,05
-0,32
131,05
0,07
138,78
0,63
111,37
0,08
April
125,66
-0,31
131,32
0,21
138,64
-0,1
111,35
-0,02
Mei
125,81
0,12
131,41
0,07
138,6
-0,03
111,53
0,16
Juni
126,5
0,55
132,23
0,62
140,03
1,03
112,01
0,43
Juli
127,35
0,67
133,16
0,7
144,63
3,29
113,05
0,93
Agustus
128,54
0,93
134,43
0,95
146,25
1,12
113,58
0,47
September
128,89
0,27
134,45
0,01
145,74
-0,35
113,89
0,27
Oktober
128,74
-0,12
134,67
0,16
145,87
0,09
114,42
0,47
November
129,18
0,34
134,76
0,07
146,04
0,12
116,14
1,5
Desember
129,91
0,57
135,49
0,54
146,84
0,55
119
2,46
Tingkat
inflasi

3,79

4,3

8,38

3,36
Sumber : BPS
Dari table di atas terlihat bahwa rata-rata inflasi tumbuh dibawah laju pertumbuhan ekonomi, hal ini menunjukkan bahwa pendapatan riil perkapita Negara kita mengalami perbaikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun yang perlu di waspadai pemerintah adalah peningkatan harga yang diakibatkan oleh perubahan kurs rupiah yang berimbas kepada barang-barang non-makanan (perlu diketahui bahwa bobot untuk menghitung inflasi untuk non-makanan relatif kecil, sehingga kenaikannya tidak signifikan terhadap inflasi), pemerintah perlu menjaga keseimbangan neraca berjalan sehingga ekonomi kita bisa stabil.

3.      Dampak atau Akibat Inflasi terhadap Perekonomian

Dampak atau akibat dari inflasi, yang akan terjadi terhadap perekonomian adalah :
a)      Inflasi mempengaruhi dalam arti mengurangi minat masyarakat untuk menabung (propensity to save/PTS) karena mereka khawatir kalau-kalau nilai uang tabungannya semakin lama semakin menurun, sehingga mereka mengurungkan niatnya untuk menabung bahkan cepat-cepat membelanjakan uang/pendapatnnya.
b)      Sebagai akibat dari hal tersebut, maka inflasi berarti mempercepat laju edar uang (velocity of circulation), yang dengan perkataan lain berarti mengurangi hasrat/keinginan untuk menyimpan uang tunai (liquidity preference menurun).
c)      Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap uang baik sebagai medium of change, sebagai store of value maupun sebagai standart of value.
d)     Berkurangnya kesediaan orang/badan untuk memberikan kredit.
e)      Seandainya bank berusaha mendorong produkis dengan jalan memberikan kredit investasi dan atau modal kerja, biasanya hanya akan menambah jumlah uang yang beredar yang berarti hanya akan mengkatrol inflasi ke arah tingkat yang lebih tinggi. Hal tersebut disebabkan karena dana kredit yang diberikan bank bukan berasal dari tabungan/simpanan masyarakat, melainkan berasal dari penciptaan uang baru yang berasal dari bank sentral.
f)       Karena inflasi menyebabkan kecepatan laju edar uang meningkat, maka pajak cenderung naik. Kenaikan pajak menyebabkan gairah usaha/bisnis menjadi berkurang.
g)      Inflasi cenderung menguntungkan orang-orang/badan-badan yang meminjam uang (debitur). Sebaliknya inflasi cenderung merugikan orang-orang/badan-badan yang meminjam uang (kreditur).
Secara kualitatif akibat dari inflasi yang parah akan menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap uang semakin berkurang, sehingga mereka berusaha untuk menghindari penggunaan uang dalam transaksi jual-beli dan lebih tertarik pada perdagangan spekulasi daripada investasi.
Dari aspek sosial, inflasi yang parah cenderung menimbulkan kemiskinan yang meluas dan menambah jurang yang semakin dalam antara segelintir orang-orang yang semakin kaya dengan sebagian orang yang semakin miskin.
Inflasi tidak hanya merugikan masyarakat biasa tetapi juga pemerintah, defisit anggaran belanja akan semakin besar karena penerimaan anggaran pendapatan didasarkan atas harga-harga sebelumnya, sedangkan penerimaan pajak tidak dapat menutupi pengeluaran yang terus-menerus meningkat akibat naiknya harga. Defisit disebut terpaksa ditutup dengan mencetak uang baru atau melalui kredit bank sehingga lagi-lagi menambha volume uang yang beredar yang kembali menyebabkan naiknya harga-harga. Interaksi ini lagi-lagi dikenal sebagai spiral inflation.[5]

4.      Jenis-jenis Inflasi

a)      Jenis Inflasi menurut sifatnya
      Laju inflasi dapat berbeda antara satu negara dengan negara lain atau dalam satu negara dalam waktu yang berbeda. Atas dasar besarnya laju inflasi, dapatlah inflasi di bagi ke dalam tiga kategori, yaitu: inflasi yang ringan (creeping inflation) yaitu kurang dari 10% per tahun, inflasi sedang (galloping inflation) antara 10 – 30 % per tahun, inflasi berat antara 30 - 100% per tahun dan Hiper Inflasi (hyper inflation) yaitu di atas 100% per tahun.[6]
       Biasanya inflasi ringan di tandai dengan laju inflasi yang rendah. Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan persentase yang kecil serta dalam jangka waktu yang relatif lama.
      Inflasi sedang di tandai dengan kenaikan harga yang cukup besar dan kadang kala berjalan dalam kurungn waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi. Artinya harga-harga minggu atau bulan ini lebih tinggi dari harga-harga minggu atau bulan lalu dan seterusnya. Efeknya terhadap perekonomian lebih berat daripada inflasi ringan.
      Inflasi berat merupakan inflai yang paling parah akibatnya. Harga-harga naik sampai 5 atau 6 kali. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan uang. Nilai uang merosot dengan tajam sehingga ingin di tukarkan dengan barang. Perputaran uang makin cepat, harga naik secara akselerasi. Biasanya keadaan ini timbulapabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja( misalnya di timbulkan oleh adanya perang) yang di tutup dengan mencetak uang.[7]
b)      Jenis Inflasi berdasarkan sebabnya
Berdasarkan sebabnya, inflasi dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1)      Demand Pull Inflation
Inflasi ini terjadi sebagai akibat pengaruh permintaan yang tidak diimbangi oleh peningkatan jumlah penawaran produksi. Akibatnya, sesuai dengan hukum permintaan, jika permintaan banyak sementara penawaran tetap, harga akan naik. Jika hal ini berlangsung secara terus-menerus, akan mengakibatkan inflasi yang berkepanjangan. Oleh karena itu, untuk mengatasinya diperlukan adanya pembukaan kapasitas produksi baru dengan penambahan tenaga kerja baru.



2)      Cost Push Inflation
Inflasi ini disebabkan karena kenaikan biaya produksi yang disebabkan oleh kenaikan biaya input atau biaya faktor produksi. Akibat naiknya biaya faktor produksi, dua hal yang dapat dilakukan oleh produsen, yaitu langsung menaikkan harga produknya dengan jumlah penawaran yang sama atau harga produknya naik karena penurunan jumlah produksi.[8]

Keterangan gambar :
P          = harga
D         = permintaan
S          = penawaran
Q         = jumlah barang (output)
Gambar demand pull inflation menunjukkan permintaan masyarakat akan barang-barang secara keseluruhan (aggregate demand) bertambah. Hal tersebut disebabkan karena uang baru atau karena kenaikan permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor atau karena bertambahnya pengeluaran untuk investasi pihak swasta karena kredit murah, maka kurva aggregate demand bergeser dari D1 ke D2 akibatnya harga naik dari P1 ke P2.
Gambar Cost Push Inflation menunjukkan bahwa apabila ongkos produksi naik yang disebabkan oleh karena kenaikan harga faktor-faktor produksi baik yang berasal dari dalam negeri maupun yang diimpor dari luar negeri, maka kurva penawaran masyarakat (aggregate supply) bergeser dari S1 ke S2, sehingga harga naik dari P1 ke P2.
Dampak atau akibat dari kedua macam inflasi tersebut dari segi kenaikan harga out put, tidaklah berbeda tetapi dari segi volume output (gross domestic product/ GDP) riil terdapat perbedaan. Dalam hal demand pull inflation biasanya ada kecenderungan output rill meningkat bersama-sama dengan kenaikan harga umumnya. Sebaliknya dalam cost oush inflation biasanya kenaikan harga barang-barang bersamaan dengan penurunan volume/omzet penjualan barang-barang. Dengan perkataan lain terjadi kelesuan dunia usaha.
Perbedaan lainnya dari kedua proses inflasi tersebut adalah demand pull inflation kenaikan harga barang-barang akhir (final product/ output) mendahului kenaikan harga barang-barang input yaitu faktor-faktor produksi. Sebaliknya pada cost push inflation kenaikan harga barang-barang input mendahului harga barang-barang akhir.
Namun demikian, dalam kenyataannya jarang sekali dijumpai terjadinya kedua jenis inflasi tersebut masing-masing secara murni, yang sering terjadi pada umumnya adalah campuran atau kombinasi dari kedua macam inflasi tersebut, sehingga seringkali keduanya saling memperkuat satu sama lain.[9]

5.      Teori-teori Inflasi

Pada dasarnya ada 3 (tiga) macam teori tentang inflasi, yaitu:[10]
a.       Teori Kuantitas (Teori Irving Fisher)
Teori kuantitas adalah teori yang paling tua. Teori ini menyoroti peranan dalam proses inflasi dari jumlah uang beredar, psikologi (harapan) masyarakat mengenai harga-harga (expectations).
1)      Inflasi hanya terjadi apabila ada penambahan volume uang beredar baik kartal maupun giral. Tanpa kenaikan jumlah uang beredar jika adanya kejadian gagal panen, misalnya, hanya akan menaikkan harga untuk sementara waktu saja. Jika jumlah uang beredar tidak ditambah maka inflasi akan terhenti dengan sendirinya apapun sebab kenaikan awal inflasi tersebut.
2)      Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga- harga di masa mendatang. Ada 3 kemungkinan keadaan, yaitu:
a)      Masyarakat tidak/ belum mengharapkan harga naik pada bulan mendatang. Sebagian besar penambahan jumalah uang beredar digunakan untuk memperbesar pos kas. Sebagian besar uang tidak dibelanjakan untuk pembelian barang. Belum terjadi kenaikan permintaan barang yang berarti. Dalam keadaan ini kenaikan jumlah uang beredar sebesar 10 % diikuti dengan kenaikan harga sebesar 1%. Masyarakat belum menyadari adanya inflasi.
b)      Masyarakat mulai sadar bahwa ada inflasi. Penambahan jumlah uang beredar digunakan untuk membeli barang-barang untuk menghindari kerugian yang timbul seandainya mereka memegang uang kas. Akibatnya permintaan barang-barang akan naik sehingga memicu kenaikan harga. Kenaikan jumlah beredar sebesar 10% diikuti dengan kenaikan harga sebesar 10%.
c)      Tahapan yang ketiga yaitu hiperinflasi. Masyarakat sudah kehilangan kepercayaan terhadap nilai mata uang. Masyarakat mulai enggan memegang uang dan enggan untuk membelanjakannya. Keadaan ini ditandai dengan semakin cepatnya peredaran uang (velocity of circulation yang menaik). Kenaikan jumlah uang beredar sebesar 20% mengakibatkan kenaikan harga sebesar 20%. Inflasi ini pernah terjadi di Indonesia pada Tahun 1961- 1966. Hiperinflasi menghancurkan sendi-sendi ekonomi moneter dan sosial politik.
b.      Teori Keynes
Teori Keynes mengenai inflasi didasarkan atas teori makronya. Menurut teori ini inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Proses inflasi menurut pandangan ini adalah proses perebutan bagian rezeki di antara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian yang lebih besar daripada yang bisa disediakan oleh masyarakat tersebut. Maksudnya adalah keadaan ketika permintaan masyarakat atas barang-barang selalu melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (inflationary gap).
Teori ini mengasumsikan bahwa perekonomian sudah berada pada tingkat full employment. Menurut Keynes kuantitas uang tidak berpengaruh terhadap tingkat permintaan total, karena suatu perekonomian dapat mengalami inflasi walaupun tingkat kuantitas uang tetap konstan. Jika uang beredar bertambah maka harga akan naik. Kenaikan harga ini akan menyebabkan bertambahnya permintaan uang untuk transaksi, dengan demikian akan menaikkan suku bunga. Hal ini akan mencegah pertambahan permintaan untuk investasi dan akan melunakkan tekanan inflasi.
c.       Teori Strukturalis
Teori ini juga teori inflasi jangka panjang, karena menyoroti sebab-sebab munculnya inflasi yang berasal dari kekakuan struktur ekonomi terutama yang terjadi di negara berkembang. Teori ini memberikan tekanan pada ketegaran (inflexibilities) dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang.
Teori strukturalis adalah teori inflasi jangka panjang. Disebut teori inflasi jangka panjang karena teori ini mencari faktor-faktor jangka panjang manakah yang bisa mengakibatkan inflasi. Menurut teori ini, ada 2 ketegaran utama dalam perekonomian negara-negara sedang berkembang yang bisa menimbulkan inflasi.
1)      Ketegaran yang pertama berupa “ketidakelastisan” dari penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibanding dengan pertumbuhan sektor-sektor lain. Kelambanan ini disebabkan karena:
a)      Harga di pasar dunia dari barang-barang ekspor negara tersebut makin tidak menguntungkan dibanding dengan harga barang-barang impor yang harus dibayar.
b)      Supply atau produksi barang-barang ekspor yang tidak responsive terhadap kenaikan harga (supply barang-barang ekspor yang tidak elastis).
2)      Ketegaran yang kedua berkaitan dengan ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan di dalam negeri. Proses Inflasi yang timbul karena dua ketegaran tersebut dalam praktek jelas tidak berdiri sendiri. Umumnya kedua proses tersebut saling berkaitan dan sering kali memperkuat satu sama lain.

6.      Cara-cara Mengatasi Inflasi

Cara-cara mengatasi inflasi pada dasarnya harus diarahkan pada faktor-faktor  yang menyebabkan perubahan harga dalam hal ini harga menjadi naik atau dengan perkataan lain nilai uang menjadi turun.
Sebagaimana diketahui bahwa factor-faktor  yang menjadi akar penyebab perubahan nilai uang adalah M, V, dan T. Oleh karena itu, tiada lain daripada usaha mengurangi M dan/ atau V, yang keduanya tergolong pada faktor moneter dan atau meningkatkan T.
Dalam hal ini ada 4 (empat) kebijakan (policy) yang dapat ditempuh untuk mengatasi inflasi tersebut, yaitu:[11]
a)      Kebijakan Moneter
b)      Kebijakan Fiskal
c)      Kebijakan Non Moneter
d)     Kombinasi dari ketiga cara di atas


a)      Kebijakan Moneter (Monetary Policy)
Kebijakan moneter pada dasarnya dilaksanakan oleh Bank Sentral untuk mengurangi jumlah uang yang beredar yang  menjadi wewenangnya, melalui 3 (tiga) cara, yaitu:
1)      Menaikkan cash reserve ratio/CRR atau cash ratio atau presentase likuiditas atau giro wajib minimum/GWM.
Dengan kenikan CRR, kemampuan bank-bank umum untuk memberikan credit menjadi berkurang, jadi terdapat kontraksi moneter sehingga jumlah uang yang beredar (factor M) menjadi berkurang, tidak lebih, sehingga harga menjadi turun.
2)      Menjual surat-surat berharga, dalam rangka operasi pasar terbuka (open market operation/OMO), misalnya melalui sertifikat Bank Indonesia/ SBI Surat Berharga Pasar Uang/SPBU dan lain sebagainya dengan tingkat bunga atau imbalan yang menarik, maka uang beredar yang ber lebih di masyarakat sebagian akan tersedot ke kas bank sentral sehingga jumlah uang yang beredar di masyarakat (M) menjadi berkurang.
3)      Menaikan tingkat bunga kredit. Apabila bank sentral meningkatkan tingkat bunga kredit dasar (base lending rate), maka dengan meningkatkan bunganya tersebut, dalam rangka politik disconto (discount policy), berarti bak-bank umum dalam menentukan tingkat bunga kreditnya tidak bisa tidak harus mengikuti/ mengacu pada ketentuan bank sentral tersebut. Dengan meningkatnya bunga kredit maka akan mengurangi minat sebagian anggota masyarakat untuk mengambil kredit, sehingga jumlah uang yang beredar (M) menjadi berkurang (tidak terlalu banyak)
b)      Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)
Terdapat 3 cara mengatasi inflasi melalui kebijakan fiskal, yaitu:
1)      Pengurangan pengeluaran pemerintah
Walaupun pengurangan pengeluaran pemerintah (government expenditure) bukanlah merupakan sesuatu hal  yang mudah, terlebih-lebih apabila diklaitkan dengan tuntutan kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin lama semakin besar dan berkelanjutan, namun apabila hal itu dapat dilaksanakan maka sangat efektif untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Kebijakan ini sering disebut tight money policy/TMP atau kebijakan uang ketat.
2)      Menaikkan pajak.
Dengan menaikkan pajak maka berarti penghasilan seseorang (disposable income). Akan menjadi berkurang. Sehingga barang-barang harganya tidak akan naik. Dipihak lain uang ya ng berasal dari pajak akan masuk kas pemerintah, hal ini berarti mengurangi jumlah uang yang berlebih di masyarakat.
Menaikkan pajak dapat dilakukan dengan cara meningkatkan tarif pajak atau menambah jenis dan objek pajak atau kombinasi kedua-duanya.
3)      Pemerintah melakukan pinjaman kepada masyarakat.
Pemerintah melakukan pinjaman kepada masyarakat dengan berbagai cara, misalnya melalui penjualan obligasi Negara, surat utang Negara, surat perbendaharaan Negara dan lain sebagainya dengan  bunga atau imbalan/ bagi hasil yang menarik. Atau melalu pemotongan gaji / upah atau misalnya melalui pengguntingan uang kertas yang beredar sehingga hanya bernilai setengahnya atau tiga perempatnya dari nilai semula.
c)      Kebajikan Non Moneter
Kebijakan non moneter moneter adalah kebijakan untuk mengatasi inflasi diluar kedua cara yang telah disebutkan diatas.
Caranya ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1)      Meningkatkan hasil produksi  (production approach)
Cara mengatasi inflasi melalui peningkatan hasil produksi adalah cara yang paling efektif, namun dalam pelaksanaanya sering kali mengalami kesulitan, karena kelangkaan sumber-sumber atau faktor-faktor produksi yang diperlukan. Sebagaimana  dimaklumi mneingktkan produksi berarti meninkatkan unsur T dalam rumus Fisher, hal tersebut hanya dapat di laksanakan melalui peningkatan kapasitas produksi atau menambah jam kerja bagi para buruh/pegawai. Sedangkan apabila di harapkan peningkatan produksi yang lebih pesat dan dengan kualitas yang lebih baik, maka harus melalui penerapan teknologi yang lebih baik dan modern. Cara ini lazim disebut pendekatan produksi atau production approach.
2)      Kebijakan upah/gaji
Yang dimaksut dengan kebijakan mengenai upah dan gaji dalam rangka mengatasi inflasi ialah tidak menaikan upah dan gaji sama sekali selama produktivitas buruh dan pegawai tersebut tidak meningkat . Dengan demikian disposable income/ penghasilan yang siap untuk di belanjakan yang di miliki oleh mereka tidak bertambah, dan hal tersebut akan menghambat kenaikan harga barang-barang.
3)      Pengawasan Harga Barang dan Distribusinya
Kecenderungan naiknya harga barang-barang bisa di atasi di samping oleh cara-cara yang telah dikemukakandi atas, dapat juga di atasi dengan cara penetapan harga dan penawasan harga di atas dengan cara penetapan harga dan pengawasan harga serta cara-cara distribusinya oleh pemerintah, disertai tindakan pengenaan sansi kepada para pelanggar-pelangaranya.
Namun diakui bahwa dalam pelaksananya cara ini sulit berjalan sebagaimana yang diharapkan,bahkan sering menimbulkan dampak negatif yaitu sering kali terjadi dualisme harga yaitu adanya harga resmi, berupa harga yang di tetapkan oleh pemerintah dan harga yang tidak resmi  (sering dikenal sebagai harga “gelap”) yang biasanya lebih tinggi dari harga resmi. Oleh karena itu barang-barang sering menghilangkan di pasaran resmi dan muncul dipasaran gelap (black market).
d)     Kombinasi dari berbagai cara
Maksut mengatasi inflasi dengan kombinasi berbagai cara adalah cara menjelaskan kebijakan anti inflasi bersama-sama secara simultan melalui kebijakan moneter, kebijakan fiscal bahkan mungkin dengan kebijakan pengawasan harga sekaligus.

D.    Perkembangan Inflasi di Indonesia

Perkembangan inflasi di Negara kita beberapa tagun terakhir khususnya dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2009, sebagai berikut:[12]

Tabel Perkembangan Inflasi Indonesia

Tahun
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tingkat Inflasi
5,16%
6,40%
17,11%
6,60%
6,59%
11,06%
2,79%



Tabel Perkembangan Tingkat Inflasi di Indonesia Periode 2005 – 2013

Tahun

Inflasi (Persen)

2005
17.11

2006
6.6

2007

6.59

2008

11.06

2009

2.78

2010
6.96

2011

3.79
2012

4.3

2013

8.38

Sumber:  Badan Pusat Statistik, 2013
Berdasarkan Tabel diatas dapat dilihat perkembangan inflasi selama periode 2005 sampai  2013 yang mengalami fluktuasi yang beragam inflasi tertinggi terjadi pada periode 2005 sebesar 17.11% kemudian bergerak turun pada periode 2006 sebesar 6.6% setelah itu naik kembali pada  tahun 2008 yaitu sebesar 11.06% dikarenakan pada saat itu terjada krisis global yang melanda dunia sehingga berdampak buruk bagi perekonomian di Indonesia.
Dalam perkembangnya setiap tahun Inflasi terendah diperoleh pada periode 2009 yaitu sebesar 2.78% namun kemudian mengalami kenaikan pada periode 2010 yaitu sebesar 6.69% dan kemudian mengalami penurunan pada periode 2011 sebesar 3.79% hingga kemudian mengalami kenaikan pada periode 2013 sebesar 8.38% yang menyebabkan persentase pertumbuhan ekonomi menjadi tidak berarti kemudian berdampak pada naiknya angka kemiskinan di Indonesia.
Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan inflasi di Indonesia yaitu suku bunga acuan bank indonesia atau dengan kata lain BI Rate yang menjadi signal bagi perbankan untuk menetapkan tingkat suku bunganya seperti tabungan, deposito dan kredit. Menurut Yodiatmaja (2012:3) perubahan BI  Rate akan mempengaruhi beberapa variabel makroekonomi yang kemudian  diteruskan kepada inflasi. Perubahan berupa peningkatan level BI Rate bertujuan untuk mengurangi laju aktifitas ekonomi yang mampu memicu inflasi. Pada saat level BI Rate naik maka suku bunga kredit dan deposito pun akan mengalami kenaikan. Ketika suku bunga deposito naik, masyarakat akan cenderung menyimpan uangnya di bank dan jumlah uang yang beredar berkurang. Pada suku bunga kredit, kenaikan suku bunga akan merangsang para pelaku usaha untuk mengurangi investasinya karena biaya modal semakin tinggi. Hal demikianlah yang meredam aktivitas ekonomi dan pada akhirnya mengurangi tekanan inflasi.[13]

E.     Hubungan antara Uang Beredar dengan Inflasi

Friedman dan Schwartz menulis dua makalah yang mendokumentasi sumber dan pengaruh perubahan dalam kuantitas uang selama periode 1867 – 1960 dan 1867 – 1975 di Amerika Serikat. Secara empiris, Friedman dan Schwartz berhasil memverifikasi hubungan antara  inflasi dan pertumbuhan jumlah uang beredar. Hasil penelitian Friedman dan Schwartz menunjukkan bahwa di Amerika Serikat dekade-dekade dengan pertumbuhan uang tinggi cenderung memiliki inflasi yang tinggi, dan dekade-dekade dengan pertumbuhan uang rendah cenderung memiliki inflasi yang rendah.
Hasil yang sama diperoleh dari perbandingan tingkat rata-rata inflasi dan tingkat rata-rata pertumbuhan uang di lebih dari 100 negara selama tahun 1990-an. Dalam kajian tersebut, terdapat hubungan yang jelas antara pertumbuhan uang dan inflasi. Negara-negara dengan pertumbuhan uang tinggi cenderung memiliki inflasi yang tinggi, sementara negara-negara dengan pertumbuhan uang rendah cenderung memiliki inflasi yang rendah. Namun demikian, menurut Mankiw (2003), keeratan hubungan inflasi dengan jumlah uang beredar tidak dapat dilihat dalam jangka pendek. Teori inflasi ini bekerja paling  baik dalam jangka panjang, bukan dalam jangka pendek. Dengan demikian, hubungan antara pertumbuhan uang dan inflasi dalam data bulanan tidak akan seerat hubungan keduanya jika dilihat selama periode 10 tahun.
Keynes  dalam  Boediono  (1994) menyatakan bahwa inflasi disebabkan oleh permintaan agregat yang terjadi bukan hanya karena ekspansi Bank Sentral melainkan juga oleh pengeluaran investasi (baik oleh pemerintah maupun swasta) dan pengeluaran konsumsi pemerintah yang melebihi penerimaan (defisit anggaran belanja Negara) dalam kondisi ekonomi full employment. 
Nilai uang ditentukan oleh supply demand terhadap uang. Jumlah uang beredar ditentukan oleh Bank Sentral, sementara jumlah uang yang diminta (money demand) ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain tingkat harga rata-rata dalam perekonomian. Jumlah uang yang diminta masyarakat untuk melakukan transaksi bergantung pada tingkat harga barang dan jasa yang tersedia. Semakin tinggi tingkat harga, semakin besar jumlah uang yang diminta. Tingkat harga ditentukan dan berubah seiring dengan perubahan jumlah uang beredar disebut teori kuantitas uang (quantity theory of money). Berdasarkan teori ini, jumlah uang yang beredar dalam suatu perekonomian merupakan nilai uang, sementara pertumbuhan jumlah uang beredar merupakan sebab utama terjadinya inflasi.[14]
Dalam penelitian lain menyebutkan bahwa jumlah uang beredar berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia dan temuan ini tidak sesuai dengan teori dimana apabila jumlah uang beredar bertambah maka tingkat inflasi akan meningkat. Dalam penelitian yang telah dilakukan jumlah uang beredar mempunyai hubungan negatif dengan tingkat Inflasi.[15]




                                                                           BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan

1.      Uang beredar adalah semua jenis uang yang berada di dalam perekonomian yaitu jumlah dari mata uang dalam peredaran ditambah dengan uang giral dalam bank-bank umum.
2.      Tingkat inflasi adalah perubahan harga barang-barang dan jasa-jasa dalam perekonomian dalam waktu relatif lama. Inflasi adalah salah satu indikator penting perekonomian selain pendapatan nasional, tingkat pengangguran, ketidakseimbangan neraca pembayaran dan lainnya.
3.      Perkembangan inflasi di Indonesia dalam kurun waktu 15 tahun terakhir berfluktuasi. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan inflasi di Indonesia yaitu suku bunga acuan bank indonesia atau dengan kata lain BI Rate yang menjadi signal bagi perbankan untuk menetapkan tingkat suku bunganya seperti tabungan, deposito dan kredit.
4.      Dalam jangka pendek jumlah uang beredar tidak berpengaruh atau tidak signifikan terhadap laju inflasi di Indonesia. Tetapi, semakin besar jumlah uang yang beredar dalam masyarakat maka inflasi juga akan meningkat.

B.     Saran

1.      Sebaiknya pemerintah harus memperhitungkan atau memperkirakan akan timbulnya inflasi yang akan terjadi bila ingin mengadakan penambahan pencetakan uang baru, karena pencetakan uang baru yang terlalu besar akan mengakibatkan goncangnya perekonomian.
2.      Bila telah terjadi inflasi, pemerintah harus selalu siap dan tegas dengan menentukan kebijakan apa yang dibutuhkan untuk mengatasi inflasi di Indonesia, seperti kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan non meneter maupun kombinasi dari ketiga kebijakan tersebut.



DAFTAR PUSTAKA


Basuki, Agus Tri dan Nano Prawoto. Pengantar Ekonomi Mikro & Makro, Sleman: Danisa Media, 2015.
Boediono. Ekonomi Moneter Edisi 3, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1998
Firdaus, Rachmat dan Maya Ariyanti. Pengantar Teori Moneter, Bandung: Alfabeta, 2011.
Hario Aji Hartomo, “PENGARUH JUMLAH UANG BEREDAR DAN KURS TERHADAP TINGKAT INFLASI DI INDONESIA SEBELUM DAN SETELAH KRISIS GLOBAL 2008”, Jurnal Media Ekonomi, Vol. 18 No. 3, Desember, 2010
Heru Perlambang, ANALISIS PENGARUH JUMLAH UANG BEREDAR,SUKU BUNGA SBI, NILAI TUKAR TERHADAP TINGKAT INFLASI, Jurnal Media Ekonomi Vol. 18 No. 2 Agustus 2010
Iswardono. Uang dan Bank, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1999.
Nopirin Ph.D. Ekonomi Moneter, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta,  buku II, 1987.
Sukirno, Sadono. Makroekonomi Teori Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, Edisi Ketiga, 2011.
Suparmoko, M. Pengantar Ekonomika Makro, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1999), edisi keempat, hlm. 213
Theodores Manuela Langi, Vecky Masinambow, Hanly Siwu , “ANALISIS PENGARUH SUKU BUNGA BI, JUMLAH UANG BEREDAR, DAN TINGKAT KURS TERHADAP TINGKAT INFLASI DI INDONESIA”, Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, Volume 14 no. 2, Mei, 2014
















[1] Sadono Sukirno, Makroekonomi Teori Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Edisi Ketiga, hlm. 281-283
[2] Iswardono. Uang dan Bank, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1999), hlm. 120-122
[3] Agus Tri Basuki, Nano Prawoto, Pengantar Ekonomi Mikro & Makro, (Sleman: Danisa Media, 2015) hlm. 259-260
[4] Ibid,. hlm. 265
[5] Rachmat Firdaus, Maya Ariyanti, Pengantar Teori Moneter, (Bandung : Alfabeta, 2011), hlm. 117-119
[6] Drs M. Suparmoko, M.A.,Ph.D, Pengantar Ekonomika Makro, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1999), edisi keempat, hlm. 213
[7] Nopirin Ph.D, Ekonomi Moneter, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1987), buku II,  hlm. 27
[8] Ibid,. hlm. 29-30
[9] Rachmat Firdaus, Maya Ariyanti, Pengantar Teori Moneter, (Bandung : Alfabeta, 2011), hlm. 121
[10] Ibid,. hlm. 122-125
[11] Rachmat Firdaus, Maya Ariyanti, Pengantar Teori Moneter, (Bandung : Alfabeta, 2011), hlm. 125-128
[12] Ibid,. hlm. 128-129
[13] Theodores Manuela Langi, Vecky Masinambow, Hanly Siwu , “ANALISIS PENGARUH SUKU BUNGA BI, JUMLAH UANG BEREDAR, DAN TINGKAT KURS TERHADAP TINGKAT INFLASI DI INDONESIA”, Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, Volume 14 no. 2, Mei, 2014
[14] Hario Aji Hartomo, “PENGARUH JUMLAH UANG BEREDAR DAN KURS TERHADAP TINGKAT INFLASI DI INDONESIA SEBELUM DAN SETELAH KRISIS GLOBAL 2008”, Jurnal Media Ekonomi, Vol. 18 No. 3, Desember, 2010
[15] Theodores Manuela Langi, Vecky Masinambow, Hanly Siwu , “ANALISIS PENGARUH SUKU BUNGA BI, JUMLAH UANG BEREDAR, DAN TINGKAT KURS TERHADAP TINGKAT INFLASI DI INDONESIA”, Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, Volume 14 no. 2, Mei, 2014

1 komentar:

  1. Sekarang rupiah lagi down. Semoga rupiah tidak merosot lagi dipermainkan Dollar dan tidak dipecundangi oleh kebijakan pemerintah sendiri. Salam kenal, mampir ke blogku ada apa aja

    BalasHapus

PROPOSAL MAGANG DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI

PROPOSAL MAGANG DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI KANTOR CABANG PEMBANTU YOGYAKARTA (WIROBRAJAN) Jalan HOS Cokroaminoto No. 33A, Yogyak...