UANG
BEREDAR DAN INFLASI DI INDONESIA
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata
Kuliah Perekonomian Indonesia
Dosen pengampu : Andri Martiana, Lc.,
M.A.
Disusun oleh :
Arini Leviani S.W (20130730259)
Fakultas
Agama Islam
Program
Studi Ekonomi Perbankan Islam
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
2016
KATA PENGANTAR
Puji
Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga sampai saat ini kita masih bisa beraktivitas dan
menyelesaikan tugas penelitian ini.
Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas tentang
uang beredar dan inflasi di Indonesia yang meliputi: mata uang dalam
peredaran dan uang beredar, gambaran inflasi dalam perekonomian, perkembangan inflasi
di Indonesia dan hubungan antara uang beredar dengan Inflasi.
Makalah
ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia dengan semaksimal mungkin
sesuai kemampuan yang kami miliki dan bantuan dari beberapa sumber. Terima
kasih kami ucapkan kepada Ibu
Andri Martiana, Lc., M.A., selaku dosen mata kuliah
Perekonomian Indonesia yang sudah memberikan tugas ini, sehingga kami dapat berlatih untuk membuat makalah. Di
samping dapat menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, tetapi kami juga dapat
berlatih menjadi insan peneliti di masa depan.
Semoga makalah yang kami buat ini dapat
bermanfaat untuk pembaca dan diperkenankan bagi pembaca untuk memberikan kritik
dan saran. Karena kritik dan
saran yang membangun, akan menjadikan kesempurnaan makalah ini.
Yogyakarta, 4 Maret 2016
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan moneter dan kebijakan fiskal
satu sama lain saling berpengaruh dalam kegiatan perekonomian. Dalam upaya penetapan
sasaran dalam proses pembangunan ekonomi maka koordinasi antara Bank Indonesia
dan Pemerintah dilakukan dalam rangka menghadapi berbagai tantangan dan
persoalan. Koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia adalah membahas dan
merekomendasikan kebijakan-kebijakan yang diperlukan baik dari sisi Pemerintah
maupun Bank Indonesia.
Bank Indonesia mempunyai kewenangan
dalam Kebijakan moneter. Kewenangan Bank Indonesia tersebut antara lain dalam
menetapkan sasaran sasaran moneter dengan memperhatikan laju inflasi dan
melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang termasuk
tetapi tidak terbatas pada operasi pasar terbuka dipasar uang baik rupiah
maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib
minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. (UU RI No.3 Tahun 2004 tentang
perubahan atas undang-undang RI No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia).
Dinamisnya perkembangan perkonomian
Indonesia sepertinya mendorong perubahan perilaku yang dinamis pada
variabel-variabel ekonomi yang terlibat di dalamnya. Jumlah uang beredar dan
Inflasi adalah dua dari sekian banyak variabel ekonomi makro yang paling banyak
memiliki peran dalam aktivitas perekonomian suatu Negara, tidak terkecuali
dalam perekonomian Indonesia.
Berkaitan dengan hal ini, kebijakan
pemerintah untuk mengevaluasi dan mengendalikan kedua variabel tersebut
terlihat dalam kegiatan moneter yang dijalankan oleh pemerintah dalam hal ini
Bank Indonesia, sebagai pemegang otoritas moneter di Indonesia.
Selama ini pengendalian kebijakan
pengendalian uang beredar dan pengendalian tingkat inflasi menjadi kebijakan
prioritas Bank Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut memang memiliki dampak
yang sangat penting bagi perjalanan perekonomian Indonesia.
Jumlah uang beredar menjadi teramat
penting karena peranannya sebagai alat transaksi penggerak perekonomian. Besar
kecilnya uang beredar akan mempengaruhi daya beli riil masyarakat dan juga
tersedianya komoditi yang dibutuhkan masyarakat.
Krisis moneter yang melanda
negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, telah menyebabkan rusaknya sendi-sendi
perekonomian nasional. Krisis moneter menyebabkan terjadinya imported inflation sebagai akibat dari
terdepresiasinya secara tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, yang
selanjutnya mengakibatkan tekanan inflasi yang berat bagi Indonesia.
Jika melihat begitu dasyatnya pengaruh
lonjakan angka inflasi di Indonesia (akibat dari imported inflation yang dipicu oleh terdepresiasinya nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing) terhadap perekonomian nasional, maka dirasa
perlu untuk memberikan perhatian ekstra terhadap masalah inflasi ini dengan
cara mencermati kembali teori-teori yang membahas tentang inflasi;
faktor-faktor yang menjadi sumber penyebab timbulnya inflasi di Indonesia;
serta langkah-langkah apakah yang sebaiknya diambil untuk dapat keluar dari
perangkap inflasi ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut diatas, maka
kami membatasi makalah ini pada pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Apa
definisi Mata Uang dalam Peredaran dan Uang Beredar?
2. Bagaimana
Jumlah Uang Beredar di Negara-Negara Berkembang?
3. Bagaimana
Gambaran Inflasi dalam Perekonomian?
4. Bagaimanakah
Perkembangan Inflasi di Indonesia?
5. Bagaimanakah
Hubungan antara Uang Beredar dengan Inflasi?
C. Tujuan
Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui
dan memahami Mata Uang dalam Peredaran dan Uang Beredar.
2. Mengetahui
dan memahami Jumlah Uang Beredar di Negara-Negara Berkembang.
3. Mengetahui
dan memahami Gambaran Inflasi dalam Perekonomian.
4. Mengetahui
dan memahami Perkembangan Inflasi di Indonesia.
5. Mengetahui
dan memahami Hubungan antara Uang Beredar dengan
Inflasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mata Uang dalam Peredaran dan Uang Beredar
Di dalam membahas mengenai uang yang terdapat
dalam perekonomian, adalah penting untuk membedakan di antara mata uang dalam
peredaran dan uang beredar. Mata uang dalam peredaran adalah seluruh jumlah
mata uang yang telah dikeluarkan dan diedarkan oleh bank sentral. Mata uang tersebut
terdiri dari dua jenis, yaitu uang logam dan uang kertas. Dengan demikian mata
uang dalam peredaran adalah sama dengan uang kartal. Sedangkan uang beredar
adalah semua jenis uang yang berada di dalam perekonomian yaitu ia adalah
jumlah dari mata uang dalam peredaran ditambah dengan uang giral dalam
bank-bank umum.
Pengertian uang
beredar atau money supply perlu
dibedakan pula menjadi dua pengertian, yaitu pengertian terbatas dan pengertian
yang luas. Dalam pengertian yang terbatas uang beredar adalah mata uang dalam
peredaran ditambah dengan uang giral yang dimiliki oleh
perseorangan-perseorangan, perusahaan-perusahaan, dan badan-badan pemerintah.
Dalam pengertian yang luas uang beredar meliputi: mata uang dalam peredaran,
uang giral, dan uang kuasi. Uang kuasi terdiri dari deposito berjangka,
tabungan dan rekening (tabungan) valuta asing milik swasta domestik. Uang
beredar menurut pengertian yang luas ini dinamakan juga sebagai likuiditas
perekonomian atau M2. Pengertian yang sempit dari uang beredar selalu disingkat
menjadi dengan M1.[1]
Uang beredar M1 dan
M2, 1970-2002 (dalam milyar rupiah)
Tahun
|
Uang Beredar (M1)
|
Uang Kuasi
|
Likuiditas
Perekonomian (M2)
|
||
Kartal
|
Giral
|
Jumlah
|
|||
1971
|
155
|
95
|
250
|
80
|
330
|
1975
|
625
|
625
|
1. 250
|
728
|
1.978
|
1980
|
2.153
|
2.842
|
1.995
|
2.696
|
7.691
|
1985
|
4.440
|
5.664
|
10.104
|
13.049
|
23.153
|
1990
|
9.094
|
14.725
|
23.819
|
60.811
|
84.630
|
1995
|
20.807
|
31.870
|
52.677
|
-
|
-
|
2000
|
72.371
|
89..815
|
162.156
|
584.842
|
747.028
|
2001
|
76.342
|
101.369
|
177.731
|
666.322
|
844.053
|
2002
|
80.686
|
111.253
|
191.939
|
691.969
|
883.908
|
Dari tabel diatas
ditunjukkan jumlah uang beredar menurut pengertian yang terbatas (M1), dan
menurut pengertian yang luas yaitu likuiditas perekonomian atau (M2). Data yang
ditunjukkan adalah untuk tahun-tahun terpilih dalam periode 1970-2002 yaitu dalam
periode lebih dari tiga puluh tahun. Angka-angka dalam tersebut menujukkan
gambaran seperti yang diterangkan di bawah ini:
1.
Pada tahun 1970, uang kartal merupakan bagian yang
lebih penting dari uang giral. Tetapi pada tahun 1975 uang kartal dan uang giral
telah sama pentingnya dan semenjak itu uang giral telah merupakan bagian yang
lebih penting dari uang beredar dalam pengertian yang sempit (M1). Dalam tahun
2002 uang giral (sebanyak 111,3 trilliun rupiah) telah meliputi 58 persen dari
M1.
2.
Jumlah uang yang beredar dalam arti sempit (M1)
meningkat dari 250 milyar rupiah pada tahun 1970 menjadi 192 trilliun rupiah
dalam tahun 2002. Berarti M1, meningkat sebanyak 768 kali lipat dalam tempat 33
tahun (dari tahun 1970 hingga 2002).
3.
Uang kuasi mengalami pertambahan yang lebih cepat
dari uang kartal dan uang giral. Dalam tahun 1970 jumlahnya baru mencapai 80
milyar rupiah dan jumlah ini adalah lebih tiga kali lipat dari uang kuasi.
Keadaan sebaliknya berlaku pada tahun 2002. Uang kuasi telah mencapai hampir Rp
692 triliun, yaitu kurang lebih tiga setengah kali lipat dari jumlah M1
(sebanyak Rp 192 triliun). Uang kuasi telah menjadi lebih penting dari M1 sejak
tahun 1984.
4.
Sebagai akibat pertumbuhan uang kuasi yang pesat, M2
yaitu likuiditas perkonomian atau uang beredar dalam pengertian yang luas juga
mengalam pertambahan yang sangat pesat. Jumlahnya meningkat dari Rp 330 milyar
dalam tahun 1970 menjadi hampir Rp 883,9 triliun dalam tahun 2002 dan ini
menggambarkan kenaikan sebesar 2552 kali lipat.
B. Jumlah Uang Beredar di Negara-Negara Berkembang
Perkembangan Jumlah Uang Beredar (JUB) di Negara-negara yang sedang berkembang tidak luput dari perkembangan dan pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan di Negara sedang berkembang yang mempunyai peranan penting dalam peningkatan pembangunan ekonomi di Negara sedang berkembang. Lembaga-lembaga keuangan ini termasuk di dalamnya adalah Bank Sentral, bank-bank umum komersial, bank-bank koperasi, bank pembanguan dan lembaga-lembaga keuangan ini terorganisasi dan sering disebut sebagai “dealers of debt”.[2]
Bank Sentral di Negara sedang berkembang mempunyai 2 fungsi yang tradisional dan nontradisional. Fungsi yang tradisional Bank Sentral antara lain:
1. Sebagai
“Bank”nya Pemerintah dan pemegang keuangan pemerintah.
2. Sebagai
“monopolis” dalam mencetak uang kartal untuk mempertahankan kepercayaan
masyarakat terhadap nilai uang.
3. Sebagai
“lender of the last resort” artinya Bank Sentral menyediakan likuiditas bagi
bank-bank umum dan lembaga keuangan lainnya yang mengalami kesulitan
likuiditas.
4. Sebagai
“pengawas kredit” artinya mengatur jumlah dan tersedianya kredit dalam
perekonomian.
5. Sebagai
“bankers bank” artinya Bank Sentral bertindak sebagai bank komersial bagi
bank-bank umum. Ini berarti bahwa hubungan antara Bank Sentral dengan bank-bank
umum sebagaimana masyarakat terhadap bank-bank umum.
6. Sebagai
“penjaga nilai tukar” dalam artian Bank Sentral bertindak untuk menjaga agar
niali tukar tidak berfluktuasi secara tajam.
Bank-bank komersial di Negara
berkembang bertindak sebagaimana bank-bank komersial di Negara maju. Dalam hal
ini bank-bank menerima deposito dan meminjamkan kredit bagi peminjam dengan
jaminan tertentu dan menawarkan suku bunga bagi deposito berjangka khususnya,
disamping itu mengenakan suku bunga bagi peminjam kredit. Perbedaan antara suku
bunga kredit dengan suku bunga deposito (SPREAD) merupakan penghasilan bagi
bank-bank umum.
Permintaan kredit oleh anggota
masyarakat sangat tergantung pada tingkat ekonomi, biaya kredit (termasuk suku
bunga kredit) dan hasil yang diharapkan dari penggunaan kredit tersebut.
Demikian juga penawaran kredit tergantung pada tingkat pendapatan, kepercayaan
bank serta suku bunga yang harus dibayarkan. Hal yang perlu dicatat adalah
bahwa kemampuan bank dalam “mencetak uang” mempunyai peranan dalam memenuhi
permintaan kredit bank. Akan tetapi kemampuan menciptakan kredit dibatasi oleh
tingkat keuntungan yang diharapkan oleh bank atas pemegangan kekayaannya.
Faktor lain yang membatasi kemampuan
bank dalam menciptakan kredit adalah ketidaksediaan masyarakat untuk memegang
tambahan depositonya. Penelitian di Negara sedang berkembang menunjukkan bahwa
permintaan uang masyarakat lebih banyak dipegang dalam bentuk uang kartal
daripada giro dan deposito berjangka. Dan faktor yang lainnya adalah ketentuan
cadangan minimum yang harus dipegang oleh bank-bank umum. Biasanya Bank Sentral
mempunyai hak (kekuasaan) untuk mengatur ketentuan cadangan ini sehingga kalau
Bank Sentral menginginkan kebijaksanaan kontraksi (tight money policy) maka
ketentuan cadangan dinaikkan dan sebaliknya ketentuan cadangan minimum
diturunkan kalau menginginkan ekspansi (easy money policy).
Perbedaan fungsi Bank Sentral dan Bank
Umum, sebagaimana dikemukakan FURNESS (1973), membawa dampak pada mekanisme JUB
dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Misalnya, masalah penciptakan uang giral
oleh Bank Umum di Negara sedang berkembang tidak sebagaimana di Negara yang
sudah maju, masalah ketentuan suku bunga di Negara sedang berkembang yang
relatif stabil , masalah kredit yang banyak dipengaruhi oleh berhasil tidaknya
panenan di Negara sedang berkembang dan masalah “banking-habit” di Negara
sedang berkembang yang kurang stabil dan masih rendah sehingga banyak sekali
pengaruhnya terhadap penciptaan uang giral pada khususnya dan JUB pada umumnya.
Dan juga banyak pengaruhnya terhadap
perubahan JUB adalah utang pemerintah terhadap Bank yang oleh FURNESS dikatakan
sebagai “crusial factors” yang
mempengaruhi JUB di Negara sedang berkembang.
Faktor lain yang juga berpengaruh
terhadap JUB di Negara berkembang adalah adanya pasar uang yang tidak
terorganisasi (unorganized money market) yang mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Rahasia
dalam pembicaraan (utang piutang)
2. Peminjaman
uang yang tidak langsung (missal seperti perdagangan)
3. Operasi
fleksibel
4. Hubungan
antara konsumen dengan penyediaan dana sangat akrab
5. Pencatatan
utang piutang sangat sederhana
Dampak terhadap JUB di Negara sedang
berkembang melalui beberapa jalur antara lain:
1. Berkurangnya
transaksi, baik jumlah maupun ukuran, keuangan karena sering barter.
2. Menghambat
pertumbuhan Bank Desa
3. Banyak
masyarakat melakukan “hoarding”
4. Kebijaksanaan
moneter dampaknya berkurang
C. Gambaran Inflasi dalam Perekonomian
1. Pengertian Inflasi
Masalah lainnya dalam perekonomian
selain masalah pendapatan nasional atau masalah pertumbuhan ekonomi adalah
masalah perubahan harga barang-barang dan jasa-jasa dalam perekonomian dalam
waktu relatif lama yang biasa dikatakan tingkat inflasi. Inflasi adalah salah
satu indikator penting perekonomian selain pendapatan nasional, tingkat pengangguran,
ketidakseimbangan neraca pembayaran dan lainnya.
Banyak Negara di dunia ini yang semula perkembangan ekonominya
semula sangat baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tiba-tiba mengalami
kemunduran yang disebabkan oleh tingginya inflasi yang menyebabkan daya beli
masyarakat turun sehingga sektor produksi juga turun. Inflasi yang tinggi bisa
disebabkan oleh faktor internal Negara itu seperti tingginya permintaan baran
dan atau jasa atau semakin langkanya persediaan barang terutama kebutuhan pokok,
juga disebabkan oleh faktor eksternal dari luar negeri seperti krisis di Negara
lain atau Karena terjadinya nilai tukar mata uang domestic terhadap dolar yang
semakin tinggi. Tingkat inflasi sebagai salah satu sumber kebangkrutan ekonomi
suatu Negara maka inflasi dikatakan sebagai penyakit ekonomi yang harus dijaga
kestabilannya.[3]
Berikut merupakan pengertian inflasi
dari beberapa tokoh ekonomi:
a) Kecenderungan
dari harga-harga untuk naik secara umum dan secara terus menerus (Boediono,
1985: 161)
b) Inflasi
adalah proses kenaikan harga-harga umum secara terus menerus selama periode
tertentu (Nopirin, 1990: 25)
c) Suatu
keadaan dimana terjadi senantiasa turunnya nilai uang. (Mannulang, 1993: 83)
d) Inflasi
terjadi apabila tingkat harga-harga dan biaya-biaya umum naik, harga beras,
bahan bakar, harga mobil naik, tingkat upah, harga tanah, dan semua
barang-barang modal naik. (Samuelson dan Nordhaus, 1993: 293)
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas
dapat disimpulkan pengertian inflasi adalah proses kenaikan harga barang-barang
secara umum daan terus-menerus disebabkan oleh turunnya nilai uang pada suatu
periode tertentu. Ini tidak bearti bahwa harga-harga berbagai macam barang itu
naik secara persentase yang sama. Mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut
tidaklah bersamaan. Namun yang penting terdapat kenaikan harga umum barang
secara terus-menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan yang terjadi hanya
sekali saja (meskipun dengan persentase yang cukup besar) bukanlah merupakan
inflasi.
Kenaikan harga ini diukur dengan
menggunakan indeks harga. Beberapa indeks harga yang sering digunakan untuk
mengukur inflasi antara lain:
a) Indeks
biaya (consumer price index)
b) Indeks
harga perdagangan besar (wholesale price
index)
c) GNP
(gross national product) deflator
2. Gambaran Umum Proses Inflasi
Inflasi adalah proses meningkatnya
harga-harga secara umum dan terus-menerus (continue)
berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor
seperti konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar
yang memicu konsumsi atau bahkan spikulasi, sampai termasuk juga akibat adanya
ketidak lancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan
proses menurunnya nilai mata uang secara terus menerus.[4]
Perkembangan Inflasi di Indonesia
Bulan
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
||||
IHK
|
Inflasi
|
IHK
|
Inflasi
|
IHK
|
Inflasi
|
IHK
|
inflasi
|
|
Januari
|
126,29
|
0,89
|
130,9
|
0,76
|
136,88
|
1,03
|
110,992
|
1,07
|
Februari
|
126,46
|
0,13
|
130,96
|
0,05
|
137,91
|
0,75
|
111,28
|
0,26
|
Maret
|
126,05
|
-0,32
|
131,05
|
0,07
|
138,78
|
0,63
|
111,37
|
0,08
|
April
|
125,66
|
-0,31
|
131,32
|
0,21
|
138,64
|
-0,1
|
111,35
|
-0,02
|
Mei
|
125,81
|
0,12
|
131,41
|
0,07
|
138,6
|
-0,03
|
111,53
|
0,16
|
Juni
|
126,5
|
0,55
|
132,23
|
0,62
|
140,03
|
1,03
|
112,01
|
0,43
|
Juli
|
127,35
|
0,67
|
133,16
|
0,7
|
144,63
|
3,29
|
113,05
|
0,93
|
Agustus
|
128,54
|
0,93
|
134,43
|
0,95
|
146,25
|
1,12
|
113,58
|
0,47
|
September
|
128,89
|
0,27
|
134,45
|
0,01
|
145,74
|
-0,35
|
113,89
|
0,27
|
Oktober
|
128,74
|
-0,12
|
134,67
|
0,16
|
145,87
|
0,09
|
114,42
|
0,47
|
November
|
129,18
|
0,34
|
134,76
|
0,07
|
146,04
|
0,12
|
116,14
|
1,5
|
Desember
|
129,91
|
0,57
|
135,49
|
0,54
|
146,84
|
0,55
|
119
|
2,46
|
Tingkat
inflasi
|
|
3,79
|
|
4,3
|
|
8,38
|
|
3,36
|
Sumber : BPS
Dari table di atas terlihat bahwa
rata-rata inflasi tumbuh dibawah laju pertumbuhan ekonomi, hal ini menunjukkan
bahwa pendapatan riil perkapita Negara kita mengalami perbaikan dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun yang perlu di waspadai pemerintah adalah
peningkatan harga yang diakibatkan oleh perubahan kurs rupiah yang berimbas
kepada barang-barang non-makanan (perlu diketahui bahwa bobot untuk menghitung
inflasi untuk non-makanan relatif kecil, sehingga kenaikannya tidak signifikan
terhadap inflasi), pemerintah perlu menjaga keseimbangan neraca berjalan
sehingga ekonomi kita bisa stabil.
3. Dampak atau Akibat Inflasi terhadap Perekonomian
Dampak atau akibat dari inflasi, yang
akan terjadi terhadap perekonomian adalah :
a) Inflasi
mempengaruhi dalam arti mengurangi minat masyarakat untuk menabung (propensity to save/PTS) karena mereka
khawatir kalau-kalau nilai uang tabungannya semakin lama semakin menurun,
sehingga mereka mengurungkan niatnya untuk menabung bahkan cepat-cepat membelanjakan
uang/pendapatnnya.
b) Sebagai
akibat dari hal tersebut, maka inflasi berarti mempercepat laju edar uang (velocity of circulation), yang dengan
perkataan lain berarti mengurangi hasrat/keinginan untuk menyimpan uang tunai (liquidity preference menurun).
c) Menurunnya
kepercayaan masyarakat terhadap uang baik sebagai medium of change, sebagai store
of value maupun sebagai standart of
value.
d) Berkurangnya
kesediaan orang/badan untuk memberikan kredit.
e) Seandainya
bank berusaha mendorong produkis dengan jalan memberikan kredit investasi dan
atau modal kerja, biasanya hanya akan menambah jumlah uang yang beredar yang
berarti hanya akan mengkatrol inflasi ke arah tingkat yang lebih tinggi. Hal
tersebut disebabkan karena dana kredit yang diberikan bank bukan berasal dari
tabungan/simpanan masyarakat, melainkan berasal dari penciptaan uang baru yang
berasal dari bank sentral.
f) Karena
inflasi menyebabkan kecepatan laju edar uang meningkat, maka pajak cenderung
naik. Kenaikan pajak menyebabkan gairah usaha/bisnis menjadi berkurang.
g) Inflasi
cenderung menguntungkan orang-orang/badan-badan yang meminjam uang (debitur).
Sebaliknya inflasi cenderung merugikan orang-orang/badan-badan yang meminjam
uang (kreditur).
Secara kualitatif akibat dari inflasi
yang parah akan menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap uang semakin
berkurang, sehingga mereka berusaha untuk menghindari penggunaan uang dalam
transaksi jual-beli dan lebih tertarik pada perdagangan spekulasi daripada
investasi.
Dari aspek sosial, inflasi yang parah
cenderung menimbulkan kemiskinan yang meluas dan menambah jurang yang semakin
dalam antara segelintir orang-orang yang semakin kaya dengan sebagian orang
yang semakin miskin.
Inflasi tidak hanya merugikan
masyarakat biasa tetapi juga pemerintah, defisit anggaran belanja akan semakin
besar karena penerimaan anggaran pendapatan didasarkan atas harga-harga
sebelumnya, sedangkan penerimaan pajak tidak dapat menutupi pengeluaran yang
terus-menerus meningkat akibat naiknya harga. Defisit disebut terpaksa ditutup dengan
mencetak uang baru atau melalui kredit bank sehingga lagi-lagi menambha volume
uang yang beredar yang kembali menyebabkan naiknya harga-harga. Interaksi ini
lagi-lagi dikenal sebagai spiral
inflation.[5]
4. Jenis-jenis Inflasi
a)
Jenis Inflasi menurut sifatnya
Laju inflasi dapat berbeda antara satu
negara dengan negara lain atau dalam satu negara dalam waktu yang berbeda. Atas
dasar besarnya laju inflasi, dapatlah inflasi di bagi ke dalam tiga kategori,
yaitu: inflasi yang ringan (creeping
inflation) yaitu kurang dari 10% per tahun, inflasi sedang (galloping inflation) antara 10 – 30 % per tahun, inflasi berat antara 30 - 100% per tahun dan Hiper Inflasi (hyper inflation) yaitu di atas 100% per
tahun.[6]
Biasanya inflasi ringan di tandai dengan laju
inflasi yang rendah. Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan persentase
yang kecil serta dalam jangka waktu yang relatif lama.
Inflasi sedang di tandai dengan kenaikan
harga yang cukup besar dan kadang kala berjalan dalam kurungn waktu yang
relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi. Artinya harga-harga minggu
atau bulan ini lebih tinggi dari harga-harga minggu atau bulan lalu dan
seterusnya. Efeknya terhadap perekonomian lebih berat daripada inflasi ringan.
Inflasi berat merupakan inflai yang paling
parah akibatnya. Harga-harga naik sampai 5 atau 6 kali. Masyarakat tidak lagi
berkeinginan untuk menyimpan uang. Nilai uang merosot dengan tajam sehingga
ingin di tukarkan dengan barang. Perputaran uang makin cepat, harga naik secara
akselerasi. Biasanya keadaan ini timbulapabila pemerintah mengalami defisit
anggaran belanja( misalnya di timbulkan oleh adanya perang) yang di tutup
dengan mencetak uang.[7]
b)
Jenis Inflasi berdasarkan sebabnya
Berdasarkan sebabnya, inflasi dibagi
menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1)
Demand Pull Inflation
Inflasi ini terjadi
sebagai akibat pengaruh permintaan yang tidak diimbangi oleh peningkatan
jumlah penawaran produksi. Akibatnya, sesuai dengan hukum permintaan, jika
permintaan banyak sementara penawaran tetap, harga akan naik. Jika hal ini
berlangsung secara terus-menerus, akan mengakibatkan inflasi yang
berkepanjangan. Oleh karena itu, untuk mengatasinya diperlukan adanya
pembukaan kapasitas produksi baru dengan penambahan tenaga kerja baru.
2)
Cost Push Inflation
Inflasi ini disebabkan
karena kenaikan biaya produksi yang disebabkan oleh kenaikan biaya input
atau biaya faktor produksi. Akibat naiknya biaya faktor produksi, dua hal
yang dapat dilakukan oleh produsen, yaitu langsung menaikkan harga
produknya dengan jumlah penawaran yang sama atau harga produknya naik
karena penurunan jumlah produksi.[8]
Keterangan gambar :
P =
harga
D =
permintaan
S =
penawaran
Q =
jumlah barang (output)
Gambar demand pull inflation menunjukkan
permintaan masyarakat akan barang-barang secara keseluruhan (aggregate demand) bertambah. Hal
tersebut disebabkan karena uang baru atau karena kenaikan permintaan luar
negeri akan barang-barang ekspor atau karena bertambahnya pengeluaran untuk
investasi pihak swasta karena kredit murah, maka kurva aggregate demand bergeser dari D1 ke D2 akibatnya
harga naik dari P1 ke P2.
Gambar Cost Push Inflation menunjukkan bahwa
apabila ongkos produksi naik yang disebabkan oleh karena kenaikan harga
faktor-faktor produksi baik yang berasal dari dalam negeri maupun yang diimpor
dari luar negeri, maka kurva penawaran masyarakat (aggregate supply) bergeser dari S1 ke S2,
sehingga harga naik dari P1 ke P2.
Dampak atau
akibat dari kedua macam inflasi tersebut dari segi kenaikan harga out put, tidaklah berbeda tetapi dari
segi volume output (gross domestic product/ GDP) riil
terdapat perbedaan. Dalam hal demand pull
inflation biasanya ada kecenderungan output
rill meningkat bersama-sama dengan kenaikan harga umumnya. Sebaliknya dalam
cost oush inflation biasanya kenaikan
harga barang-barang bersamaan dengan penurunan volume/omzet penjualan barang-barang. Dengan perkataan lain terjadi
kelesuan dunia usaha.
Perbedaan
lainnya dari kedua proses inflasi tersebut adalah demand pull inflation kenaikan harga barang-barang akhir (final product/ output) mendahului
kenaikan harga barang-barang input
yaitu faktor-faktor produksi. Sebaliknya pada cost push inflation kenaikan harga barang-barang input mendahului harga barang-barang
akhir.
Namun
demikian, dalam kenyataannya jarang sekali dijumpai terjadinya kedua jenis
inflasi tersebut masing-masing secara murni, yang sering terjadi pada umumnya
adalah campuran atau kombinasi dari kedua macam inflasi tersebut, sehingga
seringkali keduanya saling memperkuat satu sama lain.[9]
5. Teori-teori Inflasi
Pada dasarnya ada 3
(tiga) macam teori tentang inflasi, yaitu:[10]
a. Teori Kuantitas (Teori Irving Fisher)
Teori kuantitas adalah teori yang paling
tua. Teori ini menyoroti peranan dalam proses inflasi dari jumlah uang beredar,
psikologi (harapan) masyarakat mengenai harga-harga (expectations).
1) Inflasi
hanya terjadi apabila ada penambahan volume uang beredar baik kartal maupun
giral. Tanpa kenaikan jumlah uang beredar jika adanya kejadian gagal panen,
misalnya, hanya akan menaikkan harga untuk sementara waktu saja. Jika jumlah
uang beredar tidak ditambah maka inflasi akan terhenti dengan sendirinya apapun
sebab kenaikan awal inflasi tersebut.
2) Laju
inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh
psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga- harga di masa
mendatang. Ada 3 kemungkinan keadaan, yaitu:
a) Masyarakat
tidak/ belum mengharapkan harga naik pada bulan mendatang. Sebagian besar
penambahan jumalah uang beredar digunakan untuk memperbesar pos kas. Sebagian
besar uang tidak dibelanjakan untuk pembelian barang. Belum terjadi kenaikan
permintaan barang yang berarti. Dalam keadaan ini kenaikan jumlah uang beredar
sebesar 10 % diikuti dengan kenaikan harga sebesar 1%. Masyarakat belum
menyadari adanya inflasi.
b) Masyarakat
mulai sadar bahwa ada inflasi. Penambahan jumlah uang beredar digunakan untuk
membeli barang-barang untuk menghindari kerugian yang timbul seandainya mereka
memegang uang kas. Akibatnya permintaan barang-barang akan naik sehingga memicu
kenaikan harga. Kenaikan jumlah beredar sebesar 10% diikuti dengan kenaikan
harga sebesar 10%.
c) Tahapan
yang ketiga yaitu hiperinflasi. Masyarakat sudah kehilangan kepercayaan
terhadap nilai mata uang. Masyarakat mulai enggan memegang uang dan enggan
untuk membelanjakannya. Keadaan ini ditandai dengan semakin cepatnya peredaran
uang (velocity of circulation yang menaik). Kenaikan jumlah uang beredar
sebesar 20% mengakibatkan kenaikan harga sebesar 20%. Inflasi ini pernah
terjadi di Indonesia pada Tahun 1961- 1966. Hiperinflasi menghancurkan
sendi-sendi ekonomi moneter dan sosial politik.
b. Teori
Keynes
Teori Keynes mengenai inflasi didasarkan
atas teori makronya. Menurut teori ini inflasi terjadi karena suatu masyarakat
ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Proses inflasi menurut pandangan
ini adalah proses perebutan bagian rezeki di antara kelompok-kelompok sosial
yang menginginkan bagian yang lebih besar daripada yang bisa disediakan oleh
masyarakat tersebut. Maksudnya adalah keadaan ketika permintaan masyarakat atas
barang-barang selalu melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (inflationary
gap).
Teori ini mengasumsikan bahwa perekonomian
sudah berada pada tingkat full employment. Menurut Keynes kuantitas uang
tidak berpengaruh terhadap tingkat permintaan total, karena suatu perekonomian
dapat mengalami inflasi walaupun tingkat kuantitas uang tetap konstan. Jika
uang beredar bertambah maka harga akan naik. Kenaikan harga ini akan
menyebabkan bertambahnya permintaan uang untuk transaksi, dengan demikian akan
menaikkan suku bunga. Hal ini akan mencegah pertambahan permintaan untuk
investasi dan akan melunakkan tekanan inflasi.
c. Teori Strukturalis
Teori ini juga teori inflasi jangka panjang,
karena menyoroti sebab-sebab munculnya inflasi yang berasal dari kekakuan
struktur ekonomi terutama yang terjadi di negara berkembang. Teori ini
memberikan tekanan pada ketegaran (inflexibilities)
dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang.
Teori strukturalis adalah teori inflasi
jangka panjang. Disebut teori inflasi jangka panjang karena teori ini mencari
faktor-faktor jangka panjang manakah yang bisa mengakibatkan inflasi. Menurut
teori ini, ada 2 ketegaran utama dalam perekonomian negara-negara sedang
berkembang yang bisa menimbulkan inflasi.
1) Ketegaran
yang pertama berupa “ketidakelastisan” dari penerimaan ekspor, yaitu nilai
ekspor yang tumbuh secara lamban dibanding dengan pertumbuhan sektor-sektor
lain. Kelambanan ini disebabkan karena:
a) Harga
di pasar dunia dari barang-barang ekspor negara tersebut makin tidak
menguntungkan dibanding dengan harga barang-barang impor yang harus dibayar.
b) Supply
atau produksi barang-barang ekspor yang tidak responsive terhadap kenaikan
harga (supply barang-barang ekspor yang tidak elastis).
2) Ketegaran
yang kedua berkaitan dengan ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan
makanan di dalam negeri. Proses Inflasi yang timbul karena dua ketegaran
tersebut dalam praktek jelas tidak berdiri sendiri. Umumnya kedua proses
tersebut saling berkaitan dan sering kali memperkuat satu sama lain.
6. Cara-cara Mengatasi Inflasi
Cara-cara mengatasi inflasi pada
dasarnya harus diarahkan pada faktor-faktor
yang menyebabkan perubahan harga dalam hal ini harga menjadi naik atau
dengan perkataan lain nilai uang menjadi turun.
Sebagaimana diketahui bahwa factor-faktor yang menjadi akar penyebab perubahan nilai
uang adalah M, V, dan T. Oleh karena itu, tiada lain daripada usaha mengurangi
M dan/ atau V, yang keduanya tergolong pada faktor moneter dan atau
meningkatkan T.
Dalam hal ini ada 4 (empat) kebijakan (policy) yang dapat ditempuh untuk
mengatasi inflasi tersebut, yaitu:[11]
a)
Kebijakan Moneter
b)
Kebijakan Fiskal
c)
Kebijakan Non Moneter
d)
Kombinasi dari ketiga cara di atas
a)
Kebijakan Moneter (Monetary Policy)
Kebijakan
moneter pada dasarnya dilaksanakan oleh Bank Sentral untuk mengurangi jumlah
uang yang beredar yang menjadi
wewenangnya, melalui 3 (tiga) cara, yaitu:
1)
Menaikkan cash reserve ratio/CRR atau
cash ratio atau presentase likuiditas atau giro wajib minimum/GWM.
Dengan
kenikan CRR, kemampuan bank-bank umum untuk memberikan credit menjadi
berkurang, jadi terdapat kontraksi moneter sehingga jumlah uang yang beredar
(factor M) menjadi berkurang, tidak lebih, sehingga harga menjadi turun.
2)
Menjual surat-surat berharga, dalam
rangka operasi pasar terbuka (open market operation/OMO), misalnya melalui
sertifikat Bank Indonesia/ SBI Surat Berharga Pasar Uang/SPBU dan lain
sebagainya dengan tingkat bunga atau imbalan yang menarik, maka uang beredar
yang ber lebih di masyarakat sebagian akan tersedot ke kas bank sentral sehingga
jumlah uang yang beredar di masyarakat (M) menjadi berkurang.
3)
Menaikan tingkat bunga kredit. Apabila
bank sentral meningkatkan tingkat bunga kredit dasar (base lending rate), maka
dengan meningkatkan bunganya tersebut, dalam rangka politik disconto (discount
policy), berarti bak-bank umum dalam menentukan tingkat bunga kreditnya tidak
bisa tidak harus mengikuti/ mengacu pada ketentuan bank sentral tersebut.
Dengan meningkatnya bunga kredit maka akan mengurangi minat sebagian anggota
masyarakat untuk mengambil kredit, sehingga jumlah uang yang beredar (M)
menjadi berkurang (tidak terlalu banyak)
b)
Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)
Terdapat
3 cara mengatasi inflasi melalui kebijakan fiskal, yaitu:
1)
Pengurangan pengeluaran pemerintah
Walaupun pengurangan pengeluaran pemerintah (government
expenditure) bukanlah merupakan sesuatu hal
yang mudah, terlebih-lebih apabila diklaitkan dengan tuntutan kebutuhan
pembiayaan pembangunan yang semakin lama semakin besar dan berkelanjutan, namun
apabila hal itu dapat dilaksanakan maka sangat efektif untuk mengurangi jumlah
uang yang beredar di masyarakat. Kebijakan ini sering disebut tight money
policy/TMP atau kebijakan uang ketat.
2)
Menaikkan pajak.
Dengan menaikkan pajak maka berarti penghasilan seseorang
(disposable income). Akan menjadi berkurang. Sehingga barang-barang harganya
tidak akan naik. Dipihak lain uang ya ng berasal dari pajak akan masuk kas
pemerintah, hal ini berarti mengurangi jumlah uang yang berlebih di masyarakat.
Menaikkan
pajak dapat dilakukan dengan cara meningkatkan tarif pajak atau menambah jenis
dan objek pajak atau kombinasi kedua-duanya.
3)
Pemerintah melakukan pinjaman kepada
masyarakat.
Pemerintah melakukan pinjaman kepada masyarakat dengan
berbagai cara, misalnya melalui penjualan obligasi Negara, surat utang Negara,
surat perbendaharaan Negara dan lain sebagainya dengan bunga atau imbalan/ bagi hasil yang menarik.
Atau melalu pemotongan gaji / upah atau misalnya melalui pengguntingan uang
kertas yang beredar sehingga hanya bernilai setengahnya atau tiga perempatnya
dari nilai semula.
c)
Kebajikan Non Moneter
Kebijakan
non moneter moneter adalah kebijakan untuk mengatasi inflasi diluar kedua cara
yang telah disebutkan diatas.
Caranya
ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1)
Meningkatkan hasil produksi (production
approach)
Cara mengatasi inflasi melalui peningkatan hasil produksi
adalah cara yang paling efektif, namun dalam pelaksanaanya sering kali
mengalami kesulitan, karena kelangkaan sumber-sumber atau faktor-faktor
produksi yang diperlukan. Sebagaimana
dimaklumi mneingktkan produksi berarti meninkatkan unsur T dalam rumus
Fisher, hal tersebut hanya dapat di laksanakan melalui peningkatan kapasitas
produksi atau menambah jam kerja bagi para buruh/pegawai. Sedangkan apabila di
harapkan peningkatan produksi yang lebih pesat dan dengan kualitas yang lebih
baik, maka harus melalui penerapan teknologi yang lebih baik dan modern. Cara
ini lazim disebut pendekatan produksi atau production approach.
2)
Kebijakan upah/gaji
Yang dimaksut dengan kebijakan mengenai upah dan gaji dalam
rangka mengatasi inflasi ialah tidak menaikan upah dan gaji sama sekali selama
produktivitas buruh dan pegawai tersebut tidak meningkat . Dengan demikian
disposable income/ penghasilan yang siap untuk di belanjakan yang di miliki
oleh mereka tidak bertambah, dan hal tersebut akan menghambat kenaikan harga
barang-barang.
3)
Pengawasan Harga Barang dan
Distribusinya
Kecenderungan naiknya harga barang-barang bisa di atasi di
samping oleh cara-cara yang telah dikemukakandi atas, dapat juga di atasi
dengan cara penetapan harga dan penawasan harga di atas dengan cara penetapan
harga dan pengawasan harga serta cara-cara distribusinya oleh pemerintah,
disertai tindakan pengenaan sansi kepada para pelanggar-pelangaranya.
Namun
diakui bahwa dalam pelaksananya cara ini sulit berjalan sebagaimana yang
diharapkan,bahkan sering menimbulkan dampak negatif yaitu sering kali terjadi
dualisme harga yaitu adanya harga resmi, berupa harga yang di tetapkan oleh
pemerintah dan harga yang tidak resmi
(sering dikenal sebagai harga “gelap”) yang biasanya lebih tinggi dari
harga resmi. Oleh karena itu barang-barang sering menghilangkan di pasaran
resmi dan muncul dipasaran gelap (black market).
d)
Kombinasi dari berbagai cara
Maksut mengatasi inflasi dengan
kombinasi berbagai cara adalah cara menjelaskan kebijakan anti inflasi
bersama-sama secara simultan melalui kebijakan moneter, kebijakan fiscal bahkan
mungkin dengan kebijakan pengawasan harga sekaligus.
D. Perkembangan Inflasi di Indonesia
Perkembangan inflasi di Negara kita beberapa tagun terakhir khususnya
dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2009, sebagai berikut:[12]
Tabel Perkembangan Inflasi Indonesia
|
Tahun
|
||||||
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
|
Tingkat Inflasi
|
5,16%
|
6,40%
|
17,11%
|
6,60%
|
6,59%
|
11,06%
|
2,79%
|
Tabel Perkembangan
Tingkat Inflasi di Indonesia Periode 2005 – 2013
Tahun
|
Inflasi
(Persen)
|
2005
|
17.11
|
2006
|
6.6
|
2007
|
6.59
|
2008
|
11.06
|
2009
|
2.78
|
2010
|
6.96
|
2011
|
3.79
|
2012
|
4.3
|
2013
|
8.38
|
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Berdasarkan
Tabel diatas dapat dilihat perkembangan inflasi selama periode 2005 sampai 2013 yang mengalami fluktuasi yang beragam
inflasi tertinggi terjadi pada periode 2005 sebesar 17.11% kemudian bergerak
turun pada periode 2006 sebesar 6.6% setelah itu naik kembali pada tahun 2008 yaitu sebesar 11.06% dikarenakan
pada saat itu terjada krisis global yang melanda dunia sehingga berdampak buruk
bagi perekonomian di Indonesia.
Dalam
perkembangnya setiap tahun Inflasi terendah diperoleh pada periode 2009 yaitu
sebesar 2.78% namun kemudian mengalami kenaikan pada periode 2010 yaitu sebesar
6.69% dan kemudian mengalami penurunan pada periode 2011 sebesar 3.79% hingga
kemudian mengalami kenaikan pada periode 2013 sebesar 8.38% yang menyebabkan
persentase pertumbuhan ekonomi menjadi tidak berarti kemudian berdampak pada
naiknya angka kemiskinan di Indonesia.
Salah
satu faktor yang mempengaruhi perubahan inflasi di Indonesia yaitu suku bunga
acuan bank indonesia atau dengan kata lain BI Rate yang menjadi signal bagi
perbankan untuk menetapkan tingkat suku bunganya seperti tabungan, deposito dan
kredit. Menurut Yodiatmaja (2012:3) perubahan BI Rate akan mempengaruhi beberapa variabel
makroekonomi yang kemudian diteruskan
kepada inflasi. Perubahan berupa peningkatan level BI Rate bertujuan untuk mengurangi
laju aktifitas ekonomi yang mampu memicu inflasi. Pada saat level BI Rate naik
maka suku bunga kredit dan deposito pun akan mengalami kenaikan. Ketika suku
bunga deposito naik, masyarakat akan cenderung menyimpan uangnya di bank dan
jumlah uang yang beredar berkurang. Pada suku bunga kredit, kenaikan suku bunga
akan merangsang para pelaku usaha untuk mengurangi investasinya karena biaya
modal semakin tinggi. Hal demikianlah yang meredam aktivitas ekonomi dan pada
akhirnya mengurangi tekanan inflasi.[13]
E. Hubungan antara Uang Beredar dengan Inflasi
Friedman dan Schwartz
menulis dua makalah yang mendokumentasi sumber dan pengaruh perubahan dalam
kuantitas uang selama periode 1867 – 1960 dan 1867 – 1975 di Amerika Serikat.
Secara empiris, Friedman dan Schwartz berhasil memverifikasi hubungan
antara inflasi dan pertumbuhan jumlah
uang beredar. Hasil penelitian Friedman dan Schwartz menunjukkan bahwa di
Amerika Serikat dekade-dekade dengan pertumbuhan uang tinggi cenderung memiliki
inflasi yang tinggi, dan dekade-dekade dengan pertumbuhan uang rendah cenderung
memiliki inflasi yang rendah.
Hasil yang sama
diperoleh dari perbandingan tingkat rata-rata inflasi dan tingkat rata-rata
pertumbuhan uang di lebih dari 100 negara selama tahun 1990-an. Dalam kajian tersebut,
terdapat hubungan yang jelas antara pertumbuhan uang dan inflasi. Negara-negara
dengan pertumbuhan uang tinggi cenderung memiliki inflasi yang tinggi,
sementara negara-negara dengan pertumbuhan uang rendah cenderung memiliki inflasi
yang rendah. Namun demikian, menurut Mankiw (2003), keeratan hubungan inflasi
dengan jumlah uang beredar tidak dapat dilihat dalam jangka pendek. Teori
inflasi ini bekerja paling baik dalam
jangka panjang, bukan dalam jangka pendek. Dengan demikian, hubungan antara pertumbuhan
uang dan inflasi dalam data bulanan tidak akan seerat hubungan keduanya jika
dilihat selama periode 10 tahun.
Keynes
dalam Boediono (1994) menyatakan bahwa inflasi disebabkan oleh
permintaan agregat yang terjadi bukan hanya karena ekspansi Bank Sentral
melainkan juga oleh pengeluaran investasi (baik oleh pemerintah maupun swasta)
dan pengeluaran konsumsi pemerintah yang melebihi penerimaan (defisit anggaran
belanja Negara) dalam kondisi ekonomi full
employment.
Nilai uang ditentukan
oleh supply demand terhadap uang.
Jumlah uang beredar ditentukan oleh Bank Sentral, sementara jumlah uang yang
diminta (money demand) ditentukan
oleh beberapa faktor, antara lain tingkat harga rata-rata dalam perekonomian.
Jumlah uang yang diminta masyarakat untuk melakukan transaksi bergantung pada
tingkat harga barang dan jasa yang tersedia. Semakin tinggi tingkat harga,
semakin besar jumlah uang yang diminta. Tingkat harga ditentukan dan berubah
seiring dengan perubahan jumlah uang beredar disebut teori kuantitas uang (quantity theory of money). Berdasarkan
teori ini, jumlah uang yang beredar dalam suatu perekonomian merupakan nilai
uang, sementara pertumbuhan jumlah uang beredar merupakan sebab utama
terjadinya inflasi.[14]
Dalam penelitian lain
menyebutkan bahwa jumlah uang beredar berpengaruh negatif dan tidak signifikan
terhadap tingkat inflasi di Indonesia dan temuan ini tidak sesuai dengan teori
dimana apabila jumlah uang beredar bertambah maka tingkat inflasi akan meningkat.
Dalam penelitian yang telah dilakukan jumlah uang beredar mempunyai hubungan negatif
dengan tingkat Inflasi.[15]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Uang beredar adalah semua jenis uang
yang berada di dalam perekonomian yaitu jumlah dari mata uang dalam peredaran
ditambah dengan uang giral dalam bank-bank umum.
2.
Tingkat inflasi adalah perubahan harga
barang-barang dan jasa-jasa dalam perekonomian dalam waktu relatif lama.
Inflasi adalah salah satu indikator penting perekonomian selain pendapatan
nasional, tingkat pengangguran, ketidakseimbangan neraca pembayaran dan
lainnya.
3.
Perkembangan
inflasi di Indonesia dalam kurun waktu 15 tahun terakhir berfluktuasi. Salah
satu faktor yang mempengaruhi perubahan inflasi di Indonesia yaitu suku bunga
acuan bank indonesia atau dengan kata lain BI Rate yang menjadi signal bagi
perbankan untuk menetapkan tingkat suku bunganya seperti tabungan, deposito dan
kredit.
4. Dalam jangka pendek jumlah uang beredar
tidak berpengaruh atau tidak signifikan terhadap laju inflasi di Indonesia.
Tetapi, semakin besar jumlah uang yang beredar dalam masyarakat maka inflasi juga
akan meningkat.
B. Saran
1. Sebaiknya pemerintah harus memperhitungkan atau
memperkirakan akan timbulnya inflasi yang akan terjadi bila ingin mengadakan penambahan pencetakan uang
baru, karena pencetakan uang baru yang terlalu besar akan mengakibatkan
goncangnya perekonomian.
2. Bila
telah terjadi inflasi, pemerintah harus selalu siap dan tegas dengan menentukan
kebijakan apa yang dibutuhkan untuk mengatasi inflasi di Indonesia, seperti
kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan non meneter maupun kombinasi
dari ketiga kebijakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, Agus Tri dan
Nano Prawoto. Pengantar Ekonomi Mikro
& Makro, Sleman: Danisa Media, 2015.
Boediono. Ekonomi Moneter Edisi 3, Yogyakarta:
BPFE Yogyakarta, 1998
Firdaus, Rachmat dan
Maya Ariyanti. Pengantar Teori Moneter,
Bandung: Alfabeta, 2011.
Hario
Aji Hartomo, “PENGARUH JUMLAH UANG
BEREDAR DAN KURS TERHADAP TINGKAT INFLASI DI INDONESIA
SEBELUM DAN SETELAH
KRISIS GLOBAL 2008”, Jurnal Media Ekonomi,
Vol. 18 No. 3, Desember, 2010
Heru
Perlambang, ANALISIS PENGARUH
JUMLAH UANG BEREDAR,SUKU BUNGA SBI, NILAI TUKAR TERHADAP TINGKAT INFLASI, Jurnal Media Ekonomi Vol. 18 No. 2
Agustus 2010
Iswardono. Uang dan Bank, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta,
1999.
Nopirin Ph.D. Ekonomi Moneter, Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta, buku II, 1987.
Sukirno, Sadono. Makroekonomi Teori Pengantar, Jakarta:
Rajawali Pers, Edisi Ketiga, 2011.
Suparmoko, M. Pengantar Ekonomika Makro, (Yogyakarta:
BPFE Yogyakarta, 1999), edisi keempat, hlm. 213
Theodores Manuela Langi, Vecky
Masinambow, Hanly Siwu , “ANALISIS PENGARUH SUKU BUNGA BI, JUMLAH UANG BEREDAR,
DAN TINGKAT KURS TERHADAP TINGKAT INFLASI DI INDONESIA”,
Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi,
Volume 14 no. 2,
Mei, 2014
[1] Sadono Sukirno, Makroekonomi Teori Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Edisi
Ketiga, hlm. 281-283
[2] Iswardono. Uang dan Bank, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1999), hlm. 120-122
[3]
Agus Tri Basuki, Nano Prawoto, Pengantar
Ekonomi Mikro & Makro, (Sleman: Danisa Media, 2015) hlm. 259-260
[4]
Ibid,. hlm. 265
[5] Rachmat Firdaus, Maya Ariyanti, Pengantar Teori Moneter, (Bandung :
Alfabeta, 2011), hlm. 117-119
[6] Drs M. Suparmoko, M.A.,Ph.D, Pengantar Ekonomika Makro, (Yogyakarta:
BPFE Yogyakarta, 1999), edisi keempat, hlm. 213
[7]
Nopirin Ph.D, Ekonomi Moneter,
(Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1987), buku II,
hlm. 27
[8]
Ibid,. hlm. 29-30
[9]
Rachmat Firdaus, Maya
Ariyanti, Pengantar Teori Moneter, (Bandung
: Alfabeta, 2011), hlm. 121
[10]
Ibid,. hlm. 122-125
[11]
Rachmat Firdaus, Maya
Ariyanti, Pengantar Teori Moneter, (Bandung
: Alfabeta, 2011), hlm. 125-128
[12]
Ibid,. hlm. 128-129
[13]
Theodores Manuela
Langi, Vecky Masinambow, Hanly Siwu , “ANALISIS PENGARUH SUKU BUNGA BI, JUMLAH
UANG BEREDAR, DAN TINGKAT KURS TERHADAP TINGKAT INFLASI DI INDONESIA”,
Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi,
Volume 14 no. 2,
Mei, 2014
[14]
Hario Aji Hartomo, “PENGARUH
JUMLAH UANG BEREDAR DAN KURS TERHADAP TINGKAT INFLASI DI INDONESIA
SEBELUM DAN SETELAH
KRISIS GLOBAL 2008”, Jurnal Media Ekonomi,
Vol. 18 No. 3, Desember, 2010
[15]
Theodores Manuela Langi, Vecky Masinambow, Hanly Siwu ,
“ANALISIS PENGARUH SUKU BUNGA BI, JUMLAH UANG BEREDAR, DAN TINGKAT KURS
TERHADAP TINGKAT INFLASI DI INDONESIA”, Jurnal
Berkala Ilmiah Efisiensi, Volume 14 no. 2, Mei, 2014
Sekarang rupiah lagi down. Semoga rupiah tidak merosot lagi dipermainkan Dollar dan tidak dipecundangi oleh kebijakan pemerintah sendiri. Salam kenal, mampir ke blogku ada apa aja
BalasHapus