Permintaan
Uang I
1. Teori
Permintaan Uang Klasik
Teori permintaan uang klasik tercermin dalam teori
kuantitas uang. Pada awal mulanya teori ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan
mengapa seseorang atau masyarakat menyimpan uang kas, tetapi lebih pada peranan
daripada uang. Dengan sederhana Irving Fisher merumuskan teori kuantitas uang
sebagai berikut:[1]
MV = PT
di mana:
M = Jumlah uang beredar
V = Perputaran uang dari satu tangan ke tangan dalam
satu periode
P = Harga barang
T = Volume barang yang diperdagangkan
Beberapa versi teori
ini adalah:
Pertama,
dengan mengganti volume barang yang diperdagangkan (T) dengan input riil (O),
sehingga formulasi teori kuantitas menjadi:
MV = PO = Y
di mana:
Y
= PO = GNP nominal
V
= Tingkat perputaran pendapatan (income
velocity of money)
Dengan menggunakan anggapan bahwa ekonomi selalu
dalam keadaan kesempatan kerja penuh/full employment (atas dasar hukum Say)
maka besarnya T (dan juga dengan sendirinya O) tetap tidak berubah. Demikian
juga V relatif tetap (V hanya berubah kalau terjadi perubahan kelembagaan,
seperti misalnya kebiasaan melakukan pembayaran serta perubahan teknologi
komunikasi). Konsekuensi dari kedua anggapan ini, maka M hanyalah mempengaruhi
T, dan pengaruhnya proporsional. Artinya, kalau M naik dua kali maka T juga
akan naik dengan dua kali.
Kedua,
versi yang dikemukakan oleh A. Marshall dari Universitas Cambrige dengan
formulasi sebagai berikut:
M =
kPO
= kY di mana k = 1/V
Secara sistematis formulasi Marshall ini sama dengan
formulasi Irving Fisher, namun implikasinya berbeda. Marshall memandang bahwa
individu atau masyarakat selalu menginginkan sebagian (proporsi) tertentu dari
pendapatannya (Y) diwujudkan dalam bentuk uang kas (yang dinyatakan dengan k).
Sehingga, kY merupakan keinginan individu atau masyarakat akan uang kas (Md).
Secara matematis dapat diformulasikan sebagai:
Md = kPO = kY
di mana:
Md
= adalah permintaan uang kas
Dengan formulasi tersebut teori Marshall merupakan
awal dari teori permintaan akan uang. Teori ini masih sangat sederhana,
terkandung didalamnya beberapa kelemahan (yang kemudian atas dasar
kelemahan-kelemahan ini lalu disempurnakan oleh teori berikutnya).
Kelemahan pertama adalah bahwa dalam kenyataannya V
tidaklah tetap. Baik di Negara maju (Amerika Serikat) maupun Negara berkembang,
V cenderung tidak konstan. Sebagai contoh, besarnya V di Indonesia selama tahun
1970 sampai dengan 1983 adalah sebagai berikut:
Tingkat Perputaran Uang (V) di
Indonesia
1970-1982
Tahun
|
GNP pada Harga Berlaku (GNP Nominal)
(Milliar Rp)
|
Jumlah Uang Beredar (M)
(Milliar Rp)
|
Tingkat Perputaran Uang/Pendapatan
(V = GNP/M)
|
1970
|
3.189,5
|
210,7
|
15
|
1971
|
3.604,1
|
270,2
|
13
|
1972
|
4.419,8
|
360,3
|
12
|
1973
|
6.500,0
|
530,3
|
12
|
1974
|
10.209,4
|
784,3
|
13
|
1975
|
12.085,7
|
1.027,1
|
12
|
1976
|
14.984,2
|
1.427,9
|
10
|
1977
|
18.355,2
|
1.815,4
|
10
|
1978
|
21.879,3
|
2.110,9
|
10
|
1979
|
30.541,0
|
2.488,3
|
12
|
1980
|
43.435,0
|
3.384,7
|
13
|
1981
|
52.102,1
|
4.995,0
|
10
|
1982
|
57.675,1
|
5.998,0
|
9
|
Sumber:
Nota Keuangan dan RAPBN 1983/1984
Tabel diatas menunjukkan tingkah laku V atau k
selama 1970-1982. Selama periode tersebut terlihat bahwa V tidaklah konstan,
oleh karena itu teori permintaan uang harus dapat menjelaskan timbulnya
perubahan ini.
Kelemahan kedua, bahwa teori klasik mengabaikan
pengaruh tingkat bunga terhadap permintaan uang. Teori kuantitas uang
menganggap bahwa permintaan akan uang kas tidak dipengaruhi oleh tingkat bunga
(sebab, motif utama memegang uang adalah transaksi yang besarnya tergantung
dari pendapatan).
2. Teori
Permintaan Uang Keynes
Keynes, dalam teorinya tentang permintaan akan uang
kas, membedakan antara motif transaksi (dan berjaga-jaga) serta spekulasi. Jadi
dia juga mengakui adanya motif transaksi, hanya saja yang lebih penting (dalam
arti pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi) adalah motif spekulasi.[2]
A.
Permintaan Uang untuk Tujuan Transaksi
Individu
atau perusahaan memerlukan uang kas untuk mebelanjai transaksi karena mereka
piker bahwa pengeluaran ini sering terjadi terlebih dahulu dari uang masuk
(dari pendapatannya). Pengeluaran ini seringkali tidak bisa diperkirakan
terlebih dahulu, sehingga sangat diperlukan adanya uang kas di tangan. Meskipun
seandainya pengeluaran dan penerimaan itu dapat diperkirakan dengan tepat,
namun uang kas di tangan tetap diperlukan. Sebab, penerimaan yang diharapkan
mungkin tidak jadi diterima, atau pengeluaran untuk transaksi yang sangat
penting perlu dilakukan sebelum penerimaan datang, atau mungkin suatu transaksi
yang memberikan keuntungan besar sangat menarik untuk dilakukan sebelum
penerimaan datang dan sebagainya.
Keynes
menyatakan, bahwa permintaan uang kas untuk tujuan transaksi ini tergantung
dari pendapatan. Makin tinggi tingkat pendapatan, makin besar keinginan akan
uang kas untuk transaksi. Seseorang atau masyarakat yang tingkat pendapatannya
tinggi, biasanya melakukan transaksi lebih banyak dibanding seseorang atau masyarakat yang
pendapatannya lebih rendah. Penduduk yang tinggal di kota besar cenderung
melakukan transaksi yang lebih besar dari penduduk yang tinggal di kota kecil
(atau pedesaan).
B.
Permintaan Uang untuk Tujuan Spekulasi
Keynes
juga menyadari bahwa masyarakat yang menghendaki jumlah uang kas yang melebihi
uang untuk keperluan transaksi, karena keinginan untuk menyimpan kekayaannya
dalam bentuk yang paling lancar (uang kas). Uang kas yang disimpan ini memenuhi
fungsi uang sebagai alat penimbun kekayaan (store of value). Dalam istilah yang
lebih modern sering disebut: permintaan uang untuk penimbun kekayaan (asset
demand for money).
Permintaan
uang untuk tujuan spekulasi ini, menurut Keynes ditentukan oleh tingkat bunga.
Makin tinggi tingkat bunga makin rendah keinginan masyarakat akan uang kas
untuk tujuan/motif spekulasi. Alasannya, pertama
apabila tingkat bunga naik, berarti ongkos memegang uang kas (opportunity cost
of holding money) makin besar/tinggi, sehingga keinginan masyarakat akan uang
kas akan makin kecil. Sebaliknya, makin rendah tingkat tingkat bunga makin
besar keinginan masyarakat untuk menyimpan uang kas. Kedua, hipotesa Keynes bahwa masyarakat menganggap akan adanya
tingkat bunga “normal” berdasar pengalaman, terutama pengalaman tingkat bunga
yang baru-baru terjadi. Tingkat bunga normal artinya suatu tingkat bunga tidak
akan naik lagi, bahkan diperkirakan akan turun atau kembali ke tingkat bunga
normal tersebut, sehingga harga surat berharga diperkirakan akan naik
(kemungkinan adanya “capital losses”
lebih kecil daripada “capital gain”).
Akibatnya masyarakat menghendaki atau ingin membeli surat berharga lebih banyak
dan dengan demikian permintaan uang kas makin kecil. Sebaliknya, apabila
tingkat bunga kenyataanya dibawah normal, masyarakat akan memperkirakan tingkat
bunga akan naik kembali pada tingkat bunga normal tersebut. Harga surat
berharga diperkirakan turun (sebab tingkat bunga naik) sehingga mereka akan
menjual surat berharga dan dengan demikian keinginan memegang uang kas naik.
Dengan
demikian, Keynes telah memasukkan tingkat bunga sebagai faktor yang
mempengaruhi permintaan uang. Kenyataannya, sampai saat ini arti pentingnya
tingkat bunga dalam mempengaruhi permintaan uang masih diterima oleh banyak
ahli. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya tingkat bunga juga mempengaruhi
permintaan uang untuk tujuan transaksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar