Minggu, 17 April 2016

Permintaan Uang I


Permintaan Uang I

1.      Teori Permintaan Uang Klasik
Teori permintaan uang klasik tercermin dalam teori kuantitas uang. Pada awal mulanya teori ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan mengapa seseorang atau masyarakat menyimpan uang kas, tetapi lebih pada peranan daripada uang. Dengan sederhana Irving Fisher merumuskan teori kuantitas uang sebagai berikut:[1]

MV = PT
di mana:
M = Jumlah uang beredar
V = Perputaran uang dari satu tangan ke tangan dalam satu periode
P = Harga barang
T = Volume barang yang diperdagangkan

Beberapa versi teori ini adalah:
Pertama, dengan mengganti volume barang yang diperdagangkan (T) dengan input riil (O), sehingga formulasi teori kuantitas menjadi:

MV = PO = Y
di mana:
Y = PO = GNP nominal
V = Tingkat perputaran pendapatan (income velocity of money)

Dengan menggunakan anggapan bahwa ekonomi selalu dalam keadaan kesempatan kerja penuh/full employment (atas dasar hukum Say) maka besarnya T (dan juga dengan sendirinya O) tetap tidak berubah. Demikian juga V relatif tetap (V hanya berubah kalau terjadi perubahan kelembagaan, seperti misalnya kebiasaan melakukan pembayaran serta perubahan teknologi komunikasi). Konsekuensi dari kedua anggapan ini, maka M hanyalah mempengaruhi T, dan pengaruhnya proporsional. Artinya, kalau M naik dua kali maka T juga akan naik dengan dua kali.
Kedua, versi yang dikemukakan oleh A. Marshall dari Universitas Cambrige dengan formulasi sebagai berikut:

M         = kPO
= kY di mana k = 1/V

Secara sistematis formulasi Marshall ini sama dengan formulasi Irving Fisher, namun implikasinya berbeda. Marshall memandang bahwa individu atau masyarakat selalu menginginkan sebagian (proporsi) tertentu dari pendapatannya (Y) diwujudkan dalam bentuk uang kas (yang dinyatakan dengan k). Sehingga, kY merupakan keinginan individu atau masyarakat akan uang kas (Md). Secara matematis dapat diformulasikan sebagai:

Md = kPO = kY
di mana:
Md = adalah permintaan uang kas

Dengan formulasi tersebut teori Marshall merupakan awal dari teori permintaan akan uang. Teori ini masih sangat sederhana, terkandung didalamnya beberapa kelemahan (yang kemudian atas dasar kelemahan-kelemahan ini lalu disempurnakan oleh teori berikutnya).
Kelemahan pertama adalah bahwa dalam kenyataannya V tidaklah tetap. Baik di Negara maju (Amerika Serikat) maupun Negara berkembang, V cenderung tidak konstan. Sebagai contoh, besarnya V di Indonesia selama tahun 1970 sampai dengan 1983 adalah sebagai berikut:





Tingkat Perputaran Uang (V) di Indonesia
1970-1982

  Tahun
GNP pada Harga Berlaku (GNP Nominal)
(Milliar Rp)
Jumlah Uang Beredar (M)
(Milliar Rp)
Tingkat Perputaran Uang/Pendapatan
(V = GNP/M)
1970
3.189,5
210,7
15
1971
3.604,1
270,2
13
1972
4.419,8
360,3
12
1973
6.500,0
530,3
12
1974
10.209,4
784,3
13
1975
12.085,7
1.027,1
12
1976
14.984,2
1.427,9
10
1977
18.355,2
1.815,4
10
1978
21.879,3
2.110,9
10
1979
30.541,0
2.488,3
12
1980
43.435,0
3.384,7
13
1981
52.102,1
4.995,0
10
1982
57.675,1
5.998,0
9

Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN 1983/1984

Tabel diatas menunjukkan tingkah laku V atau k selama 1970-1982. Selama periode tersebut terlihat bahwa V tidaklah konstan, oleh karena itu teori permintaan uang harus dapat menjelaskan timbulnya perubahan ini.
Kelemahan kedua, bahwa teori klasik mengabaikan pengaruh tingkat bunga terhadap permintaan uang. Teori kuantitas uang menganggap bahwa permintaan akan uang kas tidak dipengaruhi oleh tingkat bunga (sebab, motif utama memegang uang adalah transaksi yang besarnya tergantung dari pendapatan).

2.      Teori Permintaan Uang Keynes
Keynes, dalam teorinya tentang permintaan akan uang kas, membedakan antara motif transaksi (dan berjaga-jaga) serta spekulasi. Jadi dia juga mengakui adanya motif transaksi, hanya saja yang lebih penting (dalam arti pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi) adalah motif spekulasi.[2]
A.    Permintaan Uang untuk Tujuan Transaksi
Individu atau perusahaan memerlukan uang kas untuk mebelanjai transaksi karena mereka piker bahwa pengeluaran ini sering terjadi terlebih dahulu dari uang masuk (dari pendapatannya). Pengeluaran ini seringkali tidak bisa diperkirakan terlebih dahulu, sehingga sangat diperlukan adanya uang kas di tangan. Meskipun seandainya pengeluaran dan penerimaan itu dapat diperkirakan dengan tepat, namun uang kas di tangan tetap diperlukan. Sebab, penerimaan yang diharapkan mungkin tidak jadi diterima, atau pengeluaran untuk transaksi yang sangat penting perlu dilakukan sebelum penerimaan datang, atau mungkin suatu transaksi yang memberikan keuntungan besar sangat menarik untuk dilakukan sebelum penerimaan datang dan sebagainya.
Keynes menyatakan, bahwa permintaan uang kas untuk tujuan transaksi ini tergantung dari pendapatan. Makin tinggi tingkat pendapatan, makin besar keinginan akan uang kas untuk transaksi. Seseorang atau masyarakat yang tingkat pendapatannya tinggi, biasanya melakukan transaksi lebih banyak  dibanding seseorang atau masyarakat yang pendapatannya lebih rendah. Penduduk yang tinggal di kota besar cenderung melakukan transaksi yang lebih besar dari penduduk yang tinggal di kota kecil (atau pedesaan).
B.     Permintaan Uang untuk Tujuan Spekulasi
Keynes juga menyadari bahwa masyarakat yang menghendaki jumlah uang kas yang melebihi uang untuk keperluan transaksi, karena keinginan untuk menyimpan kekayaannya dalam bentuk yang paling lancar (uang kas). Uang kas yang disimpan ini memenuhi fungsi uang sebagai alat penimbun kekayaan (store of value). Dalam istilah yang lebih modern sering disebut: permintaan uang untuk penimbun kekayaan (asset demand for money).
Permintaan uang untuk tujuan spekulasi ini, menurut Keynes ditentukan oleh tingkat bunga. Makin tinggi tingkat bunga makin rendah keinginan masyarakat akan uang kas untuk tujuan/motif spekulasi. Alasannya, pertama apabila tingkat bunga naik, berarti ongkos memegang uang kas (opportunity cost of holding money) makin besar/tinggi, sehingga keinginan masyarakat akan uang kas akan makin kecil. Sebaliknya, makin rendah tingkat tingkat bunga makin besar keinginan masyarakat untuk menyimpan uang kas. Kedua, hipotesa Keynes bahwa masyarakat menganggap akan adanya tingkat bunga “normal” berdasar pengalaman, terutama pengalaman tingkat bunga yang baru-baru terjadi. Tingkat bunga normal artinya suatu tingkat bunga tidak akan naik lagi, bahkan diperkirakan akan turun atau kembali ke tingkat bunga normal tersebut, sehingga harga surat berharga diperkirakan akan naik (kemungkinan adanya “capital losses” lebih kecil daripada “capital gain”). Akibatnya masyarakat menghendaki atau ingin membeli surat berharga lebih banyak dan dengan demikian permintaan uang kas makin kecil. Sebaliknya, apabila tingkat bunga kenyataanya dibawah normal, masyarakat akan memperkirakan tingkat bunga akan naik kembali pada tingkat bunga normal tersebut. Harga surat berharga diperkirakan turun (sebab tingkat bunga naik) sehingga mereka akan menjual surat berharga dan dengan demikian keinginan memegang uang kas naik.
Dengan demikian, Keynes telah memasukkan tingkat bunga sebagai faktor yang mempengaruhi permintaan uang. Kenyataannya, sampai saat ini arti pentingnya tingkat bunga dalam mempengaruhi permintaan uang masih diterima oleh banyak ahli. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya tingkat bunga juga mempengaruhi permintaan uang untuk tujuan transaksi.




[1] Nopirin, Ph.D, EKONOMI MONETER, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1997), Buku I Edisi IV, hlm. 114
[2] Nopirin, Ph.D, EKONOMI MONETER, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1997), Buku I Edisi IV, hlm. 117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PROPOSAL MAGANG DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI

PROPOSAL MAGANG DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI KANTOR CABANG PEMBANTU YOGYAKARTA (WIROBRAJAN) Jalan HOS Cokroaminoto No. 33A, Yogyak...