INOVASI
ZISWAF, ZAKAT PROFESI DAN WAKAF UANG
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata
Kuliah Manajemen ZISWAK
Dosen pengampu : Drs. Moh. Mas’udi,
M.Ag.
Disusun oleh :
Vera Septinawati (20130720254)
Arini Leviani S.W (20130730259)
Fakultas
Agama Islam
Program
Studi Ekonomi Perbankan Islam
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
2015
KATA PENGANTAR
Puji
Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga sampai saat ini kita masih bisa beraktivitas dan
menyelesaikan tugas makalah ini.
Pada kesempatan
kali ini, kami akan membahas tentang inovasi
ZISWAF, zakat profesi dan wakaf yang meliputi: bagaimana inovasi pengelolaan ZISWAF, definisi zakat
profesi, nisab dan cara perhitungan zakat profesi serta definisi dan bagimana
penghimpunan, pengelolaan dan pendistribusian wakaf uang.
Makalah
ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen ZISWAK dengan semaksimal mungkin sesuai
kemampuan yang kami miliki dan bantuan dari beberapa sumber. Terima kasih kami
ucapkan kepada Bapak Drs. Moh. Mas’udi,
M.Ag., selaku
dosen mata kuliah Manajemen ZISWAK yang sudah memberikan tugas ini,
sehingga kami dapat berlatih untuk membuat
makalah.
Di samping dapat menuangkan gagasan dalam
bentuk tulisan, tetapi kami juga dapat berlatih menjadi insan peneliti di masa
depan.
Semoga makalah yang kami buat ini dapat
bermanfaat untuk pembaca dan diperkenankan bagi pembaca untuk memberikan kritik
dan saran. Karena kritik dan saran yang membangun, akan menjadikan kesempurnaan
makalah ini.
Yogyakarta, 22 Oktober 2015
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhlak dan ekonomi memiliki keterkaitan
yang tidak dapat dipisahkan, akhlak yang baik berdampak pada terbangunnya
mu’amalah atau kerjasama ekonomi yang baik. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa
Negara Indonesia sudah terlalu banyak keluarga yang di bawah garis kemiskinan.
Hal itu, salah satu faktor utama banyaknya anak jalanan yang mengabaikan
pendidikan mereka untuk ikut mencari uang demi menopang kebutuhan ekonomi
keluarga.
Sebagaimana agama Islam mengandung tiga
komponen pokok yang terstruktur dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan
yang lain, yaitu: Aqidah atau Iman yang merupakan keyakinan akan adanya Allah
dan Rosul Allah, Syariah yang merupakan aturan Allah tentang pelaksanaan dari
penyerahan diri secara total melalui proses ibadah dalam hubungan dengan sesama
manusia, Akhlak yang merupakan pelaksanaan ibadah kepada Allah dan bermu’amalah
dengan penuh keikhlasan.
Zakat, Infaq, Shodaqoh dan Wakaf
(ZISWAF) bisa dikatakan sebagai jantung keuangan umat Islam apabila benar-benar
disadari. Artinya, apabila jantungnya ini beroperasi dengan lancar maka dapat
dipastikan ekonomi umat juga lancar.
Demikian juga dalam menciptakan lembaga
ZISWAF diperlukan perencanaan yang matang dan terencana dimana mencakup segala
aspek pemasaran, manajemen keuangan hingga kepada manajemen manajemen sumber
daya manusia yang berbobot. Sehingga beberapa aspek tersebut diatas dapat
membantu pelaksana lembaga dalam mencapai tujuan yang telah dirumuskan
sebelumnya.
Sebenarnya tujuan yang telah dirumuskan
tidaklah hanya sebagai tujuan dan sasaran yang tertulis rapi terpampang kantor
lembaga semata, namun seharusnya dapat berjalan dengan maksimal dan dapat
dilihat dan dirasakan hasilnya secara nyata. Akan tetapi program kerja yang
telah dibentuk juga tidak akan terlaksana secara maksimal tanapa adanya
pengawasan yang intensif dari pihak yang mempunyai wewenang, dalam hal ini
penasehat lembagalah yang dapat berperan. Sehingga di dalam operasional lembaga
ZISWAF harus mencakup tiga komponen pokok Islam yang telah dijelaskan
sebelumnya.
Dalam Islam ada yang beberapa macam
zakat, misalnya zakat profesi. Berbeda dengan sumber pendapatan dari pertanian,
peternakan, dan perdagangan, sumber pendapatan dari profesi tidak banyak
dikenal pada generasi terdahulu. Oleh karena itu pembahasan mengenai tipe zakat
profesi tidak dapat dijumpai dengan tingkat kedetailan yang setara dengan tipe
zakat yang lain. Namun bukan berarti pendapatan dari hasil profesi terbebas dari
zakat, karena zakat hakikatnya adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang
memiliki kelebihan harta untuk diberikan kepada golongan yang membutuhkan.
Dalam konteks yang sama, kita dapat
melihat perkembangan selain dari macam-macam zakat yaitu wakaf. Sekarang semakin digencarkannya wakaf uang
yang tidak lain adalah wakaf tunai. Alasan dibalik gencarnya lembaga-lembaga
tersebut yaitu menjadikan atau membangun wakaf dalam bentuk yang lebih
produktif, tidak seperti yang sebelumnya yang hanya marak wakaf tanah dan
bangunan yang kurang berkembang karena kurangnya dana maupun kurang handalnya
sumber daya manusia yang dimiliki.
Mengingat begitu luasnya pembahasan
masalah yang berhubungan dengan lembaga ZISWAF, kami akan membahas hal yang
berhubungan dengan Inovasi ZISWAF, Zakat Profesi dan Wakaf Uang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut diatas, maka kami membatasi makalah ini pada pokok
permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana inovasi pengelolaan ZISWAF?
2.
Apa definisi Zakat Profesi?
3.
Apa dasar hukum Zakat Profesi?
4.
Bagaimana Nisab Zakat Profesi dan cara
perhitungannya?
5.
Apa definisi Wakaf Tunai?
6.
Bagaimana Jenis Baru dalam
Wakaf Uang?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui dan memahami inovasi pengelolaan
ZISWAF.
2.
Mengetahui dan memahami definisi Zakat
Profesi.
3.
Mengetahui dan memahami dasar hukum
Zakat Profesi.
4.
Mengetahui dan memahami Nisab Zakat
Profesi dan cara perhitungannya.
5.
Mengetahui dan memahami definisi Wakaf
Tunai.
6.
Mengetahui dan memahami Jenis Baru dalam Wakaf
Uang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Inovasi Pengelolaan ZISWAF
1. Firdaus Memorial Park
Adalah tempat pemakaman muslim yang asri, dibangun untuk kaum dhuafa,
Firdaus Memorial Park dibangun oleh Sinergi Foundation
yang merupakan lembaga pengelola (nazhir) wakaf profesional yang berkhidmat
menjadikan wakaf sebagai jalan untuk menyiarkan Islam dan menjadi kekuatan
untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Lokasi FMP di areal
perkebonan teh Cikalong Wetan,
Bandung,
Jawa Barat. Sinergi Foundation ingin menepis kesan negatif yang menempel pada setiap
pemakaman Muslim. Seperti suasana kumuh, tidak ramah lingkungan, berbiaya
mahal, dan banyak melanggar syariat.
Konsep FMP ini, mengedepankan pemakaman Muslim yang asri, hijau, dan
memenuhi kaidah syariat. Selain itu, wakaf Firdaus Memorial Park juga ditujukan bagi para dhuafa. Di Bandung dan
daerah-daerah perkotaan lainnya banyak dhuafa yang tidak mampu membayar
pemakaman, karena memang harganya tidak terjangkau. Ini dikhususkan untuk kaum
dhuafa. Cuma-Cuma, bagi para pewakif akan mendapat empat kapling pemakaman. Dua
kapling adalah hak pewakif, sementara dua kapling sisanya untuk dhuafa.
2. Layanan
Kesehatan Cuma-Cuma (LKC)
Salah satu program Dompet Dhuafa
berupa Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC). Menurut website
LKC, program tersebut terbagi pada dua pendekatan. Pertama, direct program
atau program langsung yang dirasakan seketika oleh masyarakat sasaran. Antara
lain, pelayanan gerai shalat, TB center, aksi tanggap bencana (SigaB), aksi
layanan sehat (ALS), khitanan massal, operasi massal dan pembiayana pasien.
Selain itu, penyelenggaraan pos sehat,
pondok keluarga dan masyarakat sehat, penyuluhan kesehatan, medical chek up,
bina rohani serta pelayanan ambulan gratis bagi jenazah. Kedua, program
pendekatan indirect atau program tidak langsung melalaui pembinaan
skill masyarakat sasaran. Antara lain berupa pendidikan dan pelatihan kader TB
Dots, penyelenggaraan pusat informasi TB masyarakat. Selain itu program
konsultasi pendampingan sarana kesehatan dan program pembangunan sarana
kesehatan.
Program-program tersebut rasanya sangat
strategis dalam mempertemukan antara donatur (aghniya) dan dhuafa.
Di lain pihak, Dompet Dhuafa sebagai lembaga pengelola dana
Ziswaf yang dibutuhkan masyarakat dalam layanan kesehatan gratis dan halal, di
lain pihak memfasilitasi para aghniya yang akan menyalurkan dana untuk
masyarakat dengan tepat sasaran.
Bahkan bukan saja bagi aghniya yang
berlebihan dana, masyarakat ekonomi biasapun sangat terbuka kesempatan dalam
berpartisipasi menyehatkan masyarakat. Donasi yang bisa disalurkan sesuai
dengan kamampuan para donator atau masyarakat yang mau meyumbang.
3. ZAKAT FOR HUMANITY
Tema yang diusung dalam rangka mengusung program yang digulirkan oleh DSM
(Dompet Sosial Madani) Bali didirikan tahun 2001 adalah “ZAKAT FOR HUMANITY”.
Muslim di Bali minoritas, tetapi kemiskinan tidak memandang siapapun mereka.
Berkhitmat sebagai lembaga nirlaba yang mengelola zakat, infak, sedekah
dan wakaf berdasarkan prinsip-prinsip amanah, mandiri, dan profesional guna
meningkatkan manfaat nyata bagi kesejahteraan umat. DSM Bali mengambil peran
strategis dalam 3 sektor, yaitu pemberdayaan, pengembangan dakwah dan
pendidikan dan bantuan kemanusiaan, kesehatan dan emergency. Karena itu core
programa DSM Bali adalah Pemberdayaan, Pendidikan dan Kemanusiaan.
Program unggulan yang DSM Bali tawarkan kepada masyarakat dalam rangka
membantu persoalan pendidikan adalah Rumah Asuh Madani, yaitu program
pendidikan plus gratis berasrama bagi anak-anak tidak mampu. Beasiswa SIGMA,
yaitu beasiswa dan orang tua asuh bagi siswa yang tidak mampu dan bantuan untuk
guru pedalaman.
Layanan Kesehatan Madani, Klinik kesehatan yang melayani pengobatan dan
pemeriksaan kesehatan cuma-cuma bagi pasien tidak mampu, yaitu yang terdiri
dari pemeriksaan umum, ibu hamil, gigi dan tibun nabawi (pengobatan cara nabi).
Dan program lainnya seperti Bengkel Kemandirian, Kemanusiaan, Bencana dan
emergency.
Saat ini DSM Bali tidak hanya menggarap zakat dan ke depan DSM akan
menggulirkan program fundraising dana selain zakat, seperti infaq sedekah,
wakaf, hibah dana CSR (Corporate Social Responsibilty) dan dana sumbangan
lainnya yang nominalnya jauh lebih besar daripada dana Zakat. Tahun 2007 DSM
telah menerima asset wakaf dan non wakaf seluas 48 are untuk dikelola di
wilayah Denpasar dan Negara.
4. Beasiswa prestasi, kesehatan
masyarakat pra sejahtera, program kemanusiaan, komunitas pengembangan
masyarakat, kegiatan pengembangan ekonomi masyarakat.
Bentuk program kegiatan dari Baitulmaal Muamalat merupakan salah satu
lembaga pemberdayaan dan lembaga amil zakat nasional yang
menyelenggarakan berbagai macam program bantuan untuk masyarakat.
Baitulmaal Muamalat adalah lembaga pemberdayaan dan amil zakat nasional yang
lahir dari sebuah institusi yang telah cukup dikenal di masyarakat yaitu Bank
Muamalat. Baitulmaal Muamalat merupakan lembaga nirlaba yang bertujuan
mengangkat harkat sosial kemanusiaan kaum miskin melalui dana ZISWAF (donasi
dari masyarakat yang terdiri dari zakat, infak, sedekah, wakaf dan dana lainnya
dari perseorangan, kelompok maupun lembaga yang halal dan legal).
Pengelolaan zakat di Indonesia hingga kini belum memberikan hasil yang
optimal. Pengumpulan maupun pemberdayaan dana zakat masih belum mampu
memberikan pengaruh terlalu besar bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Padahal, pengelolaan zakat telah ditopang oleh sebuah perangkat hukum yaitu UU
No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Banyak kendala dan hambatan yang dialami oleh Organisasi Pengelola Zakat
(OPZ) untuk menggalang dana zakat dari masyarakat. Selain faktor internal
lembaga, beberapa penelitian juga menunjukkan adanya faktor eksternal yang
mempengaruhi kecilnya kepercayaan masyarakat terhadap OPZ. Hambatan-hambatan
tersebut antara lain:
a)
terbatasnya
pengetahuan masyarakat yang berkaitan dengan ibadah zakat;
b)
konsepsi
zakat yang masih dirasa terlalu sederhana dan tradisional. Hingga akhirnya
dalam pelaksanaannya pun masih sangat sederhana, yaitu cukup dibagikan langsung
sendiri kepada lingkungannya atau kepada kyai yang disenangi;
c)
sifat
manusia yang kikir. Sehingga jika kekayaan itu diperoleh atas jerih payah dalam
memeras otak, keringat dan kemampuannya sendiri, sehingga makin beratlah orang
tersebut untuk mengeluarkan zakatnya;
d)
pembenturan
kepentingan;
e)
kepercayaan
muzaki, dimana banyak muzaki yang masih khawatir zakat yang diserahkannya hanya
dipergunakan oleh amilnya.
B. Definisi Zakat Profesi
Zakat profesi adalah zakat yang dikenakan kepada penghasilan
para pekerja karena profesinya. Akan tetapi, pekerja profesi mempunyai
pengertian yang luas, karena semua orang bekerja dengan kemampannya, yang
dengan kata lain mereka bekerja keras sesuai profesinya. Oleh karena itu, perlu
definisi yang spesifik tentang pengertian zakat profesi.
Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa profesi adalah
bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejujuran dan
sebagainya) tertentu. Profesional adalah yang bersangkutan dengan profesi,
memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Sedangkan menurut Fachrudin
(1996:23) : profesi adalah segala usaha yang halal yang mendatangkan hasil
(uang) yang relatif banyak dengan cara
yang mudah, baik melalui suatu keahlian tertentu atau tidak.
Dengan demikian dari definisi tersebut diatas maka diperoleh
rumusan, zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang
halal yang dapat mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara yang
mudah, melalui suatu keahlian tertentu. Poin-poin yang perlu digaris bawahi berkaitan
dengan pekerja profesi yang dimaksud, yaitu:
a. Jenis
usahanya halal;
b. Menghasilkan
uang relatif banyak;
c. Diperoleh
dengan cara yang mudah;
d. Melalui
suatu keahlian tertentu.
C. Dasar Hukum Zakat Profesi
Sebagaimana telah diterangkan
sebelumnya, zakat penghasilan bukanlah masalah baru karena telah dipraktekkan
sejak masa awal Islam. Akan tetapi, praktek tersebut hanya sebatas hasil
ijtihad semata, yang tidak banyak diceritakan dalam sejarah ataupun kitab-kitab
fiqih mengenai sandaran hukumnya. Disamping itu, zakat yang dipungut pada waktu
itu sangat sederhana dan tertentu, yaitu gaji atau upah (amaalih) yang diberikan kepada pegawai, barang sitaan (al-mazalim) yang dikembalikan kepada pemiliknya, dan hadiah yang diberikan
kepada yang berjasa pada negara Islam, waktu itu.
Oleh karena itu, bentuk-bentuk
pendapatan zaman modern sekarang yang belum ada pada masa lalu, dengan
volumenya yang besar dan sumbernya yang luas itu, diperlukan ketegasan
hukumnya, supaya setiap orang mengetahui kewajiban dan haknya. Maka, untuk
menemukan hukumnya diperlukan penelusuran dengan menggunakan metode atau kaidah
ushul fiqih.
Hukum diwajibkannya
zakat penghasilan/ profesi adalah berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 267:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنفِقُوا مِن
طَيِّبَاتِ مَاكَسَبْتُمْ وَمِمَّآأَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ اْلأَرْضِ وَلاَ
تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِئَاخِذِيهِ إِلآَّ أَن
تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ {267}
“Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan jangan-lah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya.
Dan ketahuilah, bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (Al-Baqarah: 267)
serta
At-Taubah ayat 34 yang telah disebutkan pada bab kedua:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الأحْبَارِ
وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ
سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا
يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (٣٤)
“Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan
rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan
mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (At-Taubah: 34)
Dalam ayat tersebut, kata “anfiquu” memfaedahkan “wajib”, karena sesuai dengan
kaidah ushul fiqih: Pada asalnya perintah
itu memfaedahkan wajib.
Menurut Fachrudddin (1990: 27), kata “maa kasabtum” dalam surat Al-Baqarah ayat 267 itu bersifat
umum (‘am) dan memang sudah mendapat takhsis-nya, yaitu hadits Rasulullah SAW
tentang bentuk dan jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Akan tetapi,
karena hokum pada ‘am dan khas ini sama, maka keumuman itu tretap
berlaku secara utuh untuk menetapkan zakat profesi. Hal ini sesuai dengan
kaidah ushul:
Menyebutkan sebagian satuan dari lafadz
“am yang sesuai dengan hukumnya tidak mengandung ketentuan takhsish dan
Lafadz ‘am yang telah ditakhsish tetap dapat dijadikan
hujjab pada makna yang masih tertinggal.
Oleh karena itu, mengambil keumuman
lafadz dari ayat 267 surat Al-Baqarah itu lebih tepat dari pada mempertahankan
kekhususan asbabun nuzul nya, sebab
kaidah ushul mengatakan:
Makna ibarat lafadz itu mengambil pada
umumnya makna lafadz bukan terbatas pada khususnya sebab (terjadi lafadz).
Sehingga, meskipun zakat itu termasuk
ibadah, tetapi bukan ibadah mahdah melainkan
ibadah ijtima’iyah. Zakat pada
dasarnya adalah untuk merealisasikan keadilan yang menjadi tujuan hukum Islam.
Zakat berfungsi untuk menyucikan harta dan mempersempit jurang pemisah antara
si kaya dan si miskin.
Selanjutnya, setelah diketahui hukum
zakat profesi, maka perlu ditelusuri pula tentang besarnya nishab. Di atas
telah disebutkan tentang perbedaan pendapat dalam hal penentuan besarnya nishab
zakat penghasilan, disebabkan perbedaan pengambilan qiyas masing-masing. Ketidaksepakatan ini jelas memberikan kesan
masih adanya kerancuan ushul fiqih, sehingga timbul persepsi bahwa hukum zakat
profesi masih lemah, karena belum ada keterangan yang tekuat yang bias diambil
pegangan. Maka, menurut Jalal (1998), memilih satu di antara nishab tersebut
hanya menjadi selera seorang pemilih.
D. Nisab Zakat Profesi dan Cara Perhitungannya
1.
Nishab Zakat Profesi
Islam tidak
mewajibkan zakat atas seluruh harta benda, sedikit atau banyak, tapi mewajibkan
atas harta benda yang sampai nishab, bersih dari utang serta lebih dari
kebutuhan pokok pemiliknya. Oleh karena itu, Qardhawi (1999:482) memberikan
definisi, bahwa maksud relatif banyak adalah “telah mencapai nishab”. Hal
senada juga diungkapkan oleh Amien (1988:44), yaitu “di atas rata-rata
pendapatan penduduk”. Pendapat mereka ini mempunyai maksud yang sama, yaitu
bermakna “lebih”. Pendapat keduanya sesuai dengan firman Allah terjemahan surat
al-Baqarah ayat 219, yaitu “yang lebih dari keperluan”, dan juga dalam sabda
Nabi SAW menegaskan bahwa, “kewajiban zakat hanya bagi orang kaya” (Riwayat
Jama’ah).
Dengan demikian,
penghasilan yang mencapai nishab seperti gaji yang tinggi dan honorarium yang
besar para pegawai dan karyawan, serta pembayaran-pembayaran yang besar kepada
golongan profesi, wajib dikenakan zakat, sedangkan yang tidak mencapainya tidak
wajib. Alasan ini dibenarkan, karena membebaskan orang-orang yang mempunyai
gaji kecil dari kewajiban zakat dan membatasi kewajiban zakat hanya atas
pegawai-pegawai tinggi dan tergolong tinggi saja. Sehingga dnegan adanya
batasan ini, telah mendekati pada kesamaan dan keadilan. Hal ini sesuai dengan
yang dinyatakan oleh Qardhawi (1997: 398), bahwa “termasuk prinsip keadilan :
perbedaan pendapatan dan pemerataan kesempatan.”[1]
Banyak kompleks
perumahan mewah dan kendaraan mewah di berbagai kota besar di Indonesia ini,
adalah suatu bukti kasat-mata bahwa memang banyak profesi yang begitu mudah
mendatangkan rizki. Banyak profesi modern yang mereka geluti setiap harinya.
Tidak heran jika kaum profesional dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu memang
sangat mudah mendapatkan rizki dalam jumlah besar.
Dari gambaran
tersebut, jelas bahwa kriteria pekerja profesi adalah para pekerja atau pegawai
yang dengan mudah mendapatkan rizki dalam jumlah yang besar, baik itu di atas
nishab ataupun melebihi rata-rata pendapatan masyarakat pada umumnya. Sedangkan
para pekerja kecil, meskipun itu tergolong sebagai profesi namun belum mencapai
nishab maka, tidak wajib untuk mengeluarkan zakatnya.
Mengenai besarnya
nishab zakat penghasilan ini, terdapat perbedaan di kalangan ulama, karena
tidak adanya dalil yang tegas tentang zakat profesi. (yang sekarang disebut al-maalul mustafad), sehingga mereka
menggunakan qiyas (analogi) dengan
melihat ‘illat (sebab hukum) yang
sama kepada aturan zakat yang sudah ada.
Syaikh Muhammad
al-Ghazali meng-qiyas-kan zakat
profesi dengan zakat pertanian. Sehingga menurutnya, beban zakat setiap
pendapatan sesuai dengan ukuran beban pekerjaan atau pengusahaannya, seperti
halnya dengan pendapat Qardhawi, yang diperkuat oleh pendapat Abdur Rahman
Hasan, Muhammad Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf (1999), menganalogikan zakat
penghasilan dengan nishab emas, yaitu 94 gram. Hal ini sesuai dengan yang
pernah dipraktikkan oleh Ibnu Mas’ud, Khalifah Muawiyah dan Umar bin Abdul
Aziz.[2]
2.
Cara Perhitungannya
Syaikh Muhammad
al-Ghazali menganaloikan zakat profesi kepada zakat pertanian. Sehingga berlaku
nshab pertanian (menurut Instruksi Menteri Agama No. 5 Tahun 1991: 750 kg
beras), tetapi tidak berlaku hawl. Zakat profesi, seperti zakat pertanian,
dikeluarkan kapan saja kita memperoleh penghasilan. Bila pertanian menggunakan
irigasi, maka zakatnya 5%, dan bila pertanian itu mengambil air dari langit,
maka dikeluarkan 10%.[3]
Nishab zakat
pertanian adalah 750 kg beras. Untuk mengetahui jumlah gaji pegawai yang
besarnya setara dengan zakat pertanian, maka harus dikonversikan dengan harga
minimal beras dalam waktu dan wilayah setemoat, menjadi:
750 kg x Rp 8.000 = Rp 6.000.000
Dengan demikian,
apabila kita memperoleh penghasilan sejumlah itu, maka harus dikeluarkan
zakatnya. Apabila ingin disesuaikan dengan pendapatan pegawai perbulannya, maka
zakat pertanian ini harus disesuaikan terlebih dahulu. Misalnya, petani dalam
setahun mengalami dua kali panen.
Rp 6.000.000 x 2 = Rp 12.000.000
Lalu, dibagi 12
bulan, sehingga pendapatan petani perbulannya Rp 1.000.000. jadi apabila
pendapatan seorang pegawai perbulannya Rp 1.000.000 wajib zakat sesuai dengan
produktivitas bidang pekerjaannya, yaitu bila diperoleh dengan cara susah, maka
5% (Rp 50.000), dan apabila diperoleh dengan mudah, maka zakat 10% (Rp
100.000).
Hsl itu sepertinya
tidak mungkin. Karena pendapatan sejumlah itu adalah sangat kurang bagi seorang
pegawai, belum lagi dikurangi biaya hidup yang tidak sedikit. Ini merupakan ke-musykil-an menganalogikan pada
pertanian. Karena ke-musykil-an ini,
ulama yang lain memilih menganalogikan dengan emas dan perak. Menurut sebagian
ulama (dan ini masih diperdebatkan), di sini berlaku nishab dan hawl. Bila
dianalogikan kepada emas, (seperti pendapatnya Qardhawi, Wahbah al-Zuhayly dan
kebanyakan ulama), maka nishabnya 94 gram emas. Dikonversikan ke uang (misalnya
harga emas sekarang Rp 500.000 dan perak Rp 10.000):
94 gram x Rp 500.000 = Rp 47.000.000
Bila dianalogikan
dengan perak, maka jumlah nishabnya 672 gram:
672 gram x Rp 10.000 = Rp 6.720.000
Karena ada hawl maka
jumlah nishab itu haruslah setelah penghasilan dijumlahkan selama setahun. Jadi
bila gaji kita setahun sama atau lebih dari Rp 47.000.000 (dianalogikan dengan
emas), atau sebulannya Rp 3.916.700 keluarkan zakatnya 2,5% (Rp 97.900).
Ke-musykilan-nya, seperti telah disebutkan
terletak pada standar yang mau diambil; emas atau perak. Tidak ada kepastian
hukum, dan yang dirasakan berat adalah bila dianalogikan dengan perak, karena
jika penghasilan sebulannya saja sebesar Rp 560.000 maka harus dikeluarkan
zakatnya Rp 14.000.
Bila dianalogikan
kepada zakat barang temuan (rikaz),
jelas tidak ada nishab, langsug dikeluarkan zakatnya saat memperoleh harta
tersebut, sebesar 20%. Dengan demikian, bila hasil kerja (gaji, upah,
honorarium) dari profesi seseorang beberapa jumlahnya, sampai nishab ataupun
tidak, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 20%. Hal ini musykil, karena para pegawai, buruh, kuli bangunan dan sebagainya
yang penghasilannya kecil akan terkena kewajiban zakat profesi, walaupun
kondisi keuangan mereka masih disebut kurang mencukupi. Oleh karena itu, tidak
mungkin dianalogikanke harta rikaz,
mengingat gaji atau upah para pekerja tersebut tidak begitu saja diperoleh
tanpa bekerja keras.
Berdasarkan uraian di
atas, tampak bahwa menganalogikan zakat profesi kepada pertanian, emas dan
perak serta barang temuan (rikaz)
sangat musykil. Memilih satu
diantaranya hanya menjadi selera seorang pemilih semata. Karena semuanya lemah.
Tidak ada keterangan yang terkuat.[4]
Ada kecenderungan
yang paling mendekati dan rasional bila zakat profesi ini dianalogikan kepada
zakat perdagangan. Alasannya, karena kerja profesi adalah usaha menjual jasa.
Menjual jasa identik dengan tijarah.
Sedangkan perdagangan adalah bagian dari tijarah.
Sehingga, zakat profesi bisa dianalogikan dengan zakat perdagangan, karena
mengambil ‘illat yang paling dekat,
yaitu perbuatan menjual. Dengan demikian, besarnya nishab zakat profesi adalah
94 gram emas, dan kadarnya 2,5%. Akan tetapi pada zakat perdagangan (tijarah) ini, para ulama masih
memperdebatkan tentang ada atau tidaknya nishab dan hawl zakat tersebut. Karena
Rasulullah SAW tidak memberikan ketegasan untuk jumlah nishab dan hawl zakat
perdagangan. Sehingga selama ini para ulama meng-qiyas-kannya kepada zakat emas dan perak.
Dasar penganalogian
zakat profesi tersebut di atas, pada umumnya para ulama ber-istidlal kepada surat al-Baqarah ayat
267. Dalam ayat ini kewajiban infaq dari hasil usaha digandengkan dengan infaq
dari hasil yang di keluarkan dari perut bumi. Akan tetapi, dikemukakan oleh
Jalal, bahwa “apa yang Kami keluarkan dari perut bumi” itu, adalah berupa emas
dan perak, hasil pertanian, juga barang tambang dan barang temuan (1989: 149).
Oleh karena itu, jika dianalogikan dengan yang pertama, zakat profesi kita
menjadi 2,5%; dan dengan yang kedua menjadi 5% atau 10% dan dengan yang ketiga
menjadi 20%. Dengan demikian terjadilah kerancuan fiqh.
Telah disebutkan di
atas bahwa zakat profesi 2,5% sudah menjadi kesepakatan semua ulama dari mulai
sahabat, tabi’in dan para fuqaha’. Diantaranya, Abdullah Ibnu
Mas’ud, Muawiyah, Umar bin Abdul Aziz dan pemikir Isla modern yaitu Yusuf
Qardhawi. Umumnya mereka menganalogikan dengan zakat uang, karena penghasilan
berupa gaji, upah dan honorarium berbentuk uang. Maka, tidak ada lagi alasan
untuk tidak menganalogikannya selain emas.[5]
Pengeluaran zakat
profesi hanya dikenakan kepada pegawai atau pekerja yang telah memperoleh
penghasilan lebih dan dengan cara mudah jauh di atas rata-rata pendapatan
masyarakat. Kepada yang berpenghasilan sedang, tidaklah dikenakan zakat profesi
karena hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Tetapi, apabila
tiba-tiba ia memperoleh penghasilan yang tidak terduga dan melebihi
kebutuhannya, maka zakat yang harus dikeluarkan 20% dari penghasilan tak
terduga tersebut.[6]
E. Definisi Wakaf Tunai
Wakaf tunai menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun
2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf yaitu
wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan dalam bentuk benda bergerak berupa uang
yaitu mata uang rupiah dan apabila uang yang akan diwakafkan masih dalam mata
uang asing maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.[7]
Di Indonesia, sebelum lahirnya UU
No. 41 tahun 2004, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa tentang
Wakaf Uang pada 11 Mei 2002 yaitu:
a)
Wakaf Uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf
yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk
uang tunai.
b)
Termasuk ke
dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
c)
Wakaf uang
hukumnya jawaz (boleh)
d)
Wakaf uang
hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara
syar’i.
e)
Nilai pokok
Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan
atau diwariskan.
F. Jenis Baru dalam Wakaf Uang
1. Wakaf uang dan pengembangannya dalam bentuk
investasi
Bentuk
baru yang pertama dalam wakaf uang adalah wakaf uang di berbagai perusahaan
investasi. Biasanya wakaf uang di sini dibentuk atas asas bagi untung
(mudharabah) atau berdasarkan penyewaan pengelola.Kedua masalah ini telah telah
dibicarakan oleh para ahli fikih, dengan catatan bahwa satu kepengurusan bisa
melakukan investasi harta dari beberapa pemilik harta yang bermacam-macam.
Pembahasan ini telah dikaji secara detail oleh para ahli fikih kontemporer yang
menaruh perhatian besar pada bidang muamalat keuangan kontemporer terutama
menyangkut muamalat perbankan Islam. Dalam hal ini uang yang diwakafkan kepada
badan atau yayasan yang menerima pinjaman usaha bagi untung (mudharabah), atau
kepada yayasan yang dikelola oleh pengelola sewaan.Sedangkan hasil dari pinjaman
uang untuk usaha bagi untung diberikan sebagai amal kebaikan sesuai dengan
tujuan wakaf.
2.
Bentuk Baru dalam Wakaf
Keuntungan Uang
Diantara bentuk wakaf uang
juga adalah wakaf keuntungan uang tanpa mewakafkan uangnya langsung atau tanpa
mewakafkan benda yang dapat menghasilkan uang.
Pada praaktiknya bentuk wakaf keuntungan uang ini sangat banyak dan
tidak bisa kita batasi, akan tetapi tidak terlepas dari dua hal berikut:
a.
Wakaf hasil benda yang dapat
diproduksi hingga batas waktu tertentu. Misalnya, seorang mewakafkan hasil dari
suatu benda, baik secara keseluruhan maupun hasil bersihnya saja, yang muncul
dari investasi bagunan pada sepuluh hari pertama dari bulan dzjulhijjah setiap
tahun. Atau seorang dermawan yang mempunyai tempat parkir mobil dan mewakafkan
hasil tempat parkirnya setiap hari jum’at kepada orang-orang miskin. Atau
pemilik kebun binatang mewakafkan pendapatannya selama satu bulan misalnya
setiap setahun tiga kali, dan lain sebagainya.
b.
Wakaf bagian prosentase dari keuntungan uang, baik secara
keseluruhan maupun hasil bersihnya saja bagi lembaga investasi yang
menyelenggarakan penggalangan dana untuk investasi, ditambah zakat wajib yang
harus diberikan kepada orang yang berhak menurut syariat Islam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Persaingan diantara lembaga-lembaga
ZISWAF saat ini terus meningkat. Promosi semakin gencar dilakukan seiring
meningkatnya angka kelas menengah di Indonesia menjadi peluang bagi
lembaga-lembaga NGO ini untuk memaksimalkan raihan mereka. Agresifitas
lembaga-lembaga ini dapat menolong distribusi kekayaan diantara masyarakat
Indonesia terutama untuk masyarakat yang membutuhkan.
2.
Zakat profesi adalah zakat yang
dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang)
yang relatif banyak dengan cara yang mudah, melalui suatu keahlian tertentu.
3.
Nishab zakat profesi
seperti gaji yang tinggi dan honorarium yang besar para pegawai dan karyawan,
serta pembayaran-pembayaran yang besar kepada golongan profesi, wajib dikenakan
zakat, sedangkan yang tidak mencapainya tidak wajib.
4.
Para ulama lebih
mengikuti analogi perhitungan zakat profesi sesuai perhitungan emas (94 gram)
yaitu sebesar 2,5%.
5. Wakaf adalah wakaf yang dilakukan seseorang,
kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
6. Jenis
baru dalam wakaf uang antara lain wakaf
uang dan pengembangannya dalam bentuk investasi dan bentuk baru dalam wakaf keuntungan uang.
DAFTAR PUSTAKA
Fiqih Wakaf, Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Departemen agma RI, 2006.
Muhammad. Zakat
Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqih Kontemporer. Jakarta: Salemba
Diniyah, 2002
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Qahaf,
DR. Mundzir. 2005. MANAJEMEN WAKAF
PRODUKTIF, Jakarta:
KHALIFA.
Trinity,
2008. “Kumpulan Undang-undang tentang
Wakaf dan Zakat”, Citra Media Wacana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar