Senin, 28 Maret 2016

FALSAFAH KERJA DALAM ISLAM (Pandangan Islam tentang Wanita yang Bekerja)



FALSAFAH KERJA DALAM ISLAM
(Pandangan Islam tentang Wanita yang Bekerja)
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Profesi
Dosen pengampu :Rozikan, S.E.I, M.S.I.


  
 


               Disusun oleh :

Ari Anitasari                           (20130730252)           
Vera Septinawati                    (20130720254)
Arini Leviani S.W                   (20130730259)



Fakultas Agama Islam
Program Studi Ekonomi Perbankan Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2016

KATA PENGANTAR


Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga sampai saat ini kita masih bisa beraktivitas dan menyelesaikan tugas penelitian ini.
Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas tentang bagaimana falsafah dalam memahami konsep kerja dalam perspektif Islam yang meliputi: pengertian dan kerja menurut Islam, konsep-konsep kerja dalam Islam, falsafah kerja dalam Islam serta bagaimana Islam memandang seorang wanita yang bekerja.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Profesi dengan semaksimal mungkin sesuai kemampuan yang kami miliki dan bantuan dari beberapa sumber. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Rozikan, S.E.I, M.S.I., selaku dosen mata kuliah Etika Profesi yang sudah memberikan tugas ini, sehingga kami dapat berlatih untuk melakukan penelitian secara langsung. Di samping dapat menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, tetapi kami juga dapat berlatih menjadi insan peneliti di masa depan.
Semoga penelitian yang kami lakukan ini dapat bermanfaat untuk pembaca dan diperkenankan bagi pembaca untuk memberikan kritik dan saran. Karena kritik dan saran yang membangun, akan menjadikan kesempurnaan penelitian ini.



Yogyakarta, 4 Maret 2016
Penulis,


BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Dalam diri manusia terdapat apa yang disebut dengan nafs sebagai potensi yang membawa kepada kehidupan. Dalam pandangan Al-Qur’an , nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan. Setiap manusia memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satunya melalui bekerja manusia akan berusaha memperoleh harta kekayaan. Karena tanpa berusaha manusia tidak akan mendapatkan apa-apa.
Islam memandang bahwa bekerja merupakan satu kewajiban bagi setiap insan. Karena dengan bekerja, seseorang akan memperoleh penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan juga keluarganya serta dapat memberikan maslahat bagi masyarakat di sekitarnya. Oleh karenanya Islam bahkan mengkategorikan bekerja sebagai ibadah, yang diperintahkan oleh Allah SWT.  Selain sebagai satu kewajiban, Islam juga memberikan penghargaan yang sangat mulia bagi para pemeluknya yang dengan ikhlas bekerja mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Sebenarnya kekayaan dengan segala bentuknya, baik material maupun spiritual merupakan keutamaan dan mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan kemiskinan meskipun demikian, kekayaan bukanlah segala-galanya bukan tujuan akhir dari kehidupan muslim. Kekayaan hanyalah alat untuk memakmurkan bumi. Oleh karena itu, Al-Qur’an mencela orang-orang yang hanya menumpuk harta kekayaan tetapi tidak peduli dengan nasib orang lain (Al-Qur’an 104 : 1-9).
Dalam syari’at Islam, kekayaan Islam dipandang amat penting untuk dapat menjalankan ketentuan-ketentuannya, dan paling tidak ada dua rukun Islam yang mensyaratkan kemampuan ekonomi yang cukup, yaitu untuk melaksanakan kewajiban zakat dan haji (Ali-Sumanto Alkindi, 1997).
Dalam mewujudkan nilai-nilai ibadah dalam bekerja yang dilakukan oleh setiap insan, diperlukan adab dan etika yang membingkainya, sehingga nilai-nilai luhur tersebut tidak hilang sirna sia-sia.
Dewasa ini muncul berbagai pandangan tentang bagaimana seorang wanita yang bekerja dalam perspektif Islam. Entah suami dan istri yang sama-sama bekerja, seorang ibu tunggal yang dituntut membiayai kehidupan anak-anaknya atau bahkan peran suami dan istri yang tertukar dalam hal bekerja, istri bekerja dan suami mengurus kehidupan rumah tangga.
Kami ingin menguraikan masalah mengenai wanita yang bekerja tetapi kodratnya adalah mengurus rumah tangga, bagaimana Islam memandang dan syarat apa saja yang harus dipenuhi seorang wanita agar dapat bekerja sesuai tuntutan kehidupan masing-masing.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang  tersebut diatas, maka kami membatasi penelitian ini pada pokok permasalahan sebagai berikut:
1.      Apa definisi falsafah dan kerja menurut Islam?
2.      Apa saja konsep-konsep kerja menurut Islam?
3.      Bagaimanakah falsafah kerja menurut perspektif Islam?
4.      Bagaimanakah Islam memandang wanita yang bekerja?

C.    Tujuan Penelitian

Penelitian yang kami lakukan dalam hal ini mengenai Falsafah Kerja dalam perspektif Islam dan bagaimana Islam memandang wanita yang bekerja dalam berbagai konteks kehidupan, adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui dan memahami definisi falsafah dan kerja menurut Islam.
2.      Mengetahui dan memahami konsep-konsep kerja menurut Islam.
3.      Mengetahui dan memahami falsafah kerja menurut perspektif Islam.
4.      Mengetahui dan memahami bagaimanakah Islam memandang wanita yang bekerja.

D.    Manfaat Penelitian

Selain memiliki tujuan, makalah ini dibuat agar kita memperoleh manfaat diantaranya:
1.      Manfaat Teoritik
Hasil penelitian ini akan berguna bagi pengembangan teori- teori yang berkaitan dengan pandangan Islam tentang falsafah  kerja.
2.      Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi para wanita agar lebih memahami peran yang sebenarnya sebagai seorang wanita dan bagaimana solusi untuk para wanita yang bekerja dalam menjalankan tuntutan dalam kehidupan sehari-hari yang tidak lepas dari aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam Islam.

 

 

 


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI


A.    Tinjauan Pustaka

Penelitian yang berkaitan dengan Falsafah, Pandangan, Gagasan atau Konsep bekerja dalam perspektif Islam baru sedikit dilakukan peneliti. Diantaranya oleh Hj. Abdullah Atikullah (2013) dalam karya ilmiahnya yang berjudul “Konsep Kerja sebagai Ibadat Menurut Perspektif Islam” bertujuan menjelaskan hubungan antara konsep Ibadat, Muamalah dan Kerja dalam perspektif Islam.
Adapun hasilnya adalah kefahaman yang sahih dan syumul terhadap konsep dan tasawwuf ibadat, adat dan kerja menurut Islam ini bisa menjadi penghalang yang dalam kepada sikap yang salah dan negatif terhadap tanggungjawab melaksanakan kerja sehingga mengakibatkan penghasilan mutu kerja yang rendah dan tidak berkualitas. Pada saat yang sama bisa menjadi sikap yang positif dan mampu membuahkan hasil kerja yang tinggi produktivitas dan kualitasnya.
Sementara itu, penelitian Dhaniar Fitria Widyaningtyas (2015) dalam skripsinya yang berjudul PENGARUH ETIKA KERJA ISLAM, KOMITMEN PROFESI, KOMITMEN ORGANISASI, SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMEN DAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN TERHADAP KINERJA KARYAWAN BAGIAN AKUNTANSIbertujuan untuk menemukan bukti empiris bahwa etika kerja Islam berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja karyawan.
Adapun hasilnya adalah etika kerja Islam, komitmen profesi, komitmen organisasi, sistem pengendalian manajemen, dan sistem pengendalian intern dapat  menjelaskan variasi variabel kinerja karyawan.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena penelitian ini fokus pada bagaimana falsafah atau gagasan yang lebih mendalam tentang bekerja dalam perspektif Islam, bagaimana konsep dan makna yang sebenarnya tentang bekerja dalam lingkup pemahaman Islam terutama untuk kaum wanita.

B.     Kerangka Teori

1.      Pengertian Falsafah dan Kerja Menurut Islam

a)      Falsafah
Menurut bahasa, kata filsafat berasal dari bahasa yunani philosophia, dari kata philos atau philein atau philia yang berarti cinta, dan dari kata Sophia yang berarti kebijaksanaan atau kearifan atau pengetahuan. Sehingga orang yang mencintai kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan disebut philosophos atau filsuf (Humaniora Dardiri , 1986).
Kemudian orang Arab memindahkan kata yunani philosophia ke dalam Bahasa Arab menjadi falsafah. Hal ini sesuai dengan tabiat susunan kata-kata arab dengan pola fa'lala fa’lalah dan fi'lala. Karena itu kata benda dari kata kerja falsafa sebarasnya falsafah dan filsafat (Harun Nasution, 1973). Dalam kamus besar Indonesia, filsafat adalah pengetahuan  dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya, teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistemology.
b)      Kerja
Bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh aset, pikir dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khairu ummah) atau dengan kata lain dapat juga kita katakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.
Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik kebutuhan fisik, psikologis, maupun sosial. Dengan pekerjaan manusia akan memperoleh kepuasan-kepuasan tertentu yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik dan rasa aman, serta kebutuhan sosial dan kebutuhan ego. Selain itu kepuasan seseorang terhadap pekerjaan juga diperoleh melalui berbagai bentuk kepuasan yang dapat dinikmati diluar kerja, misalnya kepuasan sewaktu bekerja, menikmati liburan, dan yang lebih mendasar lagi dapat menghidupi diri dan keluarga.
Selain itu, kerja adalah aktivitas yang mendapat dukungan sosial dan individu itu sendiri. Dukungan sosial itu dapat berupa penghargaan masyarakat terhadap aktivitas kerja yang ditekuni. Sedangkan dukungan individu dapat berupa kebutuhan-kebutuhan yang melatarbelakangi aktivitas kerja. Seperti kebutuhan untuk aktif, untuk berproduksi, berkreasi, untuk memperoleh pengakuan dari orang lain, memperoleh prestise serta kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Islam menjadikan kerja sebagai tuntutan fardu atas semua umatnya selaras dengan dasar persamaan yang diisytiharkan oleh Islam bagi menghapuskan sistem yang membeda-bedakan manusia mengikut derajat atau kasta dan warna kulit. Firman Allah yang bermaksud:
"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu daripada lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan berpuak-puak supava kamu berkenal-kenalan. Sesungguhnya orang yang termulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang taqwa." (Al-Hujurat: 13)
Dengan menggunakan segala unsur-unsur perbedaan derajat atau warna kulit itu maka jadilah kerja menurut Islam suatu tuntutan kewajiban yang menyeluruh atas setiap orang yang mampu bekerja untuk mencapai kebahagiaan individu dan juga masyarakat. Jadi tidaklah kerja itu hanya khusus untuk golongan hamba abdi seperti sebelumnya.

2.      Konsep-konsep kerja menurut Islam

Dalam Islam, pekerjaan mempunyai taraf kemuliaan yang tinggi yang tidak ada tolok bandingnya dengan agama dan juga kebudayaan lain. Islam memandang tinggi setiap pekerjaan yang diakui sah dari segi hukum sebagaimana penghormatan yang diberikan oleh Rasulullah terhadap pengikutnya yang pernah mengajukan soalan kepada baginda yang bermaksud :

"Hai Rasulullah, apakah pendapat tuan mengenai kerja saya? Baginda bertanya: Apakah pekerjaan kamu? Jawab orang itu: Pembuat pukat. Lalu baginda bersabda: Pekerjaan kamu adalah pekerjaan bapa kita nabi Adam as. Ia adalah orang yang pertama menjalin pukat yang diajar oleh Jibril."

Allah swt berfirman yang bermaksud :

"Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasulnya serta orang orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu lerjakan". (Surah at-Taubah ayat 105).

Menurut penjelasan Sunnah Rasulullah saw bahwa kesemua para Nabi as biarpun tinggi darjat mereka, mereka telah menjadikan pekerjaan sebagai landasan hidup masing-masing. Adam telah mengambil bagian dalam pertanian, Nuh dalam perniagaan, Daud dalam pertukangan besi, Musa dalam penulisan, Zakaria sebagai seorang tukang kayu dan begitulah juga para nabi selain mereka.

a)      Konsep Kerja Sebagai Ibadah

فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ
“Maka carilah rizki di sisi Allah..” (QS. Al ‘Ankabut [29]: 17)

Bekerja dalam pandangan Islam begitu tinggi derajat-Nya. Hingga Allah dalam Al-Qur`an menggandengkannya dengan jihad memerangi orang-orang kafir. Pekerjaan hendaklah yang dihalalkan syara’ dan diiringi dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah, melakukan pekerjaan dengan bersungguh-sungguh, tekun dan sebaik-baik mungkin, menjaga batas-batas Allah swt dan menghormati dasar-dasar akhlak dengan tidak melakukan kezaliman, pengkhianatan, penipuan, melampaui hak orang lain termasuk penyalahgunaan kemudahan, peluang, harta dan kuasa serta pekerjaan yang dilakukan itu tidak menghalangi pekerjanya dalam menunaikan kewajiban kepada Allah swt.

b)      Kerja Sebagai Sumber Nilai
Kerja sebagai sumber nilai manusia bererti manusia itu sendiri menentukan nilai atau harga ke atas sesuatu perkara itu. Sesuatu perkara itu pada zatnya tidak ada apa-apa nilai kecuali kerana nisbahnya kepada apa yang dikerjakan oleh manusia bagi menghasil, membuat, mengedar atau menggunakannya. Kerja juga merupakan sumber yang objektif bagi penilai prestasi manusia berasaskan segi kelayakan.
c)      Ker            ja Sebagai Sumber Pencarian
Islam mewajibkan setiap umatnya bekerja untuk mencari rezeki dan pendapatan bagi menyara hidupnya. Islam memberi berbagai-bagai kemudahan hidup dan jalan-jalan mendapatkan rezeki di bumi Allah yang penuh dengan segala nikmat ini.
d)     Kerja Sebagai Asas Kemajuan Umat
Islam mewajibkan kerja untuk tujuan mendapatkan mata pencarian hidup dan secara langsung mendorongkan kepada kemajuan sosio-ekonomi. Islam mengambil perhatian yang bersungguh-sungguh terhadap kemajuan umat kerana itu ia sangat menekankan kemajuan di peringkat masyarakat dengan menggalakkan berbagai kegiatan ekonomi sama ada di sekitar pertanian, perusahaan dan perniagaan.

3.      Falsafah kerja menurut perspektif Islam

Rezeki adalah urusan Allah, manusia hanya wajib berusaha sekuat tenaga dan jangan sampai kita merasa angkuh setelah mendapatkan rezeki yang banyak, karena meskipun telah berusaha semaksimal mungkin, tanpa campur tangan Allah tidak mungkin rezeki itu akan menghampiri kita.

Orang yang melakukan kerja apa saja, lazimnya cenderung melihat pada imbalan kerja (upah) yang mereka terima, tanpa memikirkan apakah imbalan itu baik dan halal. Pada umumnya orang hanya berorientasi pada sabda Rasulullah Saw: “Berikanlah upah kepada pekerja”, tetapi melupakan kelanjutan yang berbunyi “Sebelum kering keringatnya”, ini berarti bahwa yang dimaksud pekerjaan yang mendapatkan upah itu ialah pekerjaan yang memeras otak atau tenaga. Sedangkan pekerjaan dalam bentuk apapun yang tidak menimbulkan suatu tanggung jawab atau tidak mencucurkan keringat, atau tidak perlu harus berusaha payah, maka tidak halal anda menerima upah dan imbalan (Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi , 1992).

a)      Kewajiban mencari rizki yang halal
طَلَبُ اْلحَلاَ لِ فَرِيْضَةً بَعْدَ اْلفَرِيْضَةِ
“Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban beribadah”. (HR. Thabrani dan Baihaqi)
b)      Ancaman terhadap orang yang tidak mau bekerja mencari yang halal
أَشَدُّ االنَّاسِ حَسْرَةٍ يَوْمَ اْلقِيَا مَةِ رَجُلُ كَسَبَ مَالاً مِنْ غَيْرُ حِلَّةٍ فَذَ خَلَ بِهِ النَّارَ
“Orang yang paling rugi di hari kiamat kelak adalah orang yang mencari harta secara tidak halal, sehingga menyebabkan ia masuk neraka”.

Dalam pandangan Islam, seorang yang bersusah-payah mencari rezeki yang halal, yang hasilnya digunakan sepenuhnya di jalan Allah disamakan derajatnya dengan para mujahid yang berperang di jalan Allah. Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang berkarya dan terampil. Barangsiapa yang bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wa Jalla." (HR Ahmad)

Kelelahan seorang muslim dalam mencari rezeki dinilai oleh Allah sebagai pahala. Bahkan bisa menjadi penebus dosa. Orang yang pulang ke rumah dalam keadaan kepayahan karena seharian bekerja akan diampuni oleh Allah swtDalam kaitan ini Rasulullah menegaskan dalam sebuah sabdanya: "Barangsiapa yang pada malam harinya merasa kelelahan karena bekerja pada siang harinya, maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah swt." (HR Ahmad)

Kenapa orang yang bekerja itu mendapatkan pahala di sisi Allah swt? Jawabannya sederhana, karena bekerja dalam konsep Islam itu merupakan kewajiban atau fardhu. Dalam kaidah fiqih, orang yang menjalankan kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang meninggalkannya akan terkena sanksi dosa. Tentang kewajiban bekerja ini Rasulullah bersabda, "Mencari rizqi yang halal itu wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa dan sebagainya)." (HR ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)

Bekerja merupakan kewajiban umat Islam, maka jangan heran jika Umar bin Khaththab pernah menghalau orang yang berada di masjid agar keluar untuk mencari nafkah. Umar tidak suka melihat orang yang pada siang hari tetap asyik duduk berdzikir di masjid, sementara sinar matahari sudah berpancar. 

Selain sebagai satu kewajiban, Islam juga memberikan penghargaan yang sangat mulia bagi para pemeluknya yang dengan ikhlas bekerja mengharapkan keridhaan Allah SWT. Penghargaan tersebut adalah sebagaimana dalam riwayat-riwayat hadits berikut :

a)      Akan diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT
مَنْ أَمْسَى كَالاًّ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ أَمْسَى مَغْفُوْرًا لَهُ رواه الطبراني
Dari Ibnu Abbas ra berkata, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang merasakan keletihan pada sore hari, karena pekerjaan yang dilakukan oleh kedua tangannya, maka ia dapatkan dosanya diampuni oleh Allah SWT pada sore hari tersebut." (HR. Imam Tabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Ausath VII/ 289)
b)      Dihapuskan dosa-dosa tertentu yang tidak dapat dihapuskan dengan shalat, puasa dan shadaqah.
إِنَّ مِنَ الذُّنُوْبِ لَذُنُوْبًا، لاَ تُكَفِّرُهَا الصَّلاةُ وَلاَ الصِّياَمُ وَلاَ الْحَجُ وَلاَ الْعُمْرَةُ، قَالَ وَمَا تُكَفِّرُهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ الْهُمُوْمُ فِيْ طَلَبِ الْمَعِيْشَةِ رواه الطبراني
Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya diantara dosa-dosa itu terdapat suatu dosa yang tidak dapat diampuni dengan shalat, puasa, haji dan juga umrah." Sahabat bertanya, "Apa yang bisa menghapuskannya wahai Rasulullah?". Beliau menjawab, "Semangat dalam mencari rizki". (HR. Thabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Ausath I/38)
c)      Mendapatkan cinta Allah SWT
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْمُحْتَرِفَ رواه الطبراني
Dari Ibnu Umar ra bersabda, 'Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mu'min yang bekerja dengan giat". (HR. Imam Tabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Aushth VII/380) :
d)     Terhindar dari azab neraka
Dalam sebuah riwayat dikemukakan,
"Pada suatu saat, Saad bin Muadz Al-Anshari berkisah bahwa ketika Nabi Muhammad SAW baru kembali dari Perang Tabuk, beliau melihat tangan Sa'ad yang melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman karena diterpa sengatan matahari. Rasulullah bertanya, “Kenapa tanganmu?” Saad menjawab, “Karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku." Kemudian Rasulullah SAW mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka”" (HR. Tabrani)
e)      Bekerja mencari nafkah digolongkan dalam fi sabililah
Dari Ka'ab bin Umrah berkata,
"Ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah SAW. Orang itu sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat lalu berkata, “Ya Rasulullah, andaikata bekerja seperti dia dapat digolongkan fi sabilillah, alangkah baiknya.” Lalu Rasulullah bersabda, 'Jika ia bekerja untuk mengidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; Jika ia bekerja untuk membela kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; dan jika ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, maka itu adalah fi sabilillah...”(HR. Thabrani)
Riwayat-riwayat di atas sudah lebih dari cukup bagi seorang mu'min untuk menjadi motivator dalam bekerja, terlebih-lebih bekerja di Lembaga Keuangan Syariah, yang memiliki visi untuk merealisasikan syariat Allah di muka bumi ini. Oleh karenanya seorang muslim yang baik adalah yang bekerja dengan penuh kesungguhan dan ketekunan. Karena selain mendapatkan penghasilan untuk kehidupan dunianya, ia juga mendapatkan beribu kebaikan untuk kehidupannya di akhirat kelak.

4.      Pandangan Islam tentang wanita yang bekerja

Islam menjadikan lelaki sebagai kepala keluarga, di pundaknya lah tanggung jawab utama lahir batin keluarga. Islam juga sangat proporsional dalam membagi tugas rumah tangga, kepala keluarga diberikan tugas utama untuk menyelesaikan segala urusan di luar rumah, sedang sang ibu memiliki tugas utama yang mulia, yakni mengurusi segala urusan dalam rumah.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka” (QS. An-Nisa: 34).
Begitu pula firman-Nya:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

Hendaklah kalian (para istri) tetap di rumah kalian” (QS. Al-Ahzab:33).
Memang bekerja adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga, tapi Islam juga tidak melarang wanita untuk bekerja. Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at.
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz mengatakan: “Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan bisnis, karena Alloh jalla wa’ala mensyariatkan dan memerintahkan hambanya untuk bekerja dalam firman-Nya:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh, Rasul-Nya dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“  (QS. At-Taubah:105)
Perintah ini mencakup pria dan wanita. Allah juga mensyariatkan bisnis kepada semua hamba-Nya, karenanya seluruh manusia diperintah untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja, baik itu pria maupun wanita, Allah berfirman (yang artinya):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela diantara kalian” (QS. An-Nisa:29),
Akan tetapi, wajib diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan dan bisnisnya, hendaklah pelaksanaannya bebas dari hal-hal yang menyebabkan masalah dan kemungkaran. Dalam pekerjaan wanita, harusnya tidak ada ikhtilat (campur) dengan pria dan tidak menimbulkan fitnah. Begitu pula dalam bisnisnya harusnya dalam keadaan tidak mendatangkan fitnah, selalu berusaha memakai hijab syar’i, tertutup, dan menjauh dari sumber-sumber fitnah.

 

 

 

 

 

 

 


 


                                                           BAB III                   

 

METODE PENELITIAN


A.    Pendekatan Penelitian

Pendekatan ini akan dilakukan dengan pendekatan Kualitatif. Hal ini karena penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data dalam bentuk berupa pendapat, tanggapan, informasi, konsep-konsep dan keterangan yang berbentuk uraian dalam mengungkapkan masalah. Pendekatan Kualitatif yaitu rangkaian kegiatn atau proses penyaringan data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi, aspek atau bidang tertentu dalam kehidupan objeknya (Hadari Nawawi , 1994).

B.     Jenis Data

Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer adalah data yang diambil dari hasil wawancara langsung ke responden yang bersangkutan untuk memperkuat dan mendukung penulisan ini yaitu menguraikan teori-teori yang diperlukan dalam pembahasan masalah dengan mengumpulkan bahan atau data yang dianggap perlu dan mempunyai kaitan dengan judul yang diambil.

C.    Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan penelitian ini sesuai dengan sumber, yaitu Metode Wawancara. Metode ini untuk mendapatkan data dengan cara melakukan tanya jawab secara langsung dengan pihak-pihak yang bersangkutan guna mendapatkan data dan keterangan yang menunjang analisis dalam penelitian. Di dalam penelitian ini pihak peneliti akan memberikan pertanyaan terbuka yang akan dijawab oleh responden dengan mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan teori yang akan diteliti (Sugiyono, 2010: 137).

D.    Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis data kualitatif deskriptif yaitu penelitian studi kasus. Penelitian studi kasus adalah studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam dan menyertakan berbagai sumber informasi. Tujuan dari studi kasus ini adalah untuk mempelajari secara lebih intensif tentang latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan sesuatu unit sosial, individu, kelompok, lembaga atau masyarakat.
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, seperti hasil wawancara dengan responden. Setelah dipelajari dan ditelaah, langkah selanjutnya adalah melakukan reduksi data yang dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap sehingga tetap berada di dalamnya.















BAB IV

 

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA


Setiap insan manusia yang sudah memasuki gerbang pernikahan, secara otomatis dalam kehidupan rumah tangga sepasang suami isteri memiliki kewajiban dan hak yang sudah dikodratkan. Kewajiban seorang suami adalah memberikan nafkah kepada sang isteri dan kewajiban itulah yang menjadi hak seorang isteri.
Di era modern ini kewajiban dan hak suami isteri tetap pada tempatnya, meskipun kadangkala dapat berubah dikarenakan situasi dan kondisi. Banyak faktor yang dapat memengaruhi keterbalikan hak dan kewajiban tersebut, di antaranya suami yang menganggur karena kehilangan pekerjaan, suami yang sengaja menganggur karena isteri mempunyai pekerjaan lebih baik, atau bahkan suami yang malas bekerja sehingga harus dinafkahi isteri dan dia menggantikan peran isteri dalam kehidupan rumah tangga.
Faktor apapun yang dapat menyebabkan isteri menafkahi suami sepantasnya diberikan jalan keluar yang lebih baik. Sebab kewajiban menafkahi tetap berada di pundak laki-laki. Sesulit apapun kondisi dan perjuangan dalam mencari nafkah, hal tersebut seharusnya tetap tidak menyurutkan semangat. Justru karena mengetahui bahwa mencari nafkah sangat sulit, harusnya seorang laki-laki tidak membebankan kepada isteri. Beban suami isteri sudah mememiliki porsi masing-masing dan tidak lantas gugur karena kondisi atau apapun penyebabnya.
Bahkan jika suami lantas tidak bekerja, menurut para ulama hal tersebut termasuk dosa besar. Rasulullah SAW bersabda. “Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa jika menahan makan (upah dan sebagainya) orang yang menjadi tanggungannya.” (HR Muslim).
Di sisi lain, baik seorang suami bekerja atau tidak, dia tetap menjadi seorang pemimpin bagi istrinya. Artinya, meskipun isteri memiliki penghasilan dan bisa jadi penghasilan isteri lebih besar dibanding suami, dia tidak boleh merendahkan dan menolak untuk selalu taat kepada suami. Selama perintah suami tidak dalam bentuk kemaksiatan.
Terkait harta yang dihasilkan dari penghasilan isteri sepenuhnya milik isteri sendiri. Jika dia memberikan kepada keluarga, mencukupi keluarga berarti termasuk sedekah dan memberi kemuliaan. “Apabila seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia mengharap pahala darinya maka itu bernilai sedekah.” (HR Bukhari)
Dalam sebuah keluarga, adakalanya wanita ikut membantu ekonomi suami yang masih kekurangan. Mencukupi anak-anaknya serta membantu orang tua hal itu juga diperbolehkan. Meski diperbolehkan bekerja, tetap ada beberapa syarat yang wajib dipenuhi di antaranya:
1.      Pekerjaan tersebut tidak melanggar syariat seperti bekerja di bar, melayani nafsu laki-laki, menghidangkan minum-minuman keras, ataupun pekerjaan lainnya yang mengharuskan seorang wanita tidak mengikuti ajaran Islam.
2.      Seorang wanita harus menaati adab-adab keluar rumah seperti menjaga pandangannya dari apapun yang tidak baik bagi wanita yang sudah memiliki suami, menutup aurat serta tidak memperliharkan perhiasan yang berlebih.
3.      Sebagai seorang wanita bersuami, dia tidak diperbolehkan mengabaikan kodratnya yaitu mengurus keluarga. Keluarga tetaplah hal utama dan jangan sampai suami serta anak-anak terlantar karena kesibukan dalam pekerjaan.
Jika isteri menafkahi suami menyalahi kodrat, lain halnya jika suami isteri keduanya bekerja. Dalam kehidupan sekarang ini hal tersebut sudah biasa terlihat, bahkan banyak yang beranggapan bahwa hal tersebut saling melengkapi, saling membantu satu sama lain. isteri membantu meringankan beban suami, begitupun sebaliknya suami harus mengerti isteri dengan berusaha membantu mengurusi urusan rumah tangga. Namun suami isteri yang bekerja tidak lantas semua terlihat baik-baik saja dan mudah. Setiap perjalan hidup tentu memiliki kesulitan masing-masing. Kesulitan suami isteri yang bekerja, di antaranya:
1.      Pekerjaan yang menjadi prioritas. Setiap pekerjaan pasti memiliki kesulitan masing-masing. Baik pekerjaan suami atau isteri semua harus diprioritaskan. Namun yang menjadi kendala di sini, harus lebih memprioritaskan pekerjaan suami atau isteri. Dari segi kodrat, laki-lakinya yang sepantasnya bekerja sehingga pekerjaan suami lebih diprioritaskan. Namun dari segi penghidupan, hal tersebut sangat sulit ditentukan. Apalagi jika pekerjaan isteri lebih membantu finansial keluarga. Menjadi prioritas dapat menjadi penghidupan lebih baik. Banyak hal yang harus dipertimbangkan, maka musyawarah dan saling memahami sangat diperlukan dalam konteks ini.
2.      Mengurus anak. Mengurus anak merupakan pekerjaan ibu. Namun jika suami isteri sama-sama disibukkan dalam pekerjaan, lantas keduanya berpikir siapa yang harus mengurus anak-anak. Jalan satu-satunya adalah membagi pekerjaan. Jika suami tidak sedang sibuk bekerja, maka dia mengurus anak. Namun seorang ibu berbeda. Sesibuk-sibuknya dia dalam pekerjaan, diharuskan setiap saat mengurus anak. Sebab sudah jelas bahwa urusan anak adalah urusan ibu. Jika anak salah bergaul, anak menjadi nakal dan lain sebagainya yang pertama kali disalahkan pasti ibu. Ibunya dianggap tidak bisa mengurus anak dengan baik.
3.      Suami beranggapan isteri mengabaikannya. Terlalu sibuk terjun dalam dunia pekerjaan, terkadang membuat wanita lalai bahwa dia adalah seorang isteri. Meskipun dia tidak lalai menjadi seorang ibu, namun akan bermasalah jika lalai menjadi seorang isteri. Isteri tetap harus mengurusi kebutuhan suami. Bukan karena suami bisa mengurus dirinya sendiri, lantas isteri mengabaikannya. Bagaimapun suami pasti menginginkan mendapat pelayanan yang baik dari isteri, seperti menyiapkan sarapan sebelum suami berangkat kerja, menyiapkan apapun keperluan suami, menemani suami saat senggang dan lain-lain. Seorang wanita yang baik harus mengetahui porsi sebagai seorang pekerja, seorang ibu dan seorang isteri.
Dibalik kesulitan-kesulitan yang ada, terdapat banyak manfaat yang dapat diambil. Manfaat yang dapat diambil dari karir ganda suami isteri, di antaranya sebagai berikut:
1.      Keuntungan finansial
Keuntungan dari dua sumber pendapatan untuk menopang kebutuhan keluarga maupun pribadi telah menarik banyak isteri ke lapangan kerja. Keinginan untuk selalu hidup berkecukupan, terlepas dari himpitan pengeluaran yang membengkak, mengatasi tekanan ekonomi, hal tersebut yang menjadi keinginan pasangan karir ganda.
2.      Kekuatan keluarga
Karir ganda juga memberikan efek peran ganda. Suami dapat beperan sebagai isteri dan isteri dapat berperan sebagai suami. Saling menguatkan adalah suatu yang penting. Terlebih jika anak-anak turut terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan rutin rumah tangga bila kedua orang tua mereka sedang sibuk bekerja. Mereka tidak saja memiliki pandangan dan sikap yang sehat tentang kerja, tetapi juga mempelajari keterampilan-keterampilan yang kelak akan berguna bagi kehidupan mereka.
3.      Perkembangan kebebasan
Hak seorang isteri untuk memilih bekerja di luar rumah serta hak untuk memilih tetap tinggal di rumah kedua-duanya sama-sama merupakan faktor positif kebahagian kehidupan rumah tangga. Hak mencari pekerjaan merupakan kemajuan dalam kebebasan pribadi para isteri. Kekebasan juga berlaku bagi suami. Saat isteri bekerja, suami memiliki kekebasan untuk menjadi bapak rumah tangga yang baik dan bapak rumah tangga yang terampil.
4.      Kebebasan memilih
Masing-masing partner bebas untuk berkembang sebagai seorang pribadi bula kedua-duanya bekerja. Pekerjaan merupakan suatu sumber pertumbuhan dan kepuasan. Ibu yang bekerja sebagai pekerja tetap di luar rumah secara pribadi lebih merasa puas bila dibandingkan dengan para ibu rumah tangga biasa. Kepuasaan yang didapat bida dikarenakan dia dapat membantu menopang kebutuhan finansial keluarga dan juga dapat merasakan dunia kerja tidak hanya berdiam diri mengurus rumah tangga saja.
Meskipun karir ganda terdapat banyak kesulitan dan menyita banyak waktu, namun itu lebih baik dibandingkan seorang wanita yang harus menjadi suami sekaligus isteri akibat perceraian maupun karena suami meninggal dunia. Selain diharuskan menjadi wanita sempurna, dia juga secara ikhlas ataupun terpaksa harus bekerja. Baik untuk mencukupi kebutuhan pribadi juga untuk mencukupi kebutuhan anak jika sudah dikaruniai anak. Terlebih jika harus membantu finansial orang tuanya. Semua beban berada di pundak wanita yang bersangkutan. Tidak adanya sosok suami yang membantu menguatkan dari aspek manapun, seorang wanita hebat dapat menguatkan diri sendiri selama menjalani hidup untuk mencapai ridho-Nya.






















BAB V

 

PENUTUP


A.    Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan serta hasil yang diperoleh seperti yang telah dijabarkan diatas pada bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.      Kerja menurut konsep Islam adalah segala yang dilakukan oleh manusia yang meliputi kerja untuk dunia dan kerja untuk akhirat.
2.      Dalam konsep Islam itu merupakan kewajiban atau fardhu. Dalam kaidah fiqih, orang yang menjalankan kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang meninggalkannya akan terkena sanksi dosa.
3.      Islam menuntut umatnya bekerja secara yang disyariatkan atau dibenarkan menurut syarak untuk menjamin kebaikan bersama dengan menjauhkan diri dari meminta-minta dan sebaliknya hendaklah berdikari. Islam sentiasa memandang tinggi dan menyeru umatnya untuk bekerja dan berusaha mencari rezeki.
4.      Keluarga yang ideal dalam Islam adalah kepala keluarga sebagai penanggung jawab utama urusan luar rumah, dan ibu sebagai penanggung jawab utama urusan dalam rumah. Sungguh, jika aturan ini benar-benar diterapkan, dan saling dipahami masing-masing, niscaya terbangun tatanan masyarakat yang maju dan berimbang dalam bidang moral dan materialnya, tercapai ketentraman lahir batinnya, dan juga teraih kebahagiaan dunia akhiratnya.
5.      Akan tetapi, karena tuntutan dan permasalahan yang terjadi, wanita dapat tetap bekerja atau bahkan wajib bekerja apabila memang menjadi kewajibannya dalam menjalankan perannya dengan catatan tetap dalam aturan yang telah ditetapkan dalam Islam. InsyAllah

B.     Saran

Berdasarkan hasil analisa dan kesimpulan, maka kami sebagai penulis memberikan saran-saran dalam upaya mmberikan masukan kepada para wanita yang bekerja, yaitu:
1.      Sebagai seorang wanita yang kodrat sebenarnya adalah mengurus rumah tangga, sebaiknya mendiskusikan segala keputusan yang paling baik bersama suami dan memikirkan bahwa ada anak yang akan menjadi dampak dari keputusan bersama tersebut.
2.      Wanita yang harus bekerja karena tuntutan kehidupan dan suami yang tidak bisa berperan sesuai kewajibannya adalah tetap kepala rumah tangga terlepas dari siapa yang bekerja mencari nafkah sehingga sebagai seorang wanita harus tetap tunduk kepada suami.




DAFTAR PUSTAKA


Alkindi, Ali-Sumanto. Bekerja Sebagai Ibadah: Konsep Memberantas Kemiskinan, Kebodohan dan Keterbelakangan Umat, Solo: CV. Aneka, 1997.
Chira, Susan. Ketika Ibu harus memilih: Pandangan Baru tentang Peran Ganda Wanita Bekerja, Bandung: Qanita, 2002.
Dardiri, Humaniora.  Filsafat Logika,  Jakarta: Rajawali, 1986.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.  Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balal Pustaka, edisi ke 2.
Mutawalli asy-Sya’rawi, Muhammad. Jiwa dan Semangat Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1992.
Nasution, Harun.  Falsafah Agama. Jakarta: Bulp. Bintang, 1973.
Nawawi, Hadari.  Metode Penelitian Ilmiah, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Rowatt, Wade dan Mary Jo Rowatt. Bila Suami Istri Bekerja, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1980.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PROPOSAL MAGANG DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI

PROPOSAL MAGANG DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI KANTOR CABANG PEMBANTU YOGYAKARTA (WIROBRAJAN) Jalan HOS Cokroaminoto No. 33A, Yogyak...