FALSAFAH
KERJA DALAM ISLAM
(Pandangan Islam tentang Wanita yang
Bekerja)
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata
Kuliah Etika Profesi
Dosen pengampu :Rozikan, S.E.I, M.S.I.
Disusun oleh :
Ari
Anitasari (20130730252)
Vera Septinawati (20130720254)
Arini Leviani S.W (20130730259)
Fakultas
Agama Islam
Program
Studi Ekonomi Perbankan Islam
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
2016
KATA PENGANTAR
Puji
Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga sampai saat ini kita masih bisa beraktivitas dan
menyelesaikan tugas penelitian ini.
Pada kesempatan
kali ini, kami akan membahas tentang bagaimana falsafah
dalam memahami konsep kerja dalam perspektif Islam yang meliputi: pengertian
dan kerja menurut Islam, konsep-konsep kerja dalam Islam,
falsafah kerja dalam Islam serta bagaimana Islam memandang seorang wanita yang
bekerja.
Makalah
ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Profesi dengan semaksimal mungkin sesuai
kemampuan yang kami miliki dan bantuan dari beberapa sumber. Terima kasih kami
ucapkan kepada Bapak Rozikan, S.E.I, M.S.I., selaku dosen mata kuliah
Etika Profesi yang sudah memberikan tugas ini,
sehingga kami dapat berlatih untuk melakukan
penelitian secara langsung. Di samping dapat menuangkan
gagasan dalam bentuk tulisan, tetapi kami juga dapat berlatih menjadi insan
peneliti di masa depan.
Semoga penelitian yang kami lakukan ini
dapat bermanfaat untuk pembaca dan diperkenankan bagi pembaca untuk memberikan
kritik dan saran. Karena kritik dan saran yang membangun, akan menjadikan
kesempurnaan penelitian ini.
Yogyakarta, 4 Maret 2016
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam diri manusia terdapat apa yang
disebut dengan nafs sebagai potensi yang membawa kepada kehidupan. Dalam
pandangan Al-Qur’an , nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk
berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan.
Setiap manusia memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Salah satunya melalui bekerja manusia akan berusaha memperoleh harta
kekayaan. Karena tanpa berusaha manusia tidak akan mendapatkan apa-apa.
Islam
memandang bahwa bekerja merupakan satu kewajiban bagi setiap insan. Karena
dengan bekerja, seseorang akan memperoleh penghasilan yang dapat memenuhi
kebutuhan hidup dirinya dan juga keluarganya serta dapat memberikan maslahat
bagi masyarakat di sekitarnya. Oleh karenanya Islam bahkan mengkategorikan
bekerja sebagai ibadah, yang diperintahkan oleh Allah SWT. Selain sebagai satu kewajiban, Islam juga
memberikan penghargaan yang sangat mulia bagi para pemeluknya yang dengan
ikhlas bekerja mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Sebenarnya kekayaan dengan segala
bentuknya, baik material maupun spiritual merupakan keutamaan dan mempunyai
nilai lebih dibandingkan dengan kemiskinan meskipun demikian, kekayaan bukanlah
segala-galanya bukan tujuan akhir dari kehidupan muslim. Kekayaan hanyalah alat
untuk memakmurkan bumi. Oleh karena itu, Al-Qur’an mencela orang-orang yang
hanya menumpuk harta kekayaan tetapi tidak peduli dengan nasib orang lain
(Al-Qur’an 104 : 1-9).
Dalam syari’at Islam, kekayaan Islam
dipandang amat penting untuk dapat menjalankan ketentuan-ketentuannya, dan
paling tidak ada dua rukun Islam yang mensyaratkan kemampuan ekonomi yang
cukup, yaitu untuk melaksanakan kewajiban zakat dan haji (Ali-Sumanto Alkindi,
1997).
Dalam
mewujudkan nilai-nilai ibadah dalam bekerja yang dilakukan oleh setiap insan,
diperlukan adab dan etika yang membingkainya, sehingga nilai-nilai luhur
tersebut tidak hilang sirna sia-sia.
Dewasa
ini muncul berbagai pandangan tentang bagaimana seorang wanita yang bekerja
dalam perspektif Islam. Entah suami dan istri yang sama-sama bekerja, seorang
ibu tunggal yang dituntut membiayai kehidupan anak-anaknya atau bahkan peran
suami dan istri yang tertukar dalam hal bekerja, istri bekerja dan suami
mengurus kehidupan rumah tangga.
Kami ingin menguraikan masalah
mengenai wanita yang bekerja tetapi kodratnya adalah mengurus rumah tangga,
bagaimana Islam memandang dan syarat apa saja yang harus dipenuhi seorang
wanita agar dapat bekerja sesuai tuntutan kehidupan masing-masing.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut diatas, maka
kami membatasi penelitian ini pada pokok permasalahan sebagai berikut:
1.
Apa definisi falsafah dan kerja menurut
Islam?
2.
Apa saja konsep-konsep kerja menurut
Islam?
3.
Bagaimanakah falsafah kerja menurut
perspektif Islam?
4.
Bagaimanakah Islam memandang wanita
yang bekerja?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian yang kami lakukan dalam hal
ini mengenai Falsafah Kerja dalam perspektif Islam dan bagaimana Islam
memandang wanita yang bekerja dalam berbagai konteks kehidupan, adapun tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui dan memahami definisi
falsafah dan kerja menurut Islam.
2.
Mengetahui dan memahami konsep-konsep
kerja menurut Islam.
3.
Mengetahui dan memahami falsafah kerja
menurut perspektif Islam.
4.
Mengetahui dan memahami bagaimanakah
Islam memandang wanita yang bekerja.
D. Manfaat Penelitian
Selain memiliki tujuan, makalah ini dibuat agar kita memperoleh manfaat diantaranya:
1.
Manfaat
Teoritik
Hasil penelitian ini akan berguna bagi
pengembangan teori- teori yang berkaitan dengan pandangan Islam tentang
falsafah kerja.
2.
Manfaat
Praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
bagi para wanita agar lebih memahami peran yang
sebenarnya sebagai seorang wanita dan bagaimana solusi untuk para wanita yang
bekerja dalam menjalankan tuntutan dalam kehidupan sehari-hari yang tidak lepas
dari aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam Islam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang berkaitan dengan Falsafah,
Pandangan, Gagasan atau Konsep bekerja dalam perspektif Islam baru
sedikit dilakukan peneliti. Diantaranya oleh Hj.
Abdullah
Atikullah (2013)
dalam
karya ilmiahnya yang berjudul “Konsep
Kerja sebagai Ibadat Menurut Perspektif Islam” bertujuan
menjelaskan
hubungan antara konsep Ibadat, Muamalah dan Kerja dalam perspektif Islam.
Adapun hasilnya adalah kefahaman yang sahih dan syumul terhadap
konsep dan tasawwuf ibadat, adat dan kerja menurut Islam ini bisa menjadi
penghalang yang dalam kepada sikap yang salah dan negatif terhadap
tanggungjawab melaksanakan kerja sehingga mengakibatkan penghasilan mutu kerja
yang rendah dan tidak berkualitas. Pada saat yang sama bisa menjadi sikap yang
positif dan mampu membuahkan hasil kerja yang tinggi produktivitas dan
kualitasnya.
Sementara itu, penelitian Dhaniar Fitria Widyaningtyas (2015)
dalam
skripsinya yang berjudul “PENGARUH
ETIKA KERJA ISLAM, KOMITMEN PROFESI, KOMITMEN ORGANISASI, SISTEM PENGENDALIAN
MANAJEMEN DAN SISTEM PENGENDALIAN INTERN TERHADAP KINERJA KARYAWAN BAGIAN
AKUNTANSI” bertujuan
untuk menemukan bukti empiris bahwa etika kerja Islam berpengaruh
positif signifikan terhadap kinerja karyawan.
Adapun hasilnya adalah etika kerja Islam, komitmen
profesi, komitmen organisasi, sistem pengendalian manajemen, dan sistem
pengendalian intern dapat menjelaskan
variasi variabel kinerja karyawan.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena
penelitian ini fokus pada bagaimana falsafah atau gagasan yang lebih mendalam
tentang bekerja dalam perspektif Islam, bagaimana konsep dan makna yang
sebenarnya tentang bekerja dalam lingkup pemahaman Islam terutama untuk kaum
wanita.
B. Kerangka Teori
1. Pengertian Falsafah dan Kerja Menurut Islam
a)
Falsafah
Menurut bahasa, kata filsafat berasal dari bahasa yunani
philosophia, dari kata philos atau philein atau philia yang berarti cinta, dan
dari kata Sophia yang berarti kebijaksanaan atau kearifan atau pengetahuan.
Sehingga orang yang mencintai kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan disebut
philosophos atau filsuf (Humaniora Dardiri ,
1986).
Kemudian orang Arab memindahkan kata yunani philosophia ke dalam Bahasa Arab menjadi falsafah. Hal ini sesuai dengan tabiat
susunan kata-kata arab dengan pola fa'lala fa’lalah dan fi'lala. Karena itu kata benda dari kata kerja falsafa sebarasnya falsafah dan
filsafat (Harun Nasution,
1973). Dalam kamus besar
Indonesia, filsafat adalah pengetahuan
dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala
yang ada, sebab, asal dan hukumnya, teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistemology.
b)
Kerja
Bekerja bagi seorang
muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh aset,
pikir dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya
sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya
sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khairu ummah) atau dengan
kata lain dapat juga kita katakan bahwa hanya dengan bekerja manusia itu
memanusiakan dirinya.
Kerja adalah suatu
cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik kebutuhan fisik, psikologis, maupun
sosial. Dengan pekerjaan manusia akan memperoleh kepuasan-kepuasan tertentu
yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik dan rasa aman, serta kebutuhan sosial
dan kebutuhan ego. Selain itu kepuasan seseorang terhadap pekerjaan juga
diperoleh melalui berbagai bentuk kepuasan yang dapat dinikmati diluar kerja,
misalnya kepuasan sewaktu bekerja, menikmati liburan, dan yang lebih mendasar
lagi dapat menghidupi diri dan keluarga.
Selain itu, kerja
adalah aktivitas yang mendapat dukungan sosial dan individu itu sendiri.
Dukungan sosial itu dapat berupa penghargaan masyarakat terhadap aktivitas
kerja yang ditekuni. Sedangkan dukungan individu dapat berupa
kebutuhan-kebutuhan yang melatarbelakangi aktivitas kerja. Seperti kebutuhan
untuk aktif, untuk berproduksi, berkreasi, untuk memperoleh pengakuan dari orang
lain, memperoleh prestise serta kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Islam menjadikan kerja sebagai tuntutan fardu atas semua
umatnya selaras dengan dasar persamaan yang diisytiharkan oleh Islam bagi menghapuskan
sistem yang membeda-bedakan manusia mengikut derajat atau kasta dan warna
kulit. Firman Allah yang bermaksud:
"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu daripada lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
berpuak-puak supava kamu berkenal-kenalan. Sesungguhnya orang yang termulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang taqwa."
(Al-Hujurat: 13)
Dengan menggunakan segala unsur-unsur perbedaan derajat atau
warna kulit itu maka jadilah kerja menurut Islam suatu tuntutan kewajiban yang
menyeluruh atas setiap orang yang mampu bekerja untuk mencapai kebahagiaan
individu dan juga masyarakat. Jadi tidaklah kerja itu hanya khusus untuk
golongan hamba abdi seperti sebelumnya.
2. Konsep-konsep kerja menurut Islam
Dalam Islam, pekerjaan mempunyai taraf kemuliaan yang tinggi yang tidak ada tolok bandingnya dengan agama dan juga kebudayaan lain. Islam memandang tinggi setiap pekerjaan yang diakui sah dari segi hukum sebagaimana penghormatan yang diberikan oleh Rasulullah terhadap pengikutnya yang pernah mengajukan soalan kepada baginda yang bermaksud :
"Hai Rasulullah, apakah pendapat tuan mengenai kerja saya? Baginda bertanya: Apakah pekerjaan kamu? Jawab orang itu: Pembuat pukat. Lalu baginda bersabda: Pekerjaan kamu adalah pekerjaan bapa kita nabi Adam as. Ia adalah orang yang pertama menjalin pukat yang diajar oleh Jibril."
Allah swt berfirman yang bermaksud :
"Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasulnya serta orang orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu lerjakan". (Surah at-Taubah ayat 105).
Menurut penjelasan Sunnah Rasulullah saw bahwa kesemua para Nabi as biarpun tinggi darjat mereka, mereka telah menjadikan pekerjaan sebagai landasan hidup masing-masing. Adam telah mengambil bagian dalam pertanian, Nuh dalam perniagaan, Daud dalam pertukangan besi, Musa dalam penulisan, Zakaria sebagai seorang tukang kayu dan begitulah juga para nabi selain mereka.
a) Konsep Kerja Sebagai Ibadah
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ
الرِّزْقَ
“Maka carilah rizki
di sisi Allah..” (QS. Al
‘Ankabut [29]: 17)
Bekerja dalam pandangan Islam begitu tinggi derajat-Nya. Hingga Allah dalam Al-Qur`an menggandengkannya dengan jihad memerangi orang-orang kafir. Pekerjaan hendaklah yang dihalalkan syara’ dan diiringi dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah, melakukan pekerjaan dengan bersungguh-sungguh, tekun dan sebaik-baik mungkin, menjaga batas-batas Allah swt dan menghormati dasar-dasar akhlak dengan tidak melakukan kezaliman, pengkhianatan, penipuan, melampaui hak orang lain termasuk penyalahgunaan kemudahan, peluang, harta dan kuasa serta pekerjaan yang dilakukan itu tidak menghalangi pekerjanya dalam menunaikan kewajiban kepada Allah swt.
b) Kerja Sebagai Sumber Nilai
Kerja sebagai sumber
nilai manusia bererti manusia itu sendiri menentukan nilai atau harga ke atas
sesuatu perkara itu. Sesuatu perkara itu pada zatnya tidak ada apa-apa nilai
kecuali kerana nisbahnya kepada apa yang dikerjakan oleh manusia bagi
menghasil, membuat, mengedar atau menggunakannya. Kerja juga merupakan sumber
yang objektif bagi penilai prestasi manusia berasaskan segi kelayakan.
c)
Ker ja Sebagai Sumber Pencarian
Islam
mewajibkan setiap umatnya bekerja untuk mencari rezeki dan pendapatan bagi
menyara hidupnya. Islam memberi berbagai-bagai kemudahan hidup dan jalan-jalan
mendapatkan rezeki di bumi Allah yang penuh dengan segala nikmat ini.
d)
Kerja
Sebagai Asas Kemajuan Umat
Islam
mewajibkan kerja untuk tujuan mendapatkan mata pencarian hidup dan secara
langsung mendorongkan kepada kemajuan sosio-ekonomi. Islam mengambil perhatian
yang bersungguh-sungguh terhadap kemajuan umat kerana itu ia sangat menekankan
kemajuan di peringkat masyarakat dengan menggalakkan berbagai kegiatan ekonomi
sama ada di sekitar pertanian, perusahaan dan perniagaan.
3. Falsafah kerja menurut perspektif Islam
Rezeki adalah urusan Allah, manusia hanya wajib berusaha sekuat tenaga dan jangan sampai kita merasa angkuh setelah mendapatkan rezeki yang banyak, karena meskipun telah berusaha semaksimal mungkin, tanpa campur tangan Allah tidak mungkin rezeki itu akan menghampiri kita.
Orang yang melakukan kerja apa saja, lazimnya cenderung melihat pada imbalan kerja (upah) yang mereka terima, tanpa memikirkan apakah imbalan itu baik dan halal. Pada umumnya orang hanya berorientasi pada sabda Rasulullah Saw: “Berikanlah upah kepada pekerja”, tetapi melupakan kelanjutan yang berbunyi “Sebelum kering keringatnya”, ini berarti bahwa yang dimaksud pekerjaan yang mendapatkan upah itu ialah pekerjaan yang memeras otak atau tenaga. Sedangkan pekerjaan dalam bentuk apapun yang tidak menimbulkan suatu tanggung jawab atau tidak mencucurkan keringat, atau tidak perlu harus berusaha payah, maka tidak halal anda menerima upah dan imbalan (Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi , 1992).
a)
Kewajiban mencari rizki yang halal
طَلَبُ اْلحَلاَ لِ فَرِيْضَةً بَعْدَ اْلفَرِيْضَةِ
“Bekerja
mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban beribadah”. (HR.
Thabrani dan Baihaqi)
b) Ancaman
terhadap orang yang tidak mau bekerja mencari yang halal
أَشَدُّ االنَّاسِ حَسْرَةٍ يَوْمَ اْلقِيَا مَةِ رَجُلُ
كَسَبَ مَالاً مِنْ غَيْرُ حِلَّةٍ فَذَ خَلَ بِهِ النَّارَ
“Orang yang paling
rugi di hari kiamat kelak adalah orang yang mencari harta secara tidak halal,
sehingga menyebabkan ia masuk neraka”.
Dalam pandangan Islam, seorang yang bersusah-payah mencari rezeki yang halal, yang hasilnya digunakan sepenuhnya di jalan Allah disamakan derajatnya dengan para mujahid yang berperang di jalan Allah. Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang berkarya dan terampil. Barangsiapa yang bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wa Jalla." (HR Ahmad)
Kelelahan seorang muslim dalam mencari rezeki dinilai oleh Allah sebagai pahala. Bahkan bisa menjadi penebus dosa. Orang yang pulang ke rumah dalam keadaan kepayahan karena seharian bekerja akan diampuni oleh Allah swt. Dalam kaitan ini Rasulullah menegaskan dalam sebuah sabdanya: "Barangsiapa yang pada malam harinya merasa kelelahan karena bekerja pada siang harinya, maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah swt." (HR Ahmad)
Kenapa orang yang bekerja itu mendapatkan pahala di sisi Allah swt? Jawabannya sederhana, karena bekerja dalam konsep Islam itu merupakan kewajiban atau fardhu. Dalam kaidah fiqih, orang yang menjalankan kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang meninggalkannya akan terkena sanksi dosa. Tentang kewajiban bekerja ini Rasulullah bersabda, "Mencari rizqi yang halal itu wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa dan sebagainya)." (HR ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)
Bekerja merupakan kewajiban umat Islam, maka jangan heran jika Umar bin Khaththab pernah menghalau orang yang berada di masjid agar keluar untuk mencari nafkah. Umar tidak suka melihat orang yang pada siang hari tetap asyik duduk berdzikir di masjid, sementara sinar matahari sudah berpancar.
Selain sebagai satu kewajiban, Islam juga memberikan penghargaan yang sangat mulia bagi para pemeluknya yang dengan ikhlas bekerja mengharapkan keridhaan Allah SWT. Penghargaan tersebut adalah sebagaimana dalam riwayat-riwayat hadits berikut :
a)
Akan diampuni dosa-dosanya oleh Allah
SWT
مَنْ أَمْسَى كَالاًّ مِنْ عَمَلِ
يَدِهِ أَمْسَى مَغْفُوْرًا لَهُ رواه الطبراني
Dari Ibnu Abbas ra
berkata, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang merasakan
keletihan pada sore hari, karena pekerjaan yang dilakukan oleh kedua tangannya,
maka ia dapatkan dosanya diampuni oleh Allah SWT pada sore hari tersebut."
(HR. Imam Tabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Ausath VII/ 289)
b)
Dihapuskan dosa-dosa tertentu yang
tidak dapat dihapuskan dengan shalat, puasa dan shadaqah.
إِنَّ مِنَ الذُّنُوْبِ لَذُنُوْبًا،
لاَ تُكَفِّرُهَا الصَّلاةُ وَلاَ الصِّياَمُ وَلاَ الْحَجُ وَلاَ الْعُمْرَةُ،
قَالَ وَمَا تُكَفِّرُهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ الْهُمُوْمُ فِيْ طَلَبِ
الْمَعِيْشَةِ رواه الطبراني
Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya diantara dosa-dosa itu terdapat suatu
dosa yang tidak dapat diampuni dengan shalat, puasa, haji dan juga umrah."
Sahabat bertanya, "Apa yang bisa menghapuskannya wahai Rasulullah?".
Beliau menjawab, "Semangat dalam mencari rizki". (HR. Thabrani, dalam
Al-Mu'jam Al-Ausath I/38)
c)
Mendapatkan cinta Allah SWT
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ
الْمُحْتَرِفَ رواه الطبراني
Dari Ibnu Umar ra bersabda,
'Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang mu'min yang bekerja dengan
giat". (HR. Imam Tabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Aushth VII/380) :
d) Terhindar
dari azab neraka
Dalam sebuah riwayat
dikemukakan,
"Pada
suatu saat, Saad bin Muadz Al-Anshari berkisah bahwa ketika Nabi Muhammad SAW
baru kembali dari Perang Tabuk, beliau melihat tangan Sa'ad yang melepuh,
kulitnya gosong kehitam-hitaman karena diterpa sengatan matahari. Rasulullah
bertanya, “Kenapa tanganmu?” Saad menjawab, “Karena aku mengolah tanah dengan
cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku."
Kemudian Rasulullah SAW mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah
tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka”" (HR. Tabrani)
e) Bekerja
mencari nafkah digolongkan dalam fi sabililah
Dari Ka'ab bin Umrah berkata,
"Ada seseorang yang berjalan
melalui tempat Rasulullah SAW. Orang itu sedang bekerja dengan sangat giat dan
tangkas. Para sahabat lalu berkata, “Ya Rasulullah, andaikata bekerja seperti dia
dapat digolongkan fi sabilillah, alangkah baiknya.” Lalu Rasulullah bersabda,
'Jika ia bekerja untuk mengidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi
sabilillah; Jika ia bekerja untuk membela kedua orang tuanya yang sudah lanjut
usia, itu adalah fi sabilillah; dan jika ia bekerja untuk kepentingan dirinya
sendiri agar tidak meminta-minta, maka itu adalah fi sabilillah...”(HR.
Thabrani)
Riwayat-riwayat di atas sudah lebih
dari cukup bagi seorang mu'min untuk menjadi motivator dalam bekerja, terlebih-lebih
bekerja di Lembaga Keuangan Syariah, yang memiliki visi untuk merealisasikan
syariat Allah di muka bumi ini. Oleh karenanya seorang muslim yang baik adalah
yang bekerja dengan penuh kesungguhan dan ketekunan. Karena selain mendapatkan
penghasilan untuk kehidupan dunianya, ia juga mendapatkan beribu kebaikan untuk
kehidupannya di akhirat kelak.
4. Pandangan Islam tentang wanita yang bekerja
Islam menjadikan lelaki sebagai kepala keluarga, di
pundaknya lah tanggung jawab utama lahir batin keluarga. Islam juga sangat
proporsional dalam membagi tugas rumah tangga, kepala keluarga diberikan tugas
utama untuk menyelesaikan segala urusan di luar rumah, sedang sang ibu memiliki
tugas utama yang mulia, yakni mengurusi segala urusan dalam rumah.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ
اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Para
lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita) dan
karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka” (QS.
An-Nisa: 34).
Begitu
pula firman-Nya:
وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ
“Hendaklah
kalian (para istri) tetap di rumah kalian” (QS. Al-Ahzab:33).
Memang
bekerja adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga, tapi Islam
juga tidak melarang wanita untuk bekerja. Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya
dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at.
Syaikh
Abdul Aziz Bin Baz mengatakan: “Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan
bisnis, karena Alloh jalla wa’ala mensyariatkan dan memerintahkan hambanya
untuk bekerja dalam firman-Nya:
وَقُلِ
اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah
(wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh, Rasul-Nya dan para mukminin
akan melihat pekerjaanmu“ (QS. At-Taubah:105)
Perintah ini mencakup pria dan wanita.
Allah juga mensyariatkan bisnis kepada semua hamba-Nya, karenanya seluruh
manusia diperintah untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja, baik itu pria
maupun wanita, Allah berfirman (yang artinya):
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian
dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian berdagang atas
dasar saling rela diantara kalian” (QS. An-Nisa:29),
Akan tetapi, wajib diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan dan
bisnisnya, hendaklah pelaksanaannya bebas dari hal-hal yang menyebabkan masalah
dan kemungkaran. Dalam pekerjaan wanita, harusnya tidak ada ikhtilat (campur)
dengan pria dan tidak menimbulkan fitnah. Begitu pula dalam bisnisnya harusnya
dalam keadaan tidak mendatangkan fitnah, selalu berusaha memakai hijab syar’i,
tertutup, dan menjauh dari sumber-sumber fitnah.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan ini akan dilakukan dengan pendekatan
Kualitatif. Hal ini karena penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data
dalam bentuk berupa pendapat, tanggapan, informasi, konsep-konsep dan
keterangan yang berbentuk uraian dalam mengungkapkan masalah. Pendekatan
Kualitatif yaitu rangkaian kegiatn atau proses penyaringan data atau informasi
yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi, aspek atau
bidang tertentu dalam kehidupan objeknya (Hadari Nawawi , 1994).
B. Jenis Data
Sumber data yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer adalah data
yang diambil dari hasil wawancara langsung ke responden yang bersangkutan untuk
memperkuat dan mendukung penulisan ini yaitu menguraikan teori-teori yang diperlukan
dalam pembahasan masalah dengan mengumpulkan bahan atau data yang dianggap
perlu dan mempunyai kaitan dengan judul yang diambil.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan peneliti
untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan penelitian ini sesuai dengan
sumber, yaitu Metode Wawancara. Metode ini untuk mendapatkan data dengan cara
melakukan tanya jawab secara langsung dengan pihak-pihak yang bersangkutan guna
mendapatkan data dan keterangan yang menunjang analisis dalam penelitian. Di dalam
penelitian ini pihak peneliti akan memberikan pertanyaan terbuka yang akan
dijawab oleh responden dengan mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan
teori yang akan diteliti (Sugiyono, 2010: 137).
D. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan metode analisis data kualitatif deskriptif yaitu
penelitian studi kasus. Penelitian studi kasus adalah studi yang mengeksplorasi
suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang
mendalam dan menyertakan berbagai sumber informasi. Tujuan dari studi kasus ini
adalah untuk mempelajari secara lebih intensif tentang latar belakang keadaan
sekarang dan interaksi lingkungan sesuatu unit sosial, individu, kelompok,
lembaga atau masyarakat.
Proses analisis data dimulai dengan
menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, seperti hasil
wawancara dengan responden. Setelah dipelajari dan ditelaah, langkah
selanjutnya adalah melakukan reduksi data yang dilakukan dengan jalan melakukan
abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan
pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap sehingga tetap berada di
dalamnya.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
Setiap
insan manusia yang sudah memasuki gerbang pernikahan, secara otomatis dalam
kehidupan rumah tangga sepasang suami isteri memiliki kewajiban dan hak yang
sudah dikodratkan. Kewajiban seorang suami adalah memberikan nafkah kepada sang
isteri dan kewajiban itulah yang menjadi hak seorang isteri.
Di
era modern ini kewajiban dan hak suami isteri tetap pada tempatnya, meskipun
kadangkala dapat berubah dikarenakan situasi dan kondisi. Banyak faktor yang
dapat memengaruhi keterbalikan hak dan kewajiban tersebut, di antaranya suami
yang menganggur karena kehilangan pekerjaan, suami yang sengaja menganggur
karena isteri mempunyai pekerjaan lebih baik, atau bahkan suami yang malas
bekerja sehingga harus dinafkahi isteri dan dia menggantikan peran isteri dalam
kehidupan rumah tangga.
Faktor
apapun yang dapat menyebabkan isteri menafkahi suami sepantasnya diberikan
jalan keluar yang lebih baik. Sebab kewajiban menafkahi tetap berada di pundak
laki-laki. Sesulit apapun kondisi dan perjuangan dalam mencari nafkah, hal
tersebut seharusnya tetap tidak menyurutkan semangat. Justru karena mengetahui
bahwa mencari nafkah sangat sulit, harusnya seorang laki-laki tidak membebankan
kepada isteri. Beban suami isteri sudah mememiliki porsi masing-masing dan
tidak lantas gugur karena kondisi atau apapun penyebabnya.
Bahkan
jika suami lantas tidak bekerja, menurut para ulama hal tersebut termasuk dosa
besar. Rasulullah SAW bersabda. “Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa jika
menahan makan (upah dan sebagainya) orang yang menjadi tanggungannya.” (HR
Muslim).
Di sisi lain, baik seorang
suami bekerja atau tidak, dia tetap menjadi seorang pemimpin bagi istrinya.
Artinya, meskipun isteri memiliki penghasilan dan bisa jadi penghasilan isteri
lebih besar dibanding suami, dia tidak boleh merendahkan dan menolak untuk
selalu taat kepada suami. Selama perintah suami tidak dalam bentuk kemaksiatan.
Terkait harta yang
dihasilkan dari penghasilan isteri sepenuhnya milik isteri sendiri. Jika dia
memberikan kepada keluarga, mencukupi keluarga berarti termasuk sedekah dan
memberi kemuliaan. “Apabila seorang
muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia mengharap pahala darinya
maka itu bernilai sedekah.” (HR Bukhari)
Dalam sebuah keluarga,
adakalanya wanita ikut membantu ekonomi suami yang masih kekurangan. Mencukupi
anak-anaknya serta membantu orang tua hal itu juga diperbolehkan. Meski
diperbolehkan bekerja, tetap ada beberapa syarat yang wajib dipenuhi di
antaranya:
1.
Pekerjaan tersebut tidak melanggar syariat seperti bekerja di bar,
melayani nafsu laki-laki, menghidangkan minum-minuman keras, ataupun pekerjaan
lainnya yang mengharuskan seorang wanita tidak mengikuti ajaran Islam.
2.
Seorang wanita harus menaati adab-adab keluar rumah seperti
menjaga pandangannya dari apapun yang tidak baik bagi wanita yang sudah
memiliki suami, menutup aurat serta tidak memperliharkan perhiasan yang
berlebih.
3.
Sebagai seorang wanita bersuami, dia tidak diperbolehkan
mengabaikan kodratnya yaitu mengurus keluarga. Keluarga tetaplah hal utama dan
jangan sampai suami serta anak-anak terlantar karena kesibukan dalam pekerjaan.
Jika
isteri menafkahi suami menyalahi kodrat, lain halnya jika suami isteri keduanya
bekerja. Dalam kehidupan sekarang ini hal tersebut sudah biasa terlihat, bahkan
banyak yang beranggapan bahwa hal tersebut saling melengkapi, saling membantu
satu sama lain. isteri membantu meringankan beban suami, begitupun sebaliknya
suami harus mengerti isteri dengan berusaha membantu mengurusi urusan rumah
tangga. Namun suami isteri yang bekerja tidak lantas semua terlihat baik-baik
saja dan mudah. Setiap perjalan hidup tentu memiliki kesulitan masing-masing.
Kesulitan suami isteri yang bekerja, di antaranya:
1.
Pekerjaan yang menjadi prioritas.
Setiap pekerjaan pasti memiliki kesulitan masing-masing. Baik pekerjaan suami
atau isteri semua harus diprioritaskan. Namun yang menjadi kendala di sini,
harus lebih memprioritaskan pekerjaan suami atau isteri. Dari segi kodrat,
laki-lakinya yang sepantasnya bekerja sehingga pekerjaan suami lebih
diprioritaskan. Namun dari segi penghidupan, hal tersebut sangat sulit
ditentukan. Apalagi jika pekerjaan isteri lebih membantu finansial keluarga.
Menjadi prioritas dapat menjadi penghidupan lebih baik. Banyak hal yang harus
dipertimbangkan, maka musyawarah dan saling memahami sangat diperlukan dalam
konteks ini.
2.
Mengurus anak. Mengurus anak merupakan
pekerjaan ibu. Namun jika suami isteri sama-sama disibukkan dalam pekerjaan,
lantas keduanya berpikir siapa yang harus mengurus anak-anak. Jalan
satu-satunya adalah membagi pekerjaan. Jika suami tidak sedang sibuk bekerja,
maka dia mengurus anak. Namun seorang ibu berbeda. Sesibuk-sibuknya dia dalam
pekerjaan, diharuskan setiap saat mengurus anak. Sebab sudah jelas bahwa urusan
anak adalah urusan ibu. Jika anak salah bergaul, anak menjadi nakal dan lain
sebagainya yang pertama kali disalahkan pasti ibu. Ibunya dianggap tidak bisa
mengurus anak dengan baik.
3.
Suami beranggapan isteri
mengabaikannya. Terlalu sibuk terjun dalam dunia pekerjaan, terkadang membuat
wanita lalai bahwa dia adalah seorang isteri. Meskipun dia tidak lalai menjadi
seorang ibu, namun akan bermasalah jika lalai menjadi seorang isteri. Isteri
tetap harus mengurusi kebutuhan suami. Bukan karena suami bisa mengurus dirinya
sendiri, lantas isteri mengabaikannya. Bagaimapun suami pasti menginginkan
mendapat pelayanan yang baik dari isteri, seperti menyiapkan sarapan sebelum
suami berangkat kerja, menyiapkan apapun keperluan suami, menemani suami saat
senggang dan lain-lain. Seorang wanita yang baik harus mengetahui porsi sebagai
seorang pekerja, seorang ibu dan seorang isteri.
Dibalik
kesulitan-kesulitan yang ada, terdapat banyak manfaat yang dapat diambil.
Manfaat yang dapat diambil dari karir ganda suami isteri, di antaranya sebagai
berikut:
1.
Keuntungan finansial
Keuntungan dari dua sumber pendapatan untuk menopang
kebutuhan keluarga maupun pribadi telah menarik banyak isteri ke lapangan
kerja. Keinginan untuk selalu hidup berkecukupan, terlepas dari himpitan
pengeluaran yang membengkak, mengatasi tekanan ekonomi, hal tersebut yang
menjadi keinginan pasangan karir ganda.
2.
Kekuatan keluarga
Karir ganda juga memberikan efek peran ganda. Suami dapat
beperan sebagai isteri dan isteri dapat berperan sebagai suami. Saling
menguatkan adalah suatu yang penting. Terlebih jika anak-anak turut terlibat
dalam pelaksanaan pekerjaan rutin rumah tangga bila kedua orang tua mereka
sedang sibuk bekerja. Mereka tidak saja memiliki pandangan dan sikap yang sehat
tentang kerja, tetapi juga mempelajari keterampilan-keterampilan yang kelak
akan berguna bagi kehidupan mereka.
3.
Perkembangan kebebasan
Hak seorang isteri untuk memilih bekerja di luar rumah serta
hak untuk memilih tetap tinggal di rumah kedua-duanya sama-sama merupakan
faktor positif kebahagian kehidupan rumah tangga. Hak mencari pekerjaan
merupakan kemajuan dalam kebebasan pribadi para isteri. Kekebasan juga berlaku
bagi suami. Saat isteri bekerja, suami memiliki kekebasan untuk menjadi bapak
rumah tangga yang baik dan bapak rumah tangga yang terampil.
4.
Kebebasan memilih
Masing-masing partner
bebas untuk berkembang sebagai seorang pribadi bula kedua-duanya bekerja.
Pekerjaan merupakan suatu sumber pertumbuhan dan kepuasan. Ibu yang bekerja
sebagai pekerja tetap di luar rumah secara pribadi lebih merasa puas bila
dibandingkan dengan para ibu rumah tangga biasa. Kepuasaan yang didapat bida
dikarenakan dia dapat membantu menopang kebutuhan finansial keluarga dan juga
dapat merasakan dunia kerja tidak hanya berdiam diri mengurus rumah tangga
saja.
Meskipun
karir ganda terdapat banyak kesulitan dan menyita banyak waktu, namun itu lebih
baik dibandingkan seorang wanita yang harus menjadi suami sekaligus isteri
akibat perceraian maupun karena suami meninggal dunia. Selain diharuskan
menjadi wanita sempurna, dia juga secara ikhlas ataupun terpaksa harus bekerja.
Baik untuk mencukupi kebutuhan pribadi juga untuk mencukupi kebutuhan anak jika
sudah dikaruniai anak. Terlebih jika harus membantu finansial orang tuanya.
Semua beban berada di pundak wanita yang bersangkutan. Tidak adanya sosok suami
yang membantu menguatkan dari aspek manapun, seorang wanita hebat dapat
menguatkan diri sendiri selama menjalani hidup untuk mencapai ridho-Nya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan serta hasil yang diperoleh seperti yang telah dijabarkan diatas pada
bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Kerja
menurut konsep Islam adalah segala yang dilakukan oleh manusia yang meliputi
kerja untuk dunia dan kerja untuk akhirat.
2. Dalam konsep Islam itu merupakan
kewajiban atau fardhu. Dalam kaidah fiqih, orang yang menjalankan kewajiban
akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang meninggalkannya akan terkena
sanksi dosa.
3. Islam
menuntut umatnya bekerja secara yang disyariatkan atau dibenarkan menurut
syarak untuk menjamin kebaikan bersama dengan menjauhkan diri dari
meminta-minta dan sebaliknya hendaklah berdikari. Islam sentiasa memandang
tinggi dan menyeru umatnya untuk bekerja dan berusaha mencari rezeki.
4. Keluarga yang ideal dalam Islam adalah kepala
keluarga sebagai penanggung jawab utama urusan luar rumah, dan ibu sebagai
penanggung jawab utama urusan dalam rumah. Sungguh, jika aturan ini benar-benar
diterapkan, dan saling dipahami masing-masing, niscaya terbangun tatanan
masyarakat yang maju dan berimbang dalam bidang moral dan materialnya, tercapai
ketentraman lahir batinnya, dan juga teraih kebahagiaan dunia akhiratnya.
5. Akan tetapi, karena tuntutan dan
permasalahan yang terjadi, wanita dapat tetap bekerja atau bahkan wajib bekerja
apabila memang menjadi kewajibannya dalam menjalankan perannya dengan catatan
tetap dalam aturan yang telah ditetapkan dalam Islam. InsyAllah
B. Saran
Berdasarkan hasil analisa dan kesimpulan, maka kami
sebagai penulis memberikan saran-saran dalam upaya mmberikan masukan kepada
para wanita yang bekerja, yaitu:
1.
Sebagai
seorang wanita yang kodrat sebenarnya adalah mengurus rumah tangga, sebaiknya
mendiskusikan segala keputusan yang paling baik bersama suami dan memikirkan
bahwa ada anak yang akan menjadi dampak dari keputusan bersama tersebut.
2.
Wanita yang
harus bekerja karena tuntutan kehidupan dan suami yang tidak bisa berperan
sesuai kewajibannya adalah tetap kepala rumah tangga terlepas dari siapa yang
bekerja mencari nafkah sehingga sebagai seorang wanita harus tetap tunduk
kepada suami.
DAFTAR PUSTAKA
Alkindi, Ali-Sumanto. Bekerja Sebagai Ibadah: Konsep
Memberantas Kemiskinan, Kebodohan dan Keterbelakangan Umat, Solo: CV.
Aneka, 1997.
Chira, Susan. Ketika Ibu harus memilih: Pandangan Baru
tentang Peran Ganda Wanita Bekerja, Bandung: Qanita, 2002.
Dardiri, Humaniora. Filsafat Logika, Jakarta: Rajawali, 1986.
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balal Pustaka, edisi ke 2.
Mutawalli asy-Sya’rawi, Muhammad. Jiwa dan Semangat Islam,
Jakarta: Gema Insani Press, 1992.
Nasution, Harun. Falsafah Agama. Jakarta: Bulp. Bintang,
1973.
Nawawi, Hadari. Metode
Penelitian Ilmiah, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Rowatt, Wade dan Mary
Jo Rowatt. Bila Suami Istri Bekerja,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1980.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar