Senin, 28 Maret 2016

Islamic Money



Nama   : Arini Leviani S.W
NIM    : 20130730259
Kelas   : B
Islamic Money

A.    Time Value Of Money and Economic Value Of Time
1.      Time Value Of Money
Menurut Najmudin dalam bukunya yang berjudul “Manajemen Keuangan dan Akutansi Syar’iyyah Modern” mengatakan bahwa konsep nilai waktu uang (time value of money) merupakan salah satu kerangka dasar pemikiran terhadap suatu keputusan dan kebijakan dalam keuangan modern. Dalam arti sederhana dapat dikatan bahwa uang memiliki nilai waktu.[1]
Sedangkan dalam buku yang berjudul “Dasar-Dasar Manajemen Keuangan” karya Ni Luh Putu Wiagustin berpendapat bahwa di dalam memehami tentang konsep nilai waktu uang (time value of money) yang pada dasarnya memberikan pemahaman bagaimana nilai uang berubah karena faktor waktu. Adapun faktor yang melandasi konsep ini adalah preferensi waktu yang menyatakan bahwa sejumlah sumber daya yang tersedia saai ini untuk dinikmati lebih disenangi orang dari pada sejumlah sumber daya yang sama tetapi baru tersedia dalam beberapa tahun yang akan datang (misalnya baru tersedia dua tahun yang akan datang).[2]
Dalam ekonomi konvensional time value of money didefinisikan sebagai:[3]
“A dollar today is worth more than a dollar in the future because a dollar today can be invested to get a return”
Maksudnya, uang (dollar) hari ini lebih berharga (bernilai) dibandingkan uang (dollar) dimasa yang akan datang, karena uang yang dipegang hari ini dapat digunakan untuk berinvestasi untuk memperoleh keuntungan.
Menurut ekonom konvensional, ada dua hal yang mendasari konsep time value of money, yakni:[4]
a)      Kehadiran dari Inflasi (Presence of Inflation)
Katakanlah tingkat inflasi 10% per tahun. Seseorang dapat membeli sepuluh potong pisang goreng hari ini dengan membayar sejumlah Rp 10.000,-. Namun bila ia membelinya tahun depan, dengan jumlah uang yang sama, yaitu Rp 10.000,-, ia hanya dapat membeli sembilan potong pisang goreng. Oleh karena itu ia akan meminta kompensasi untuk hilangnya daya beli uangnya akibat infalsi.
b)      Preferensi konsumsi sekarang untuk konsumsi masa depan (preference present consumption to future consumtion)
Bagi umumnya individu, present consumption lebih disukai daripada future consumption. Katakanlah tingkat inflasi nihil, sehingga dengan uang Rp 10.000,- seseorang tetap dapat membeli sepuluh pisang goreng hari ini maupun tahun depan. Bagi kebanyakan orang, mengkonsumsi sepuluh pisang goreng hari ini lebih disukai dari pada mengkonsumsi sepuluh pisang goreng tahun depan. Dengan argumentasi ini, meskipun suatu perekonomian tingkat inflasinya nihil, seseorang lebih menyukai Rp 10.000,-hari ini dan mengkonsumsi hari ini. Oleh karena itu, untuk menunda konsumsi, ia meminta kompensasi.[5]
Konsep nilai waktu uang (time value of money) merupakan salah satu kerangka dasar pemikiran terhadap suatu keputusan dan kebijakan dalam keuangan modern. Dengan arti sederhana dapat dikatakan bahwa uang memiliki nilai waktu. Contohnya uang Rp 1.000.000,- saat ini tidak sama nilainya dengan Rp 1.000.000,- setelah satu tahun mendatang. Seseorang individu yang rasional akan lebih memilih uang sejumlah Rp 1.000.000,- saat ini dibandingkan dengan Rp 1.000.000,- satu tahun lagi.
Alasan penalarannya adalah apabila seseorang menerima Rp 1.000.000,- hari ini, maka ia dapat menginvestasikannya (menabung di Bank atau pada aktiva lainnya) dengan tingkat keuntungan tetap sebesar 10% misalnya, sehingga dia akan mendapatkan uang Rp 100.000,- sebagai bunga selama setahun. Oleh karena itu, Rp 1.000.000,- saat ini setara dengan 1.100.000,- setelah satu tahun kemudian ketika tingkat bunganya 10%. Dengan demikian, uang dianggap memiliki nilai waktu.
2.      Economic Value Of Time
Islam tidak mengenal konsep time value of money, namun Islam mengenal konsep economic value of time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktu itu sendiri. Islam memperbolehkan penetapan harga tangguh bayar lebih tinggi daripada harga tunai. Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Hussein bin Ali bin Abi Thalib, cicit Rasulullah SAW adalah orang yang pertama kali menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar (deffered payment) lebih tinggi daripada harga tunai.
Yang lebih menarik adalah bahwa dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata ditahankannya hak si penjual barang. Dapat dijelaskan di sini bahwa bila barang dijual tunai dengan untung Rp. 500, maka si penjual dapat membeli lagi dan menjual lagi sehingga dalam satu hari itu keuntungannya adalah Rp. 1000. Sedangkan bila dijual tangguh-bayar, maka hak si penjual menjadi tertahan sehingga dia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi. Akibat lebih jauh dari itu, hari dari keluarga dan anak si penjual untuk makan malam pada hari itu tertahan pembeli. Untuk alasan inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi kewajibannya (menyerahkan barang), maka Islam membolehkan penetapan harga tangguh lebih tinggi daripada harga tunai.[6]
Dalam pandangan Islam mengenai waktu, waktu bagi semua orang adalah sama kuantitasnya, yaitu 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam sepekan. Nilai waktu antara satu orang dengan yang lainnya, akan berbeda dari sisi kualitasnya. Jadi faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin efektif (tepat guna) dan efisien (tepat cara), maka akan semakin tinggi nilai waktunya. Efektif dan efesien akan mendatangkan keuntungan di dunia bagi siapa saja yang melaksanakannya. Oleh karena itu, siapapun pelakunya tanpa memandang suku, agama, dan ras, secara sunnatullah, ia akan mendapatkan keuntungan di dunia.
Di dalam Islam, keuntungan bukan saja keuntungan di dunia, namun yang dicari adalah keuntungan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, pemanfaatan waktu itu bukan saja harus efektif dan efisien, namun juga harus didasari dengan keimanan. Keimanan inilah yang akan mendatangkan keuntungan di akhirat. Sebaliknya, keimanan yang tidak mampu mendatangkan keuntungan di dunia berarti keimanan yang tidak diamalkan.
Islam tidak mengenal konsep time value of money, Dasar perhitungan pada kontrak berbasis time value of money adalah bunga. Sedangkan Dasar perhitungan pada kontrak berbasis Economic value of time adalah nisbah. Economic value of time relatif lebih adil dalam perhitungan kontrak yang bersifat pembiayaan bagi hasil (profit sharing). Konsep  bagi hasil (profit sharing) berdampak pada tingkat nisbah yang menjadi perjanjian kontrak dua belah pihak. Persoalan nilai waktu uang (time value of money) yang diformulasikan dalam bentuk bunga adalah tidak diterima (ditolak). Dengan demikian, perlu dipikirkan bagaimana formula pengganti yang seiring dengan nilai dan jiwa Islam.

Perbedaan antara interest rate dengan discount rate dalam pandangan ekonomi konvensional dan ekonomi syari’ah[7]
Certainty Return
Uncertainty Return
Ekonomi
Konvensional
Ekonomi
Syari'ah
Ekonomi Konvensional
Ekonomi
Syari'ah

Interest Rate ditentukan oleh:
1.      Preferency current       comcumtion.
2.      Expected inflation.

Keuntungan dalam jual beli/sewa menyewa secara bayar tangguh ditentukan oleh :
1.      Tingkat keuntungan setiap kali transaksi.
2.      Frekuensi transaksi dalam satu periode.

Discount Rate ditentukan oleh:
1.      Preferency current               comcumtion.
2.      Expected inflation.
3.      Premium for uncertanty, dgn kata lain, actual return dipaksakan
harus sama dgn expected return-nya

·        Discount Rate ditentukan atas dasar harapan keuntungan (expected return), dan digunakan untuk menentukan nisbah bagi hasil
·        Bagi hasil yg harus dibayar adalah nisbah bagi hasil dikalikan dengan pendapatan aktualnya ( actual return)
·        Dengan kata lain pendapatan aktual (actual return) tidak harus sama dengan pendpatan yang diharapkan (expected return)
Seperti yang sudah diuraikan diatas, dalam islam tidak mengenal time value of money, yang dikenal adalah economic value of time. Contohnya dalam menghitung nisbah bagi hasil di Bank Syari’ah. Dalam proses penentuan nisbah ini, return on capital harus diperhitungkan. Return on capital ini tidak sama dengan return on money. Return on capital tergantung pada jenis bisnisnya dan berkaitan dengan sektor riil, sedangkan return on money berkaitan dengan interest rate.
 Penentuan nisbah bagi hasil harus dilakukan diawal, dan untuk itu digunakan projected return. Jika kemudian ternyata actual return dari bisnis yang dibiayai tidak sama dengan angka proyeksinya, maka yang digunakan adalah angka aktual, bukan angka proyeksi. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengenal time value of money. Time mempunyai economic value jika dan hanya jika waktu tersebut dimanfaatkan dengan menambah faktor produksi yang lain, sehingga menjadi capital dan dapat memperoleh return.

B.     Flow Concept and Money as a Public Goods
1.      Flow Concept
Uang di dalam Islam adalah Flow concept dan capital adalah  stock concept. Semakin cepat perputaran uang, akan semakin baik. Misalnya, seperti contoh pada aliran air masuk dan aliran air keluar. Sewaktu air mengalir, disebut sebagi uang, sedangan apabila air mengendap maka disebut dengan capital. Wadah tempat megendapnya adalah public goods. Uang seperti air, apabila dialirkan maka akan semakin bersih dan sehat. Apabila air dibiarkan menggenang di suatu tempat maka akan semakin mengeruh. Saving harus diinvestasikn ke sektor riil. Apabila tidak maka saving bukan saja tidak mendapatkan return, tetapi juga dikenakan zakat.[8]
2.      Money as a Public Goods
Ciri dari public goods adalah barang tersebut dapat digunakan oleh masyarakat tanpa menghalangi orng lain ntuk menggunakanya. Sebagai public goods, uang dimanfaatkan lebih banyak oleh masyarakat yang lebih kaya. Hal ini bukan dikarenakan simpanan mereka yang banyak, akan tetapi karena asset mereka, seperti rumah, mobil, saham, dll. Yang digunakan di sector produksi, sehingga memberikan peluang yang lebih besar kepada orang tersebut untuk memperoleh lebih banyak uang. Jadi semakin tinggi tingkat produksi akan semakin besar kesempatan untuk dapat memperoleh keuntungan dari public goods tersebut. Karena itu penimbunan (hoarding) dilarang karena mengahalangi yang lain untuk menggunakan public goods tersebut.[9]
Menurut konsep Ekonomi Islam, uang adalah uang, bukan capital, sementara dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas. Misalnya dalam buku “Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan capital secara bergantian. Sedangkan dalam konsep ekonomi Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public goods. Capital bersifat stock concept dan merupakan private goods.  Uang yang mengalir adalah public goods, sedangkan yang mengendap merupakan milik seseorang dan menjadi milik pribadi (private good).
Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyak membicarakan masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics goods tercermin dalam sabda Rasulullah SAW, yakni “Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali air, api, dan rumput.”

C.    Fungsi uang dalam Islam
Uang didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat dipakai atau diterima sebagai alat pembayaran yang sah. Fungsi uang diantaranya adalah sebagai berikut:[10]
1.      Sebagai pengukur nilai (unit of accounts)
2.      Alat tukar-menukar
3.      Alat penimpun atau penyimpan kekayaan (store of value)
4.      Alat pengukur utang (standard of deffered payments), dan
5.      Sebagai alat pembayaran.
Menurut Al-Ghazali dan Ibn Khaldun, definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran, dan media simpanan.[11]

1.      Uang sebagai ukuran harga
Abu Ubaid (w. 224 H) menyatakan bahwa dirham dan dinar adalah nilai harga sesuatau, sedangkan segala sesuatu tidak bisa menjadi nilai harga keduanya. Imam Ghazali (w. 505 H) menegaskan bahwa Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penekah diantara seluruh harta agar seluruh harta bisa diukur dengan keduanya. Ibn al-Qayyim (w. 752 H) mengungkapkan bahwa dinar dan dirham adalah nilai harga barang komoditas. Nilai harga adalah ukuran yang dikenal untuk mengukur harta maka wajib bersifat spesifik dan akurat, tidak meninggi (naik) dan tidak menurun. Karena kalau unit nilai harga bisa naik dan turun seperti komoditas sendiri, tentunya kita tidak bisa lagi mempunyai unit ukuran yang bisa dikukuhkan untuk mengukur nilai komoditas.
2.      Uang Sebagai Media Transaksi
Uang yang menjadi media transaksi yang sah dan yang harus diterima oleh siapapun bila ditetapkan oleh negara maka, perbedaan uang dengan media transaksi lain seperti cek. Yang berlaku juga sebagai cek alat pembayaran karena penjual dan pembeli sepakat menerima cek sebagai alat bayar. Begitu pula dengan kartu debet, kartu kredit dan alat bayar lainnya, pihak yang dibayar dapat saja monolak penggunaan cek atau kartu kredit sebagai alat bayar, sedangkan uang berlaku sebagai alat pembayaran karena negara mesahkannya
3.      Uang Media Penyimpan Nilai
 Kemudian diperlukan jenis harta yang bertahan lama karena kebutuhan yang terus-menerus. Jenis harta yang bertahan lama adalahbarang tambang. Maka dibuatlah uang dari emas, perak, dan logam. Ibn Khaldun juga mengisyaratkan uang sebagai alat simpanan. Kemudian Allah ta’ala menciptakan dua dari barang tambang, emas, dan perak, sebagai nilai untuk setiap harta. Dua jenis ini merupakan simpanan dan perolehan orang-orang didunia kebanyakannya.

D.    Motif Permintaan Uang dalam Islam
Pada dasarnya, Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar bukan sebagai barang dagangan (komoditas). Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi.[12] Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah SAW telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (bai’ al muqayyadah), dimana barang saling dipertukarkan.
Dalam perekonomian Islam, permintaan akan uang terutama muncul dari transaksi dan kebutuhan yang kebanyakan ditentukan oleh tingkat pendapatan dan distribusinya.[13] Permintaan spekulatif akan uang pada dasarnya dipacu oleh fluktuasi tingkat bunga dalam pereknomian kapitalis. Penurunan tingkat bunga yang disertai dengan harapan akan meningkat merangsang orang atau apapun perusahaan-perusahaan untuk tetap menyimpan uangnya. Karena dalam perekonomian kapitalis tingkat bunga seringkali berfluktuasi, uang yang sengaja hanya disimpanpun akan terus menerus berubah.
Penghapusan bunga dan kewajiban membayar zakat sebesar 2,5% setahun tidak hanya dapat meminimalisasikan permintaan spekulatif akan uang manapun “penyimpanan uang” yang diakibatkan oleh tingkat bunga diatas, melainkan juga memberikan stabilitas yang lebih tinggi terhadap permintaan akan uang. Hal ini diperkuat dengan sejumlah faktor, termasuk:[14]
1.      Tidak adanya bunga dalam perekonomian Islam menghadapkan pemilik modal pilihan tidak mau mengambil resiko dan tetap mempertahankan uangnya dalam bentuk tunai tanpa imbalan atau menempuh resiko yang telah diperhitungkan terlebih dahulu dan menginvestasikannya dalam bentuk kerjasama bagi hasil dengan beberapa imbalan;
2.      Akan tersedia peluang-peluang investasi jangka pendek ataupun jangka panjang kepada semua investor kecil maupun besar yang mau mengambil resiko yang telah diperhitungkan sebelumnya;
3.      Dengan ini paa investor menjadi lebih berhati-hati dalam penggunaan uang;
4.      Tingkat keuntungan, tidak seperti halnya tingkat bunga, tidak akan ditentukan terlebih dahulu. Satu-satunya hal yang harus ditentukan terlebih dahulu adalah perbandingan resiko rugi-laba (profit-sharing ratio); dan ini tidak akan berfluktuatif sebagaimana yang terjadi dengan bunga. Kalaupun ada perubahan, biasanya ini hanya terjadi setelah adanya tekanan dari pasar dan itupun setelah proses negosiasi yang panjang. Jika prospek perekonomian membaik, keuntungan dengan sendirinya akan naik, dengan demikian tidak ada sesuatu yang dapat diperoleh hanya dengan menunggu.
Preferensi likuiditas yang muncul dari motif spekulatif oleh karenanya tidak penting dalam perekonomian Islam. Permintaan akan uang untuk investasi yang berorientasikan ekuiti akan merupakan bagian dari keseluruhan transaksi permintaan dan akan tergantung pada kondisi ekonomi dan tingkat keuntungan yang diharapkan tidak ditentukan terlebih dahulu.[15] Karena harapan mengenai bunga, tidak naik-turun seperti halnya tingkat suku bunga dalam jangka waktu harian atau mingguan, keseluruhan permintaan akan kebutuhan transaksi cenderung lebih stabil. Ini lebih ditentukan oleh nilai agregat output,[16] dengan penekanan tertentu diberikan kepada distribusi pendapatan yang akan terus meningkat secara bertahap dalam perekonomian Islam tergantung pada seberapa jauh komitmen pemerintah untuk mencapai tujuan ini. Stabilitas yang relatif lebih tinggi dalam transaksi permintaan akan uang cenderung memberikan stabilitas yang lebih tinggi pada percepatan pendapatan dalam satu periode tertentu dalam perekonomian Islam dan pada gilirannya ini menjadikan perilaku yang diharapkan lebih dapat diduga.




DAFTAR PUSTAKA

A. Karim, Adiwarman. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011
A. Karim, Adiwarman. Ekonomi Makro Islami. Jakarta: Rajawali Press, 2007
Anshori, Abdul Ghofur. Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006
Arifin, Drs. Zainul. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: AlvaBet, Cet.1, Januari 2002
Chapra, Prof. DR. M. Umer.  Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter yang Adil. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997
Fadlyllah, Mochama. Zaini Abdul Malik dan N. Eva Fauziah. “IMPLEMENTASI UANG SEBAGAI FLOW CONCEPT DAN PUBLIC GOODS DALAM EKONOMI ISLAM DI INDONESIA (STUDI ATAS PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ADIWARMAN A KARIM)”. Vol. 1, No. 1, Prosiding Keuangan dan Perbankan Syariah. 2015
Muhammad, Dasar-Dasar Keuangan Islami,  Yogyakarta : Ekonisia, 2004
Najmudin. Manajemen Keuangan dan Akutansi Syar’iyyah Modern. Yogyakarta: CV Andi Offset, 2011
Wiagustini, Ni Lu Putu. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan. Bali: Udayana University Press, 2012

 









[1] Najmudin, Manajemen Keuangan dan Akutansi Syar’iyyah Modern, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2011), hlm.97.
[2] Ni Lu Putu Wiagustini, Dasar-Dasar Manajemen Keuangan, (Bali: Udayana University Press, 2012), hlm. 166-167.
[3] Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 504.
[4] Ibid., 504-505.
[5] Dalam ekonomi konvensional kompensasi ini disebut real interest rate. Berapa besar kompesasi ini ditentukan oleh preferensi terhadap current consumption; semakin besar preferensinya semakin besar kompensasinya. Bila tingkat ekspektasi inflasi ditambahkan atas real interest rate ini, hasil penjumlahan ini disebut nominal interest rate.
[6] Drs. Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta: AlvaBet, Cet.1, Januari 2002), hlm. 18-19.
[7] Muhammad, Dasar-Dasar Keuangan Islami,  (Yogyakarta : Ekonisia, 2004), hlm. 101.
[8] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hlm. 88-89.
[9] Ibid,.
[10] Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm. 65-66.
[11] Adiwarman  A. Karim, Ekonomi  Makro Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 80-83.
[12] Drs. Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta: AlvaBet, Cet.1, Januari 2002), hlm. 17.

[13] Makin merata pembagian pendapatan, akan makin tinggi permintaan akan uang pada titik tingkat pendapatan keseluruhan. Lihat tulisan David Laidler, The Demand for Money; Theory and Evidence = Permintaan Terhadap Uang: Teorinya dan Buktinya, (Bombay: Alied Publisher, 1972 = Penerbit Terkait), hlm. 66.
[14] Prof. DR. M. Umer Chapra,  Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter yang Adil, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm. 165-166.
[15] Ibid,. hlm. 167
[16] Ibid,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PROPOSAL MAGANG DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI

PROPOSAL MAGANG DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI KANTOR CABANG PEMBANTU YOGYAKARTA (WIROBRAJAN) Jalan HOS Cokroaminoto No. 33A, Yogyak...