Nama : Arini Leviani S.W
NIM : 20130730259
Kelas : B
Islamic
Money
A.
Time
Value Of Money and Economic Value Of Time
1.
Time
Value Of Money
Menurut Najmudin dalam bukunya yang
berjudul “Manajemen Keuangan dan Akutansi Syar’iyyah Modern” mengatakan bahwa
konsep nilai waktu uang (time value of money) merupakan salah satu
kerangka dasar pemikiran terhadap suatu keputusan dan kebijakan dalam keuangan
modern. Dalam arti sederhana dapat dikatan bahwa uang memiliki nilai waktu.[1]
Sedangkan dalam buku yang berjudul “Dasar-Dasar
Manajemen Keuangan” karya Ni Luh Putu Wiagustin berpendapat bahwa di dalam
memehami tentang konsep nilai waktu uang (time value of money) yang pada
dasarnya memberikan pemahaman bagaimana nilai uang berubah karena faktor waktu.
Adapun faktor yang melandasi konsep ini adalah preferensi waktu yang menyatakan
bahwa sejumlah sumber daya yang tersedia saai ini untuk dinikmati lebih
disenangi orang dari pada sejumlah sumber daya yang sama tetapi baru tersedia
dalam beberapa tahun yang akan datang (misalnya baru tersedia dua tahun yang
akan datang).[2]
Dalam ekonomi konvensional time
value of money didefinisikan sebagai:[3]
“A dollar
today is worth more than a dollar in the future because a dollar today can be
invested to get a return”
Maksudnya,
uang (dollar) hari ini lebih berharga (bernilai) dibandingkan uang (dollar)
dimasa yang akan datang, karena uang yang dipegang hari ini dapat digunakan
untuk berinvestasi untuk memperoleh keuntungan.
Menurut
ekonom konvensional, ada dua hal yang mendasari konsep time value of money,
yakni:[4]
a) Kehadiran dari Inflasi (Presence
of Inflation)
Katakanlah tingkat inflasi 10% per tahun. Seseorang dapat
membeli sepuluh potong pisang goreng hari ini dengan membayar sejumlah Rp
10.000,-. Namun bila ia membelinya tahun depan, dengan jumlah uang yang sama,
yaitu Rp 10.000,-, ia hanya dapat membeli sembilan potong pisang goreng. Oleh
karena itu ia akan meminta kompensasi untuk hilangnya daya beli uangnya akibat
infalsi.
b) Preferensi konsumsi sekarang untuk konsumsi
masa depan (preference present consumption to future consumtion)
Bagi umumnya individu, present consumption lebih
disukai daripada future consumption. Katakanlah tingkat inflasi nihil,
sehingga dengan uang Rp 10.000,- seseorang tetap dapat membeli sepuluh pisang
goreng hari ini maupun tahun depan. Bagi kebanyakan orang, mengkonsumsi sepuluh
pisang goreng hari ini lebih disukai dari pada mengkonsumsi sepuluh pisang
goreng tahun depan. Dengan argumentasi ini, meskipun suatu perekonomian tingkat
inflasinya nihil, seseorang lebih menyukai Rp 10.000,-hari ini dan mengkonsumsi
hari ini. Oleh karena itu, untuk menunda konsumsi, ia meminta kompensasi.[5]
Konsep
nilai waktu uang (time value of money) merupakan salah satu kerangka
dasar pemikiran terhadap suatu keputusan dan kebijakan dalam keuangan modern.
Dengan arti sederhana dapat dikatakan bahwa uang memiliki nilai waktu.
Contohnya uang Rp 1.000.000,- saat ini tidak sama nilainya dengan Rp
1.000.000,- setelah satu tahun mendatang. Seseorang individu yang rasional akan
lebih memilih uang sejumlah Rp 1.000.000,- saat ini dibandingkan dengan Rp
1.000.000,- satu tahun lagi.
Alasan
penalarannya adalah apabila seseorang menerima Rp 1.000.000,- hari ini, maka ia
dapat menginvestasikannya (menabung di Bank atau pada aktiva lainnya) dengan
tingkat keuntungan tetap sebesar 10% misalnya, sehingga dia akan mendapatkan
uang Rp 100.000,- sebagai bunga selama setahun. Oleh karena itu, Rp 1.000.000,-
saat ini setara dengan 1.100.000,- setelah satu tahun kemudian ketika tingkat
bunganya 10%. Dengan demikian, uang dianggap memiliki nilai waktu.
2.
Economic Value Of Time
Islam
tidak mengenal konsep time
value of money, namun Islam mengenal konsep economic value of
time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktu itu sendiri. Islam
memperbolehkan penetapan harga tangguh bayar lebih tinggi daripada harga tunai.
Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Hussein bin Ali bin Abi Thalib, cicit Rasulullah
SAW adalah orang yang pertama kali menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga
tangguh bayar (deffered payment) lebih tinggi daripada harga tunai.
Yang
lebih menarik adalah bahwa dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih
tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money, namun
karena semata-mata ditahankannya hak si penjual barang. Dapat dijelaskan di
sini bahwa bila barang dijual tunai dengan untung Rp. 500, maka si penjual
dapat membeli lagi dan menjual lagi sehingga dalam satu hari itu keuntungannya
adalah Rp. 1000. Sedangkan bila dijual tangguh-bayar, maka hak si penjual
menjadi tertahan sehingga dia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi. Akibat
lebih jauh dari itu, hari dari keluarga dan anak si penjual untuk makan malam
pada hari itu tertahan pembeli. Untuk alasan inilah, yaitu tertahannya hak
penjual yang telah memenuhi kewajibannya (menyerahkan barang), maka Islam
membolehkan penetapan harga tangguh lebih tinggi daripada harga tunai.[6]
Dalam pandangan Islam mengenai
waktu, waktu bagi semua orang adalah sama kuantitasnya, yaitu 24 jam dalam
sehari, 7 hari dalam sepekan. Nilai waktu antara satu orang dengan yang
lainnya, akan berbeda dari sisi kualitasnya. Jadi faktor yang menentukan nilai
waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin efektif (tepat
guna) dan efisien (tepat cara), maka akan semakin tinggi nilai waktunya.
Efektif dan efesien akan mendatangkan keuntungan di dunia bagi siapa saja yang
melaksanakannya. Oleh karena itu, siapapun pelakunya tanpa memandang suku,
agama, dan ras, secara sunnatullah, ia akan mendapatkan keuntungan di dunia.
Di dalam Islam, keuntungan bukan
saja keuntungan di dunia, namun yang dicari adalah keuntungan di dunia dan
akhirat. Oleh karena itu, pemanfaatan waktu itu bukan saja harus efektif dan
efisien, namun juga harus didasari dengan keimanan. Keimanan inilah yang akan
mendatangkan keuntungan di akhirat. Sebaliknya, keimanan yang tidak mampu
mendatangkan keuntungan di dunia berarti keimanan yang tidak diamalkan.
Islam tidak mengenal konsep time
value of money, Dasar perhitungan pada kontrak berbasis time value of money adalah
bunga. Sedangkan Dasar perhitungan pada kontrak berbasis Economic value of
time adalah nisbah. Economic value of time relatif lebih adil dalam
perhitungan kontrak yang bersifat pembiayaan bagi hasil (profit sharing).
Konsep bagi hasil (profit sharing) berdampak pada tingkat nisbah
yang menjadi perjanjian kontrak dua belah pihak. Persoalan nilai waktu uang (time
value of money) yang diformulasikan dalam bentuk bunga adalah tidak
diterima (ditolak). Dengan demikian, perlu dipikirkan bagaimana formula
pengganti yang seiring dengan nilai dan jiwa Islam.
Perbedaan antara interest rate dengan discount rate dalam pandangan ekonomi
konvensional dan ekonomi syari’ah[7]
Certainty Return
|
Uncertainty Return
|
||
Ekonomi
Konvensional
|
Ekonomi
Syari'ah
|
Ekonomi Konvensional
|
Ekonomi
Syari'ah
|
Interest Rate ditentukan oleh:
1.
Preferency current
comcumtion.
2.
Expected inflation.
|
Keuntungan dalam jual beli/sewa menyewa secara bayar tangguh ditentukan
oleh :
1.
Tingkat keuntungan setiap kali transaksi.
2.
Frekuensi transaksi dalam satu periode.
|
Discount Rate ditentukan oleh:
1.
Preferency current
comcumtion.
2.
Expected inflation.
3.
Premium for uncertanty, dgn kata lain, actual return
dipaksakan
harus sama dgn expected return-nya |
·
Discount Rate ditentukan atas dasar harapan keuntungan (expected return), dan
digunakan untuk menentukan nisbah bagi hasil
·
Bagi hasil yg harus dibayar adalah nisbah bagi hasil dikalikan dengan
pendapatan aktualnya ( actual return)
·
Dengan kata lain pendapatan aktual (actual return) tidak harus
sama dengan pendpatan yang diharapkan (expected return)
|
Seperti yang sudah diuraikan diatas, dalam islam
tidak mengenal time value of money, yang dikenal adalah economic
value of time. Contohnya dalam menghitung nisbah bagi hasil di Bank
Syari’ah. Dalam proses penentuan nisbah ini, return on capital harus
diperhitungkan. Return on capital ini tidak sama dengan return on
money. Return on capital tergantung pada jenis bisnisnya dan
berkaitan dengan sektor riil, sedangkan return on money berkaitan dengan
interest rate.
Penentuan
nisbah bagi hasil harus dilakukan diawal, dan untuk itu digunakan projected
return. Jika kemudian ternyata actual return dari bisnis yang
dibiayai tidak sama dengan angka proyeksinya, maka yang digunakan adalah angka
aktual, bukan angka proyeksi. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengenal time
value of money. Time mempunyai economic value jika dan hanya
jika waktu tersebut dimanfaatkan dengan menambah faktor produksi yang lain,
sehingga menjadi capital dan dapat memperoleh return.
B.
Flow
Concept and Money as a Public Goods
1.
Flow Concept
Uang
di dalam Islam adalah Flow concept dan capital adalah stock
concept. Semakin cepat perputaran uang, akan semakin baik. Misalnya,
seperti contoh pada aliran air masuk dan aliran air keluar. Sewaktu air
mengalir, disebut sebagi uang, sedangan apabila air mengendap maka disebut
dengan capital. Wadah tempat
megendapnya adalah public goods. Uang seperti air, apabila dialirkan
maka akan semakin bersih dan sehat. Apabila air dibiarkan menggenang di suatu
tempat maka akan semakin mengeruh. Saving harus diinvestasikn ke sektor
riil. Apabila tidak maka saving bukan saja tidak mendapatkan return,
tetapi juga dikenakan zakat.[8]
2.
Money as a Public Goods
Ciri dari public goods adalah barang tersebut
dapat digunakan oleh masyarakat tanpa menghalangi orng lain ntuk menggunakanya.
Sebagai public goods, uang dimanfaatkan lebih banyak oleh masyarakat
yang lebih kaya. Hal ini bukan dikarenakan simpanan mereka yang banyak, akan
tetapi karena asset mereka, seperti rumah, mobil, saham, dll. Yang digunakan di
sector produksi, sehingga memberikan peluang yang lebih besar kepada orang
tersebut untuk memperoleh lebih banyak uang. Jadi semakin tinggi tingkat
produksi akan semakin besar kesempatan untuk dapat memperoleh keuntungan dari public
goods tersebut. Karena itu penimbunan (hoarding) dilarang karena
mengahalangi yang lain untuk menggunakan public goods tersebut.[9]
Menurut konsep Ekonomi Islam, uang adalah uang,
bukan capital, sementara dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak
begitu jelas. Misalnya dalam buku “Money, Interest and Capital” karya
Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan capital secara bergantian.
Sedangkan dalam konsep ekonomi Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow
concept dan merupakan public goods. Capital bersifat stock
concept dan merupakan private goods. Uang yang mengalir
adalah public goods, sedangkan yang mengendap merupakan milik
seseorang dan menjadi milik pribadi (private good).
Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public
goods, sedangkan dalam ekonomi konvensional konsep tersebut baru dikenal pada
tahun 1980-an seiring dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyak
membicarakan masalah externalities, public goods dan
sebagainya. Konsep publics goods tercermin dalam sabda Rasulullah SAW,
yakni “Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali air, api, dan
rumput.”
C.
Fungsi
uang dalam Islam
Uang didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat dipakai
atau diterima sebagai alat pembayaran yang sah. Fungsi uang diantaranya adalah
sebagai berikut:[10]
1.
Sebagai
pengukur nilai (unit of accounts)
2.
Alat
tukar-menukar
3.
Alat
penimpun atau penyimpan kekayaan (store
of value)
4.
Alat
pengukur utang (standard of deffered
payments), dan
5. Sebagai alat pembayaran.
Menurut Al-Ghazali dan Ibn Khaldun,
definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai
harga, media transaksi pertukaran, dan media simpanan.[11]
1.
Uang sebagai ukuran harga
Abu Ubaid (w.
224 H) menyatakan bahwa dirham dan dinar adalah nilai harga sesuatau, sedangkan
segala sesuatu tidak bisa menjadi nilai harga keduanya. Imam Ghazali (w. 505 H)
menegaskan bahwa Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penekah
diantara seluruh harta agar seluruh harta bisa diukur dengan keduanya. Ibn
al-Qayyim (w. 752 H) mengungkapkan bahwa dinar dan dirham adalah nilai harga
barang komoditas. Nilai harga adalah ukuran yang dikenal untuk mengukur harta
maka wajib bersifat spesifik dan akurat, tidak meninggi (naik) dan tidak
menurun. Karena kalau unit nilai harga bisa naik dan turun seperti komoditas
sendiri, tentunya kita tidak bisa lagi mempunyai unit ukuran yang bisa
dikukuhkan untuk mengukur nilai komoditas.
2.
Uang Sebagai Media Transaksi
Uang yang
menjadi media transaksi yang sah dan yang harus diterima oleh siapapun bila
ditetapkan oleh negara maka, perbedaan uang dengan media transaksi lain seperti
cek. Yang berlaku juga sebagai cek alat pembayaran karena penjual dan pembeli
sepakat menerima cek sebagai alat bayar. Begitu pula dengan kartu debet, kartu
kredit dan alat bayar lainnya, pihak yang dibayar dapat saja monolak penggunaan
cek atau kartu kredit sebagai alat bayar, sedangkan uang berlaku sebagai alat
pembayaran karena negara mesahkannya
3.
Uang Media Penyimpan Nilai
Kemudian diperlukan jenis harta yang
bertahan lama karena kebutuhan yang terus-menerus. Jenis harta yang bertahan
lama adalahbarang tambang. Maka dibuatlah uang dari emas, perak, dan logam. Ibn
Khaldun juga mengisyaratkan uang sebagai alat simpanan. Kemudian Allah ta’ala
menciptakan dua dari barang tambang, emas, dan perak, sebagai nilai untuk
setiap harta. Dua jenis ini merupakan simpanan dan perolehan orang-orang
didunia kebanyakannya.
D.
Motif
Permintaan Uang dalam Islam
Pada dasarnya,
Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar bukan sebagai barang dagangan
(komoditas). Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi
kebutuhan transaksi (money demand for
transaction), bukan untuk spekulasi.[12]
Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena
Rasulullah SAW telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di
zaman dahulu yaitu barter (bai’ al
muqayyadah), dimana barang saling dipertukarkan.
Dalam
perekonomian Islam, permintaan akan uang terutama muncul dari transaksi dan
kebutuhan yang kebanyakan ditentukan oleh tingkat pendapatan dan distribusinya.[13]
Permintaan spekulatif akan uang pada dasarnya dipacu oleh fluktuasi tingkat
bunga dalam pereknomian kapitalis. Penurunan tingkat bunga yang disertai dengan
harapan akan meningkat merangsang orang atau apapun perusahaan-perusahaan untuk
tetap menyimpan uangnya. Karena dalam perekonomian kapitalis tingkat bunga
seringkali berfluktuasi, uang yang sengaja hanya disimpanpun akan terus menerus
berubah.
Penghapusan
bunga dan kewajiban membayar zakat sebesar 2,5% setahun tidak hanya dapat
meminimalisasikan permintaan spekulatif akan uang manapun “penyimpanan uang”
yang diakibatkan oleh tingkat bunga diatas, melainkan juga memberikan
stabilitas yang lebih tinggi terhadap permintaan akan uang. Hal ini diperkuat
dengan sejumlah faktor, termasuk:[14]
1.
Tidak adanya bunga dalam perekonomian
Islam menghadapkan pemilik modal pilihan tidak mau mengambil resiko dan tetap
mempertahankan uangnya dalam bentuk tunai tanpa imbalan atau menempuh resiko
yang telah diperhitungkan terlebih dahulu dan menginvestasikannya dalam bentuk
kerjasama bagi hasil dengan beberapa imbalan;
2.
Akan tersedia peluang-peluang investasi
jangka pendek ataupun jangka panjang kepada semua investor kecil maupun besar
yang mau mengambil resiko yang telah diperhitungkan sebelumnya;
3.
Dengan ini paa investor menjadi lebih
berhati-hati dalam penggunaan uang;
4. Tingkat
keuntungan, tidak seperti halnya tingkat bunga, tidak akan ditentukan terlebih
dahulu. Satu-satunya hal yang harus ditentukan terlebih dahulu adalah
perbandingan resiko rugi-laba (profit-sharing
ratio); dan ini tidak akan berfluktuatif sebagaimana yang terjadi dengan
bunga. Kalaupun ada perubahan, biasanya ini hanya terjadi setelah adanya
tekanan dari pasar dan itupun setelah proses negosiasi yang panjang. Jika
prospek perekonomian membaik, keuntungan dengan sendirinya akan naik, dengan
demikian tidak ada sesuatu yang dapat diperoleh hanya dengan menunggu.
Preferensi likuiditas yang muncul dari motif
spekulatif oleh karenanya tidak penting dalam perekonomian Islam. Permintaan
akan uang untuk investasi yang berorientasikan ekuiti akan merupakan bagian
dari keseluruhan transaksi permintaan dan akan tergantung pada kondisi ekonomi
dan tingkat keuntungan yang diharapkan tidak ditentukan terlebih dahulu.[15]
Karena harapan mengenai bunga, tidak naik-turun seperti halnya tingkat suku
bunga dalam jangka waktu harian atau mingguan, keseluruhan permintaan akan
kebutuhan transaksi cenderung lebih stabil. Ini lebih ditentukan oleh nilai
agregat output,[16]
dengan penekanan tertentu diberikan kepada distribusi pendapatan yang akan
terus meningkat secara bertahap dalam perekonomian Islam tergantung pada
seberapa jauh komitmen pemerintah untuk mencapai tujuan ini. Stabilitas yang
relatif lebih tinggi dalam transaksi permintaan akan uang cenderung memberikan
stabilitas yang lebih tinggi pada percepatan pendapatan dalam satu periode
tertentu dalam perekonomian Islam dan pada gilirannya ini menjadikan perilaku
yang diharapkan lebih dapat diduga.
DAFTAR PUSTAKA
A. Karim, Adiwarman. Bank Islam:
Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011
A.
Karim, Adiwarman. Ekonomi Makro Islami. Jakarta: Rajawali Press, 2007
Anshori, Abdul Ghofur. Gadai Syariah di Indonesia: Konsep,
Implementasi dan Institusionalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2006
Arifin, Drs. Zainul. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta:
AlvaBet, Cet.1, Januari 2002
Chapra, Prof. DR. M. Umer. Al-Qur’an
Menuju Sistem Moneter yang Adil. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997
Fadlyllah, Mochama. Zaini Abdul Malik dan N. Eva
Fauziah. “IMPLEMENTASI UANG SEBAGAI FLOW CONCEPT DAN PUBLIC
GOODS DALAM EKONOMI ISLAM DI INDONESIA (STUDI ATAS PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
ADIWARMAN A KARIM)”. Vol. 1, No. 1, Prosiding Keuangan dan Perbankan Syariah.
2015
Muhammad, Dasar-Dasar Keuangan
Islami, Yogyakarta : Ekonisia, 2004
Najmudin. Manajemen Keuangan dan
Akutansi Syar’iyyah Modern. Yogyakarta: CV Andi Offset, 2011
Wiagustini, Ni Lu Putu. Dasar-Dasar
Manajemen Keuangan. Bali: Udayana University Press, 2012
[1] Najmudin, Manajemen Keuangan
dan Akutansi Syar’iyyah Modern, (Yogyakarta: CV Andi Offset, 2011), hlm.97.
[2] Ni Lu Putu Wiagustini, Dasar-Dasar
Manajemen Keuangan, (Bali: Udayana University Press, 2012), hlm. 166-167.
[3]
Adiwarman A. Karim, Bank
Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011),
hlm. 504.
[4] Ibid., 504-505.
[5] Dalam ekonomi konvensional
kompensasi ini disebut real interest rate. Berapa besar kompesasi ini
ditentukan oleh preferensi terhadap current consumption; semakin besar
preferensinya semakin besar kompensasinya. Bila tingkat ekspektasi inflasi
ditambahkan atas real interest rate ini, hasil penjumlahan ini disebut
nominal interest rate.
[6] Drs. Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta:
AlvaBet, Cet.1, Januari 2002), hlm. 18-19.
[7]
Muhammad, Dasar-Dasar Keuangan
Islami, (Yogyakarta : Ekonisia,
2004), hlm. 101.
[8]
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, (Jakarta: Rajawali Press,
2007), hlm. 88-89.
[9]
Ibid,.
[10] Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep,
Implementasi dan Institusionalisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2006), hlm. 65-66.
[12]
Drs. Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta:
AlvaBet, Cet.1, Januari 2002), hlm. 17.
[13] Makin merata pembagian
pendapatan, akan makin tinggi permintaan akan uang pada titik tingkat
pendapatan keseluruhan. Lihat tulisan David Laidler, The Demand for Money; Theory and Evidence = Permintaan Terhadap Uang:
Teorinya dan Buktinya, (Bombay: Alied Publisher, 1972 = Penerbit Terkait),
hlm. 66.
[14] Prof. DR. M. Umer Chapra, Al-Qur’an
Menuju Sistem Moneter yang Adil, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,
1997), hlm. 165-166.
[15] Ibid,. hlm. 167
[16] Ibid,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar